Kemudian, disebutkan sifat terakhir yang mengungkapkan sejauh mana hubungan antara orang-orang munafiq di Madinah dan orang-orang Yahudi yang pendengki..Sesungguhnya, mereka tidak merasa cukup dengan kebohongan, tipu daya, kebodohan, dan pengakuan palsu, tetapi mereka juga menambahnya dengan kelemahan, kehinaan, dan konspirasi di balik kegelapan:
“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: ‘Kami telah beriman’. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.”(14)
Sebagian orang mengira kehinaan sebagai kekuatan, dan tipu daya sebagai kepiawaian, padahal sesungguhnya merupakan kelemahan dan kepandiran. Karena itu, orang yang kuat bukanlah orang yang tercela dan buruk. Bukan penipu, dan bukan pula pembuat makar di balik layar. Orang-orang munafiq yang tidak berani berhadapan dan menampakkan keimanan bila bertemu kaum Mukminin, untuk menghindari gangguan dan menjadikan kepura-puraan ini sebagai sarana lain. Mereka itu apabila bertemu dengan setan-setan mereka –pada umumnya adalah—orang-orang Yahudi yang menjadikan orang-orang munafiq sebagai alat untuk memecah belah barisan Islam dan mengacaukannya seperti halnya orang-orang munafiq menjadikan orang-orang Yahudi sebagai sandaran dan perlindungan. Mereka orang-orang munafiq itu:
“…Apabila bertemu dengan setan-setan mereka, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok’.”(14)
Yakni mengolok-olok kaum Mukminin dengan menampakkan keimanan den berpura-pura membenarkan!
Nyaris al-Qur’an tidak menceritakan ulah dan perkataan mereka hingga menumpahkan ancaman keras terhadap mereka. Ancaman yang dapat meruntuhkan gunung:
“Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (15)
Alangkah celaka orang yang diolok-olok oleh Tuhan Penguasa langit dan bumi! Alangkah sengsaranya! Terbayang suatu pemandangan yang amat mengerikan dan menakutkan. Terbayang suatu tempat kembali yang membuat hati merinding karena takut saat membaca ayat:”Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” Kemudian, Dia membiarkan mereka terombang-ambing tanpa petunjuk di jalan yang tidak mereka ketahui ujungnya, dan pada akhirnya tangan yang Maha Perkasa menangkap mereka seperti tikus-tikus lemah yang melompat-lompat di dalam perangkap, tidak memperdulikan cengkeraman yang sangat kuat.. Itulah olok-olokan yang mengerikan, tidak seperti olok-olokan mereka yang ringan dan kecil.
Di sini pun nampak jelas hakikat yang telah kami isyaratkan sebelumnya. Hakikat bahwa Allah mengendalikan pertempuran yang ditujukan kepada kaum Mukminin. Sehingga pengendalian Allah ini memberikan ketenangan yang sempurna kepada para wali-Nya, dan kesudahan yang mengerikan bagi para musuh Allah yang lalai, yang dibiarkan terombang-ambing dalam kesesatan mereka, yang tertipu oleh penguluran Allah terhadap mereka dalam kedzaliman mereka dan penagguhan kepada mereka beberapa saat dalam permusuhan mereka. Padahal kesudahan yang mengerikan menanti mereka “di sana”, sedang mereka lalai dan sesat!
Kalimat terakhir yang menggambarkan hakikat keadaan mereka dan sejauh mana kerugian mereka, menegaskan:
“Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (16)
Sebenarnya mereka bisa mendapat petunjuk sekiranya mereka mau. Petunjuk itu telah diberikan kepada mereka bahkan sudah ada di tangan mereka. Tetapi “mereka membeli kesesatan dengan petunjuk”, seperti layaknya para pedagang yang lalai:
“…Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk”(16)
Barangkali kita bisa menangkap bahwa jatah yang dihabiskan untuk menggambarkan golongan ketiga (orang-orang munafiq) ini jauh lebih luas ketimbang jatah yang dihabiskan untuk menggambarkan golongan pertama (orang-orang yang bertakwa) dan golongan kedua (orang-orang kafir).
Hal itu karena pada masing-masing dari kedua golongan yang pertama ada nuansa istiqomah dan kesahajaan di atas landasan nilai tertentu. Golongan pertama merupakan gambaran jiwa yang jernih dan lurus arahnya sedangkan golongan golongan kedua merupakan gambaran jiwa yang kelam dan kehilangan arahnya. Tetapi golongan ketiga merupakan gambaran jiwa yang bengkok, sakit, kusut, dan labil; ia memerlukan tambahan sentuhan dan garis-garis lebih banyak lagi agar ciri-cirinya yang banyak itu bisa terfokus dan dikenali.
Di samping itu, penjelasan yang panjang ini mengisyaratkan pula besarnya peran yang dilakukan oleh orang-orang munafiq di Madinah dalam menyakiti Jama’ah Muslim, dan sejauh mana keletihan, kecemasan, dan guncangan yang pernah mereka timbulkan. Sebagaimana juga mengisyaratkan besarnya peran yang bisa dilakukan oleh orang-orang munafiq di setiap waktu di dalam barisan Islam, dan sejauh mana urgensi mengungkap berbagai permainan dan intrik mereka yang tercela itu.
Sebagai tambahan penjelasan, konteks surat melanjutkannya dengan membuat permisalan tentang kelompok ini dan mengungkap watak, gerak-gerik, dan sikap plin-plannya, untuk lebih memperjelas watak ini:
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah memadamkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).” (17-18)
Pada mulanya mereka tidak berpaling dari petunjuk, tidak menyumbat telinga untuk mendengar, tidak menutup mata untuk melihat, dan tidak menghalangi hati untuk memahami, sebagaimana diperbuat oleh orang-orang kafir. Tetapi, mereka lebih menyukai kebutaan ketimbang petunjuk setelah mendapatkan kejelasan persoalan. Sesungguhnya, mereka telah menyalakan api, tetapi setelah cahaya api itu menerangi mereka, mereka tidak dapat memanfaatkannya padahal mereka sendiri yang memintanya. Pada saat itulah…
“…Allah memadamkan cahaya (yang menyinari) mereka…”
Mereka mencari cahaya itu kemudian (setelah didapat) mereka meninggalkannya:
“Dan( Allah) membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat…”
Sebagai balasan keberpalingan mereka dari cahaya itu.
Jika telinga, lidah dan mata berfungsi untuk menerima getaran suara dan sinar, juga untuk memanfaatkan petunjuk dan cahaya, maka sesungguhnya mereka (orang-orang munafik itu) telah merusak fungsi telinga mereka sehingga mereka “tuli”, telah merusak fungsi lidah mereka sehingga mereka “bisu”, dan telah merusak fungsi mata mereka sehingga mereka “buta”. Hingga pada akhirnya, mereka tidak dapat kembali kepada kebenaran, tidak bisa mendapatkan petunjuk lagi, dan tidak bisa memperoleh cahaya kembali!
Permisalan yang lain menggambarkan keadaan mereka dan memotret keguncangan, kebingungan, kecemasan dan ketakutan yang ada pada jiwa mereka:
“Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinga mereka dengan anak jari mereka, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiapkali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”(19-20)
Ini merupakan gambaran yang menakjubkan, penuh dengan gerak dan guncangan. Ada kebingungan dan kesesatan. Ada kedahsyatan dan kecemasan. Ada ketakutan dan kepanikan. Juga ada cahaya dan getaran. Guyuran deras air hujan dari langit. “disertai gelapgulita, guruh dan kilat.” “Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu.” “Dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti.” Yakni berhenti karena bingung, tidak tahu kemana mereka harus pergi. Merekapun ketakutan:
Mereka menyumbat telinga mereka dengan anak jari mereka, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati.” (19)
Sesungguhnya, gerak yang memenuhi seluruh gambaran di atas, sejak dari hujan deras, gelap gulita, guruh, petir, sampai orang-orang yang bingung ketakutan, hingga langkah-langkah panik dan takut yang berhenti ketika gelap menyelimuti mereka..Sesungguhnya, semua gerak dalam pemandangan ini menggambarkan—melalui pengaruh positif (ta’atstsur ijabi) yang ditimbulkannya—tentang gerak kebingungan, keguncangan, kecemasan, dan kelabilan yang dialami oleh orang-orang munafiq itu. Antara pertemuan mereka dengan orang-orang Mukmin dan kepulangan mereka ke tengah setan-setan mereka. Antara perkataan yang mereka ucapkan di saat tertentu kemudian tiba-tiba mereka ingkari. Antara petunjuk dan cahaya yang mereka cari dan apa yang mereka hadapi berupa kesesatan dan kegelapan..Ini merupakan pemandangan empirik yang menggambarkan keadaan jiwa, dan melukiskan secara nyata gambaran perasaan. Ini merupakan salah satu metode al-Qur’an yang unik dalam menggambarkan secara nyata dan konkrit berbagai keadaan jiwa,seolah-olah pemandangan yang bisa dilihat oleh indera.[1]