Abbas As Sisi Masuk Sekolah Perindustrian Muhammad Ali

Setelah berhasil meraih ijazah Sekolah Dasar, tibalah saatnya memilih jenis pendidikan selanjutnya. Kelemahanku dalam bahasa Inggris membuatku gentar memasuki Sekolah Lanjutan Umum. Aku akhirnya memilih melanjutkan pendidikan di Sekolah Perindustrian Muhammad Ali, yang berada di bawah naungan Yayasan Islam dan Kebajikan Al-Uruwatul Wutsqa di Iskandariah.

Aku diterima di sekolah itu dan ditempatkan di bagian pertukangan. Namun, ayah marah besar ketika mendengar jenis pendidikan yang kupilih, karena beliau juga seorang tukang kayu dan tidak ingin salah seorang putranya memiliki profesi yang sama seperti profesinya. Ia menghendaki agar anak-anaknya memiliki keahlian yang berbeda dengannya. Aku kemudian masuk di bagian pembubutan. Aku tinggal bersama seorang kawan sekolahku yang bernama Muhammad Beyoumi Al-Basil di kompleks Kumid Dikkah, dekat dari wilayah Syatibi.

Hari Jum’at pagi di akhir pekan merupakan jadwal rutin kami menunggu kereta api di stasiun Rasyid. Kereta yang akan membawa kami tiba ke Iskandariah pada pukul 09.00. Sebelum berangkat, kami diberi bekal oleh orang tua kami, yang dapat kami gunakan untuk sepekan lamanya. Bekal yang paling sering kami bawa biasanya adalah makanan yang masih terasa hangat, beberapa butir telur, kornet, keju, dan terkadang selain itu.

Setiba di Iskandariah, kami segera bersiap-siap untuk melaksanakan shalat Jum’at. Biasanya, kami lebih senang melaksanakannya di Masjid Al-Ardhi, di pasar Al-Khayyath. Almarhum Syekh Abdul Hafizh Asy-Sya’nawi adalah imam masjid Al-Ardhi yang memiliki jamaah sangat besar dan datang dari berbagai penjuru.

Sementara itu, majalah Al-Islam adalah sebuah majalah yang secara rutin kami beli setiap pekan dari Muhammad Abdurrahman. Kami juga tidak memiliki hobi lain, kecuali menonton keramaian di tepi jalan-jalan besar atau di lapangan terbuka di Iskandariah. Pada saat acara-acara besar Islam, misalnya pada hari raya Id, kami kembali ke Rasyid dan disambut hangat oleh keluarga, kerabat, serta tetangga-tetangga kami. Di kampung halaman, kami menghabiskan hari-hari libur itu bersama dengan kawan-kawan, sambil menceritakan segala yang kami saksikan di Iskandariah.

Undang-undang Tahun 1923

Salah satu peristiwa penting yang merepotkan kami pada saat proses belajar-mengajar masih berlangsung adalah peristiwa yang terjadi pada tahun 1935, dimana demonstrasi besar-besaran terjadi di seluruh pelosok negeri, menuntut pemerintahan Ahmad Nasim Pasha untuk mengembalikan undang-undang tahun 1923. Seluruh demonstrasi yang terjadi dipimpin langsung oleh Partai Wafd, sebagai bentuk perlawanan atas pemerintah berkuasa dan Menteri Luar Negeri Inggris, Hour. Setiap yel-yel yang digemakan hanya menghendaki satu hal, manjatuhkan Hour Thour. Demo yang dilakukan secara besar-besaran dan melibatkan seluruh elemen masyarakat, khususnya mahasiswa, menelan dua korban jiwa. Keduanya adalah mahasiswa Universitas Kairo, yaitu Abdul Majid Mursi dan Abdul Hakim Al-Jarahi. Keduanya berasal dari Iskandariah.

Siswa Sekolah Perindustrian Muhammad Ali juga bertindak sangat radikal terhadap aparat keamanan saat melakukan demonstrasi, khususnya polisi yang menggunakan kuda untuk menghalau para demonstran. Beberapa siswa kemudian membuat anak panah dan memanah kuda-kudan itu, yang segera kocar-kacir serta melemparkan tuannya dari atas punggungnya. Mereka juga membakar beberapa stadion olahraga.

Pada masa itu juga, Amin Yahya Pasha, salah seorang petinggi Partai Wafd meninggal dunia. Setelah jenazahnya dikuburkan, demonstrasi kembali dikobarkan. Para demonstran meneriakkan yel-yel mereka, “Adukan kezaliman ini kepada Sa’ad wahai Amin!”, sambil melempari polisi dengan batu yang telah mereka siapkan. Saat itu, para pimpinan kepolisian yang sebagian besar dari Inggris, menggunakan Tharbus (topi ala Mesir) sebagaimana yang digunakan para polisi Mesir.

Karena adanya tekanan sangat kuat dari massa dalam bentuk demonstrasi besar-besaran hingga jatuhnya korban jiwa, Raja Fuad akhirnya memutuskan pengesahan kembali undang-undang tahun 1923. Keputusan ini disambut dengan rasa gembira dan suka cita oelh masyarakat seluruh negeri. Setelah pengembalian undang-undang tersebut, dimulailah kembali fase kesepakatan 1936 yang sangat terkenal itu.