Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, juga untuk segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.
Ikhwan yang terhormat, kita memulai dengan cara yang paling baik: assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Ikhwan yang terhormat. Ketahuilah bahwa kekuatan paling besar serta sarana yang paling efektif tidak akan dapat mewujudkan tujuan, semata-mata dengan banyaknya jumlah. Sesungguhnya, kekuatan paling besar dan sarana yang paling efektif adalah kekuatan spiritual yang mempunyai daya magis dan pengaruh magnetis.
Keyakinan kepada ideologi dan persatuan di atas landasan keyakinan tersebut adalah segala-galanya. Dan sebuah dakwah tidak akan meraih sukses kecuali bila memenuhi tiga persyaratan khusus.
Wahai Akhi, dakwah mempunyai konsep, junud (prajurit), dan qaid (pemimpin). Konsep itu harus jelas, lengkap, dan efektif. Junud haruslah mempunyai keyakinan, cinta, dan pengorbanan. Sedangkan pemimpin haruslah ikhlas, cakap, dan tegas.
Inilah garis-garis besar bagi sebuah dakwah yang menginginkan kesuksesan dan berusaha mempertahankan eksistensinya. Jika kita bercermin pada garis-garis besar ini untuk melihat dakwah kita, maka kita mendapati bahwa dakwah kita selaras dengannya, bahkan tampak seolah-olah dakwah kita ini dipola untuk melaksanakan garis-garis besar tersebut. Jika melihat kepada konsep dakwah kita, maka kita mendapati bahwa konsepnya bersumber pada kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan sunah Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam. Di dunia ini tidak ada konsep yang lebih jelas, luas, lengkap, dan berpengaruh melebihi keduanya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan kejelasan sebagai simbol bagi Al-Qur-‘an dan menyebut Al-Qur’an sebagai cahaya dan petunjuk.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. An-Nahl: 89)
“Katakanlah, ‘Al-Qur’an itu petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.'” (QS. Fushilat: 44)
Mengenai kelengkapan Al-Qur’an, cukuplah bagi kita informasi dari Allah subhanahu wa ta’ala.
“Tiadalah kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab.” (QS. Al-An’am: 38)
Juga sabda Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, ‘Tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun yang dapat mendekatkanmu kepada Allah kecuali aku memerintahkanmu untuk melaksanakannya dan tidak ada satu pun yang dapat menjauhkanmu dari Allah kecuali aku melarangmu darinya.’
Ikhwan sekalian, Al-Qur’anul Karim itu berjalan selaras dengan kemajuan manusia dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan serta penemuan-penemuan. Ia selalu berjalan seiring, bahkan mendahuluinya.
Adapun pengaruh Al-Qur’an, tidak ada yang bisa disetarakan dengannya. Ia bisa menguasai dan menggerakkan hati serta memikat jiwa. Musuh-musuh Al-Qur’an sendiri mengakuinya dengan ucapan mereka, “Sesungguhnya, di dalam Al-Qur’an ini terkandung kenikmatan dan keindahan, bagian atasnya memberikan buah, dan bagian bawahnya memberikan kesuburan. Dan ia bukanlah perkataan manusia.” Mereka juga mengatakan, “Al-Qur’an adalah sihir.” Allah juga berfirman sebagai berikut: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.” (QS. Az-Zumar: 23)
Pengaruh Al-Qur’an sedemikian rupa, sehingga bisa mendorong seorang mukmin untuk menunjukkan heroisme dalam peperangan sampai-sampai mirip dengan khayalan. Seseorang di antara mereka ada yang dadanya tertembus tombak, sementara ia terus memerangi musuh-musuhnya hingga akhirnya gugur bersama kematian mereka. Tombak menembus punggungnya, sedangkan ia tidak peduli seraya berkata, “Dan aku bersegera kepada-Mu, ya Tuhanku, supaya Engkau ridha (kepadaku).” (QS. Thaha: 84)
Ikhwan sekalian, inilah konsep yang berhasil diterapkan dan telah sekian lama dipraktekkan dalam kehidupan orang-orang muslim.
Adapun jundiyah yang indah dan ideal serta loyalitas yang nyata dan monumental, terdapat dalam diri sahabat-sahabat Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam dan orang-orang yang meneladani kebaikan mereka. Mereka adalah figur-figur yang mampu menggambarkan keimanan yang mendalam.
Wahai Akhi, perhatikanlah Ash-Shiddiq, Abu Bakar radhliyallahu ‘anhu. Suatu ketika Abu Jahal dengan nada tidak percaya memberinya kabar tentang Isra’ Mi’raj. Lantas, Abu Jahal bertanya kepadanya, “Apakah kamu mempercayainya, Abu Bakar?” Abu Bakar menjawab, “Kami telah mempercayainya tentang hal-hal yang lebih dari itu. Kami mempercayainya tentang kabar yang datang dari langit.”
Mengenai kecintaan yang mendalam dan kuat, wahai Akhi, maka tidak ada satu masyarakat pun yang dikenal dalam sejarah dan yang dibangun di atas landasan cinta seperti halnya masyarakat Islam pertama.
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. Al-Hasyr: 9)
Mengenai kedermawanan dan pengorbanan yang ada pada mereka, maka pembicaraan mengenainya akan memakan waktu panjang dan tidak pernah habis. Seluruh kisah dalam sejarah berisi lembaran-lembaran putih yang menerangi perbuatan-perbuatan para tokoh, pahlawan, dan singa yang gagah berani itu.
Ikhwan sekalian, adapun Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam adalah representasi dari kepemimpinan Islam. Manusia tidak pernah mengenal atau melihat di era sejarah mana pun, seorang pemimpin yang lebih ikhlas, cakap, dan tegas daripada Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam. Beliau adalah seorang mukmin yang sabar dan ikhlas, yang pernah berkata kepada pamannya, “Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, supaya aku meninggalkan urusan ini, niscaya aku tidak meninggalkannya, sampai aku binasa karenanya.”
Itulah Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam, seorang pemimpin yang istimewa dengan kecakapan, spontanitas, dan kepandaiannya dalam mengelola urusan. Seorang pemimpin tegas yang melancarkan serangan-serangan mengejutkan kepada musuh-musuh yang membangkang dan meletakkan dasar-dasar ketegasan untuk menumpas kemunafikan, penipuan, dan oportunisme.
Inilah dakwah kita. Ia tidak mempunyai konsep selain Al-Qur’anul Karim, tidak mempunyai tentara selain Anda, dan tidak mempunyai pemimpin selain Rasul kita shalallahu ‘alayhi wa sallam. Bandingkan, betapa jauhnya perbedaan antara sistem kita dengan sistem-sistem lain yang lemah dan rapuh.
Demokratisme, Sosialisme, dan Diktatorisme adalah sistem-sistem yang tidak akan mampu menjamin kebebasan dan mewujudkan kebahagiaan. Taruhlah ia bisa memberikan sedikit kebahagiaan, maka apakah ia bisa memberikan kepuasan jiwa dan kebahagiaan hati? Demi Allah, tidak! Andaikata bisa mewujudkan itu, apakah ia bisa memberikan balasan yang baik bagi manusia di akhirat, dalam kehidupan akhir yang abadi?
Amma ba’du. Ikhwan semua. Marilah kita kembali kepada ayat-ayat Al-Qur’anul Karim yang telah kita bahas. Memang, sebelum membahas tafsir, kita harus selalu memperbincangkan masalah jamaah kita dengan mengupas secara sekilas, kemudian baru kembali kepada penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang kita kaji, yang merupakan undang-undang kita yang lurus.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. ‘Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’ Allah berfirman, ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama–nama benda ini.’ Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, ‘Bukankah sudah Aku katakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan.'” (QS. Al-Baqarah: 30-33)
Ikhwan sekalian, dalam ayat-ayat sebelum ayat ini, terdapat isyarat-isyarat halus mengenai penciptaan langit dan bumi, bukti-bukti mengenai kekuatan dan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala, serta kewajiban bersyukur dan beribadah kepada-Nya.
Setelah itu, Al-Qur’an menceritakan kepada kita kisah penciptaan manusia dan bagaimana sikap para malaikat ketika manusia diciptakan, kedudukan manusia di tengah-tengah segenap makhluk, serta apa yang dilakukan iblis karena diciptakan dan diutamakannya Adam melebihi seluruh makhluk lain.
Di sini kita perlu mengingat bahwa informasi yang diberikan Allah Yang Mahamulia kepada para malaikat mengenai penciptaan manusia, bukanlah sebagai bentuk konsultasi atau permintaan supaya mereka menyaksikan. Mahasuci Allah dari hal yang semacam itu, tetapi sekedar pemberitahuan. “Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri.” (QS. Al-Kahfi: 51)
Allah memberikan contoh yang paling baik kepada manusia supaya kita bisa menemukan orang besar memberitahu orang kecil tentang berbagai informasi yang sebenarnya tidak harus diberitahukan, sehingga yang kecil mengemukakan pendapatnya bukan untuk mendiktekan atau menunjukkan, melainkan sebagai bukti kecintaan dan loyalitas. Terlebih karena manusia akan terus menjalin hubungan tertentu dengan para malaikat, berkaitan dengan wahyu, pengawasan, penenggelaman bumi, dan pencabutan nyawa.
Ikhwan sekalian, status manusia sebagai khalifah bisa ditafsirkan dengan tiga penafsiran.
Pertama, bahwa sebelumnya bumi ini telah diserahkan pengelolaannya kepada makhluk-makhluk lain selain manusia, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala ingin menjadikan manusia sebagai khalifah (pengganti) dari makhluk-makhluk tersebut. Para mufasir menyebutkan banyak sekali nama dan sifat makhluk-makhluk tersebut. Saya pribadi tidak cenderung kepada pendapat ini, karena ini terkesan mengada-ada, tanpa landasan dan bukti.
Kedua, kekhalifahan ini dari Allah subhanahu wa ta’ala karena Allah Sang Pencipta Yang Mahaagung telah memberikan karunia kepada manusia dan melebihkannya atas makhluk-makhluk lain dengan nikmat akal yang diberi kemampuan memilih dan menentukan, yang diciptakan Allah dan tidak keluar dari kehendak-Nya. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)
Sebagai konsekuensi dari pemikulan amanat ini, manusia mendapatkan kompensasi berupa status sebagai khalifah di bumi yang mewakili Allah subhanahu wa ta’ala dalam mengelola urusan dunia dan memanfaatkan berbagai fasilitas yang ada di dalamnya sesuai dengan kehendak-Nya subhanahu wa ta’ala, meskipun sebagian manusia tersesat dalam memikul tanggung jawab ini, yaitu tidak mengetahui hikmah kekhalifahan bahkan menjadikannya rusak dan hancur.
Ketiga, kekhalifahan di sini adalah pengganti dari para malaikat, dengan asumsi bahwa mereka sebelumnya menjadi penduduk bumi. Ada satu poin yang masih perlu dijelaskan, yaitu bahwa para malaikat berkata kepada Allah subhanahu wa ta’ala, “Mengapa Engkau menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” (QS. Al-Baqarah: 30)
Mereka berkata demikian, mungkin karena mengetahui perusakan dan pembunuhan yang dilakukan oleh penduduk bumi sebelum anak cucu Adam —jika pendapat ini benar—; atau barangkali karena mereka mengetahui bahwa makhluk yang mempunyai kemampuan untuk memilih pasti akan berbuat kerusakan di dalamnya, sebab para malaikat sendiri tidak dikaruniai kemampuan untuk memilih dalam bentuk apa pun.
“Yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Atau mungkin juga bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah memberitahukan kepada mereka karakter manusia dan apa yang akan diperbuatnya kelak.
Masing-masing dari ketiga pendapat ini bisa jadi benar, wahai Akhi. Atau barangkali mereka menyangka —wallahu a’lam— bahwa penciptaan manusia itu akan menyingkirkan dan menjauhkan mereka dari Allah, karena itu mereka berkata, “Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Maka Allah subhanahu wa ta’ala Yang Maha Mencipta berfirman kepada mereka, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30)
Bukti pertama mengenai hal itu adalah bahwa Adam mempelajari nama-nama segala sesuatu kemudian memberitahukannya kepada para malaikat, sedangkan sebelum itu para malaikat tidak mengetahuinya. Karena itu mereka berkata, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
Demikanlah Ikhwan sekalian, Allah telah meletakkan manusia pada kedudukan yang tinggi di antara makhluk-makhluk, maka hendaklah ia menyesuaikan diri dengan nikmat ini sehingga pantas menerimanya.
Jika ia bersyukur, menggunakan kelebihan-kelebihannya, dan mengendalikan keinginan-keinginannya kepada kebaikan, maka ia memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada para malaikat, karena ia mempunyai keinginan yang dikendalikan kepada hal-hal yang diridhai oleh Tuhannya. Berbeda halnya dengan para malaikat yang memang diciptakan untuk menjadi makhluk yang taat dan tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan selain yang diperintahkan.
“Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Adapun orang yang mengkufuri nikmat Allah, yang mengarahkan nafsu dan keinginannya kepada kejahatan, layak mendapatkan kedudukan yang lebih rendah daripada binatang ternak, karena ia diberi kemampuan memilih, tetapi justru memilih jalan nafsu, jalan dosa, dan jalan kebinatangan.
“Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya.” (QS. Al-Furqan: 44)
“Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk di sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa pun.” (QS. Al-Anfal: 22)
Ikhwan sekalian, hendaklah kita —kaum muslimin— menjadi manusia yang paling baik dalam ma’rifat kepada Allah, ilmu pengetahuan, agama, dan akhlak, serta menjadi figur teladan bagi orang-orang yang akan berbicara dan mensyukuri nikmat-nikmat Allah dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan- Nya, sehingga berkat mereka umat manusia menjadi bahagia dan berjalan menuju kesempurnaan.
Semoga Allah mewujudkan cita-cita Anda semua. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Sayidina Muhammad juga segenap keluarga dan sahabatnya.