Pertama kali aku menyadari tentang hakikat kehidupan ini ketika aku berada di sekolah Syekh Khairullah, yang terletak di depan rumah kami, di jalan Masjid Al-Jundi di Rasyid. Ketika itu, kami bersama-sama menghafal Al-Quranul Karim dan menulisnya dengan tulisan yang indah di papan tulis kecil. Di sekolah itu, kami duduk di depan Syekh dengan perasaan hormat dan takut. Sementara itu, tongkat Syekh yang panjang berkelebat di tubuh kami, tanpa harus bergerak dari tempat duduknya.
Tak lama kemudian, aku meninggalkan sekolah Syekh Khairullah dan masuk ke sekolah Abdul Halim yang terletak di jalan pasar Al-Hadaddin, dekat masjid Ash-Shamit. Sekolah itu dipegang oleh orang-orang terkemuka dari keluarga Abdul Halim, dan dipimpin langsung oleh seorang sastrawan ternama pada masanya, yakni Ustadz Mahmud Abdul Halim Al-Kabir.
Setelah itu, aku pindah ke sekolah Awwaliah di Rasyid, yang ketika itu masih bernama Sekolah Ash-Shaht. Di sekolah itu juga aku turut menyertai jenazah Sa’ad Zaghlul yang wafat tahun 1928.
Pada awal tahun 1929, aku mendaftar di salah satu Sekolah Dasar di Rasyid, yang pada saat itu disebut dengan sekolah Al-Bidal. Setiap pendaftar di sekolah itu disyaratkan untuk mengenakan pakaian ala Perancis. Dalam salah satu ujian, aku tidak lulus pada saat pemeriksaan mata, karena di mata kiriku terdapat sesuatu yang membuat penglihatan agak kabur, aku dibawa ke dokter mata Armani di Rasyid. Setelah dilakukan pemeriksaan, akhirnya diputuskan bahwa aku harus memakai kaca mata. Setelah itu, aku pun diterima di sekolah tersebut.
Di sekolah Al-Bidal, aku juga gagal dalam mata pelajaran bahasa Inggris. Kegagalan itu membuatku harus mengulang di kelas tiga. Adapun alasan mendasar yang membuatku gagal pada mata pelajaran itu ialah guru yang mengajar kami di kelas satu dahulu sangat tidak profesional dan tidak menguasai materi yang ia ajarkan, sehingga kemampuan saya semakin lemah saat berada di kelas tiga, bahkan saat duduk di kelas empat. Oleh karena itu, kepala sekolah biasanya memberi ulangan tambahan khusus untuk pelajaran bahasa Inggris.
Hasil yang sering kuraih pada tes tambahan itu adalah 8 hingga 10. Namun, kepala sekolah sepertinya ragu dengan hasil yang kucapai, karena ia sendiri mengetahui bahwa aku pernah tinggal kelas karena pelajaran ini. Dia menyangka bahwa aku telah berbuat curang dan mendapatkan hasil ini dari salah seorang kawan yang duduk di sampingku. Aku kemudian dipanggil, disuruh menemuinya di ruang guru.
Ia kemudian menyuruhku melepaskan sepatu agar dengan mudah ia memukul tapak kakiku. Namun, aku tetap berusaha meyakinkannya bahwa pekerjaan itu adalah hasil karyaku sendiri dan tidak seorang pun yang membantuku menyelesaikannya. Argumentasi yang kusampaikan tidak membuatnya bergeming. Setelah lama berdebat dengannya, ia pun menyuruhku untuk memakai sepatu kembali dan segera meninggalkan tempat itu. Setelah itu, orang tuaku dipanggil ke sekolah dan kasus ini disampaikan kepadanya. Aku pun dinasihatinya di hadapan orang tuaku.
Pada salah satu mata pelajaran, kepala sekolah (almarhum Shalahudin Al-Jarim) masuk ke kelas kami dan segera menulis di papan tulis kalimat, “What the meaning of headmaster?” kemudian bertanya kepada kami. Salah seorang siswa lalu berdiri dan berkata, “Artinya, kepala sekolah.” Aku pun mengangkat tanganku, namun kepala sekolah menyangka bahwa aku akan memberikan jawaban yang salah.
Ia lalu mengacungkan tongkat rotan di tangannya untuk ia pukulkan kepadaku. Ia berkata, “Katakan segera, Siisi!” Lalu aku berkata, “Yang terhormat, Tuan Kepala Sekolah!” Mendengar jawabanku, ia langsung tertawa dan juga malu, kemudian keluar meninggalkan kelas kami.
Aku menghabiskan banyak waktu di sekolah Al-Bidal dengan bermain dan bersenang-senang. Ketika itu juga, aku bergabung dengan sebuah klub sepak bola. Di klub itu, dengan sesama teman, aku mulai belajar saling mendorong dan saling menjatuhkan.
Pada tahun 1934, aku mengikuti ujian Sekolah Dasar yang diadakan di luar wilayah Rasyid, tepatnya di Sekolah Menengah Al-Abbasiyah di Muharram Bek ̶ sekarang fakultas ilmu sosial ̶ di Iskandariah.
Salah satu materi yang diujikan adalah materi insya’ (mengarang) bahasa Arab. Pada ujian itu, setiap murid diharuskan menulis kalimat perpisahan untuk kepala sekolah, guru, dan murid-murid lainnya. Aku pun menyampaikan kalimat perpisahan di hadapan seluruh guru dan murid-murid pada acara perpisahan sekaligus berakhirnya tahun ajaran periode itu. Pada acara itu, aku sampaikan ucapan terima kasih untuk kepala sekolah yang selama ini tampil sebagai teladan bagi setiap guru dan siswa. Aku masih mengingat, jika ada seorang siswa atau guru bertemu dengan kepalas sekolah, ia akan segera berdiri sejenak sebagai ungkapan hormat sebagaimana yang dilakukan oleh para tentara saat berhadapan dengan komandannya.
Aku juga mengucapkan terima kasih yang terhingga untuk guru-guru yang selama ini menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai seorang pendidik. Bahkan, mereka pun memberikan pelajaran tambahan setelah pelajaran sekolah berakhir. Salah seorang dari mereka dalah Ustadz Mahmud Abu Naja, guru bahasa Arab, yang tidak lama kemudian diangkat menjadi dosen di Fakultas Kepolisian. Ia juga dipilih oleh Syadzali Pasha, Direktur Wilayah Kelautan saat itu, untuk mengajar bersamanya di fakultas tersebut.
Ustadz Mahmud Abu Naja adalah seorang penyair hebat pada masa itu. Sebagian besar syair-syairnya menceritakan tentang wilayah Rasyid. Demikian pula dengan Ustadz Syihab, guru bahasa Inggris yang memiliki sumbangsih cukup besar dalam kehidupan sosial di Rasyid. Ia juga menyertakan rangkaian bait syairnya, yang menceritakan tentang keindahan Rasyid, yang saat ini disebut dengan syair Rasyid.
Demikian pula dengan Syekh Abdul Qadir, guru bahasa Inggris, yang sangat peduli terhadap perkembangan siswa-siswanya. Ia terkadang membawa kami ke Masjid (Al-Musyayyad bin Nuur). Di sana, beliau mengajarkan cara berwudhu dan cara shalat kepada kami. Beliau pun mengimami kami saat melakukan shalat wajib.
Sementara itu, Ustadz Ali Al-Buhtaimi, guru geografi, adalah orang yang memberikan teladan dalam kebersihan, kedisiplinan, akhlak mulia, dan lainnya.