Di dalam penggal (maqtha’) yang merupakan pembukaan surat yang agung ini, kita dapati karakteristik utama bagi kelompok-kelompok yang dihadapi oleh dakwah di Madinah, kecuali kelompok Yahudi yang disinggung secara sepintas tetapi cukup memadai, karena penamaan mereka dengan “setan-setan kaum munafik” sudah banyak menggambarkan tentang sifat-sifat mereka dan hakikat peran mereka, hingga segera menyusul rincian yang lengkap setelah itu.
Di sini, di dalam beberapa kalimat dan ungkapan pada awal surat ini tergambarkan tiga gambaran tentang tipologi jiwa manusia. Masing-masing tipe merupakan contoh hidup bagi sejumlah besar umat manusia. Contoh asli, mendalam dan berulang-ulang pada setiap zaman dan tempat, hingga seluruh umat manusia di semua zaman dan tempat nyaris tidak keluar dari tipologi tersebut. Ini merupakan kemukjizatan..
Di dalam beberapa kalimat dan ayat yang singkat itu tergambarkan tiga model manusia tersebut secara jelas dan sempurna. Suatu gambaran yang menggerakkan kehidupan, memberikan karakteristik secara cermat dan menggambarkan sifat-sifat secara spesifik. Sehingga sentuhan kata yang singkat dan jelas, indah susunan dan iramanya ini mengalahkan penjelasan dan rincian panjang lebar.
Setelah memaparkan tipologi tersebut, konteks surat mengajak manusia, segenap umat manusia, kepada model pertama, dan menyeru mereka semua agar kembali kepada-Nya. Kembali kepada menyembah Allah yang Maha Esa, Pencipta yang Mahatunggal, Pemberi rezeki yang Mahasatu, tanpa sekutu dan tanpa tandingan. Konteks ini juga menantang orang-orang yang meragukan risalah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan penurunan kitab kepadanya, agar mereka membuat surat yang semisal dengannya; seraya memberikan ancaman siksa yang menakutkan dan mengerikan jika mereka berpaling, dan memberikan berita gembira kepada orang-orang yang beriman dengan menggambarkan kenikmatan abadi yang tengah menanti mereka.
Selanjutnya, mulai dipaparkan bantahan terhadap orang-orang Yahudi dan munafik yang menolak pemisalan yang dibuat oleh Allah di dalam Al Qur’an. Mereka menjadikan pembuatan tamsil ini sebagai sarana untuk menimbulkan keraguan bahwa Al Quran diturunkan dari sisi Allah. Kemudian diperingatkan kepada mereka bahwa apa yang ada di balik pemisalan itu akan menambah kesesatan mereka—sebagaimana pemisalan itu menambah hidayah kepada orang-orang mukmin. Selanjutnya disampaikan kecaman keras karena mereka kafir terhadap Allah yang Maha Mematikan, Maha Menghidupkan, Maha Pencipta, Maha Mengatur, Maha Mengetahui segala sesuatu di wujud kosmik ini; Dia-lah yang melimpahkan nikmat kepada manusia dengan menciptakan segala yang ada di muka bumi ini untuk manusia dan mengangkat mereka menjadi khalifah di dalam kerajaan yang luas lagi panjang ini.
Itulah secara umum alur utama di dalam pelajaran pertama dari surat Al Baqarah. Mari kita kaji garis besar ini dengan sedikit perincian.
* * *
Surat ini diawali oleh tiga huruf potongan: Alif laam mim. Disusul pembicaraan tentang kitab Allah:
Kitab( Al qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”(2)
Huruf-huruf seperti ini tercantum di awal sebagian surat Al Qur’an. Tentang tafsir huruf-huruf ini terdapat banyak pendapat. Kita pilih sebagiannya. Sesungguhnya ia merupakan isyarat untuk mengingatkan bahwa kitab ini tersusun dari jenis huruf-huruf tersebut, sehingga berada dalam jangkauan pemahaman orang-orang Arab yang diajak bicara. Tetapi sekalipun demikian, ia adalah kitab mukjizat yang mereka tidak mampu membuat kitab semisalnya dari huruf-huruf tersebut. Kitab yang menantang mereka sekali, dua kali, tiga kali untuk membuat kitab yang semisal dengannya, atau membuat sepuluh ayat yang semisal dengannya, atau satu surat yang semisal dengannya, tetapi mereka tidak bisa memenuhi tantangan ini.
Perihal kemukjizatan Al Qur’an ini sama dengan masalah kemukjizatan semua ciptaan Allah. Ia persis seperti ciptaan Allah dalam segala sesuatu dan dalam penciptaan manusia. Sesungguhnya tanah liat ini terdiri dari partikel-partikel atom yang diketahui sifat-sifatnya. Apabila manusia mengambil partikel-partikel tanah tersebut, paling-paling sesuatu yang bisa dibuatnya dari partikel itu adalah batu bata, bejana, tiang, bangunan, atau peralatan, betapapun kecermatan pembuatannya. Tetapi Allah yang Maha Pencipta menciptakan dari partikel-partikel tanah itu sebagai kehidupan, kehidupan yang bergerak dan berdetak, menyimpan rahasia Ilahi yang penuh kemukjizatan, rahasia kehidupan, rahasia yang tidak pernah bisa dicapai dan diketahui oleh manusia. Demikian pula halnya Al Qur’an, dari huruf-huruf dan kata-kata, manusia hanya bisa membuat kalimat dan sya’ir, tetapi Allah bisa membuatnya menjadi Al Qur’an dan Al Furqan.
Perbedaan antara buatan manusia dan ciptaan Allah adalah seperti perbedaan antara tubuh yang kaku dan ruh yang bergerak hidup. Seperti perbedaan antara bentuk kehidupan dan hakikat kehidupan!
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya…” (2)
Dari mana munculnya keraguan dan kebimbangan sedangkan bukti-bukti kebenaran dan keyakinannya terkandung di permulaan surat ini? Nampak pada ketidakmampuan mereka untuk membuat kitab yang semisalnya, dari huruf-huruf yang beredar dan dikenal dalam bahasa mereka?
”Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”(2)
Petunjuk adalah hakikat Al Qur’an, petunjuk adalah karakternya, petunjuk adalah entitasnya, petunjuk adalah esensinya. Tetapi untuk siapa? Untuk siapa kitab yang menjadi petunjuk, cahaya, dan dalil yang jelas lagi gamblang itu? Bagi orang-orang yang bertakwa. Karena takwa di dalam hati itulah yang memungkinkannya untuk bisa memanfaatkan kitab ini. Takwa itulah yang dapat membuka gembok-gembok hati sehingga Al Qur’an bisa masuk dan memainkan perannya di dalamnya. Takwa itulah yang mengkondisikan hati untuk bisa mengambil, menerima, dan menyambut.
Orang yang ingin mendapatkan petunjuk di dalam Al Qur’an harus datang kepadanya dengan hati yang sehat, dengan hati yang jernih. Ia juga harus datang kepadanya dengan hati yang takut, waspada, dan hati-hati dari terjerumus ke dalam kesesatan atau terseret ke dalam kesesatan. Pada saat itulah Al Qur’an akan membukakan berbagai rahasia dan cahayanya dan dicurahkannya ke dalam hati yang datang kepadanya dengan penuh takwa, rasa takut, sensitif, siap menerima. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab-radhiyallahu ‘anhu- bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang takwa, lalu ia bertanya kepadanya: ‘Apakah kamu pernah menempuh jalan berduri’? Umar menjawab:’Pernah.’ Ubay bin Kaab bertanya:’Apa yang kamu lakukan?’ Umar menjawab:’Aku berusaha keras dan bersungguh-sungguh’. Ubay bin Ka’ab berkata: ‘Itulah takwa’.[10]
Itulah taqwa, kepekaan hati nurani, kebeningan perasaan, rasa takut yang terus menerus, kehati-hatian yang langgeng, dan kewaspadaan terhadap duri-duri jalan, jalan kehidupan, yang penuh dengan tarikan duri-duri nafsu dan syahwat, duri-duri ambisi dan angan-angan, duri-duri kecemasan dan kegalauan, duri-duri harapan palsu kepada orang yang tidak memiliki kuasa untuk memenuhi harapan, duri-duri ketakutan palsu terhadap orang yang tidak memiliki kuasa untuk memberi manfaat ataupun bahaya, dan puluhan duri-duri lainnya.
Kemudian konteks ini mulai menjelaskan sifat orang-orang yang bertakwa, yaitu sifat kaum mukminin generasi awal di Madinah, sebagaimana juga sifat-sifat orang-orang mukmin yang ikhlas di kalangan umat ini di segala zaman:
“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugrahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.”(3-4)
Ciri khas pertama orang-orang yang bertakwa adalah kesatuan perasaan yang positif dan aktif. Kesatuan yang menghimpun di dalam diri mereka antara iman kepada yang ghaib dan pelaksanaan berbagai kewajiban, iman kepada semua rasul, dan keyakinan kepada kehidupan akhirat sesudah itu. Itulah takamul (keterpaduan) yang menjadi ciri khas aqidah Islam, yang menjadi keistimewaan jiwa orang yang mengimani aqidah ini, dan yang perlu dijadikan sebagai aqidah terakhir yang datang untuk mempertemukan dan menguasai segenap umat manusia; agar umat manusia hidup di bawah naungannya dengan syi’ar-syi’ar dan sistem kehidupan mereka dalam suatu kehidupan yang terpadu, meliputi perasaan dan amal perbuatan, keimanan, dan sistem.
Apabila kita rinci ciri khas pertama orang-orang yang bertakwa ini satu demi satu, maka akan terungkaplah sejumlah nilai utama dalam kehidupan segenap umat manusia.
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib….”(2)
Sehingga tidak ada hambatan-hambatan indrawi yang menghalangi hubungan antara ruh mereka dengan kekuatan Mahabesar yang menjadi sumber kehidupan ruh dan seluruh wujud kosmik ini. Tidak ada lagi batas-batas penghalang yang menghalangi antara ruh mereka dengan semua hakikat, kekuatan, potensi, makhluk, dan segenap eksistensi yang ada di balik alam nyata.
Iman kepada yang ghaib merupakan ambang pintu yang harus dilalui manusia agar bisa melampaui taraf kebinatangan yang tidak bisa mengetahui kecuali apa yang bisa dijangkau oleh inderanya, menuju martabat manusia yang bisa mengetahui bahwa wujud ini jauh lebih besar dan jauh lebih luas ketimbang wilayah kecil dan terbatas yang bisa dijangkau oleh indera-atau peralatan yang merupakan perpanjangan dari indera manusia. Ini merupakan lompatan (peningkatan) yang sangat jauh pengaruhnya dalam tashawwur manusia tentang hakikat wujud secara keseluruhan, tentang hakikat wujud dirinya, tentang kekuatan-kekuatan yang bergerak di dalam entitas wujud ini, di dalam kesannya tentang alam raya dan kekuasaan serta pengaturan yang ada di balik alam raya. Sebagaimana juga merupakan lompatan (peningkatan) yang sangat jauh pengaruhnya dalam kehidupannya di muka bumi. Karena itu, orang yang hidup di dalam wilayah kecil yang bisa dijangkau oleh inderanya tidak sama dengan orang yang hidup di alam raya yang bisa dijangkau oleh akal dan bashirah (mata hati) nya; di mana ia bisa menangkap getaran-getaran dan isyarat-isyaratnya di dalam dasar jiwa dan relung hatinya. Ia bisa merasakan bahwa dimensi waktu dan ruangnya jauh lebih luas ketimbang segala sesuatu yang bisa dijangkau oleh kesadarannya dalam umurnya yang pendek dan terbatas; dan bahwa di balik alam, baik yang nyata ataupun yang tersembunyi, ada hakikat yang lebih besar ketimbang alam itu sendiri, yakni hakikat yang menjadi sumber keberadaan alam dan keberadaan dirinya, hakikat dzat Ilahiyah yang tidak bisa dijangkau oleh penglihatan dan akal.
Pada saat itulah potensi akal pemikiran manusia yang terbatas jangkauannya itu bisa terhindar dari segala bentuk perbenturan dan kerancuan, atau menyibukkan diri dengan hal-hal yang di luar bidangnya, atau hal-hal yang di luar jangkauan kemampuannya, atau sesuatu yang tidak berguna baginya. Sesungguhnya, potensi pemikiran itu dianugerahkan kepada manusia agar ia bisa melaksanakan misi kekhalifahan di muka bumi. Ia diserahi tugas mengurusi kehidupan nyata di dunia ini, dengan melakukan pengamatan, pengkajian dan penelitian terhadapnya; dengan bekerja berproduksi, mengembangkan, dan memperindah kehidupan ini. Tetapi, dengan syarat mendapatkan dukungan dari potensi spiritual (ruhiyah) yang mampu berhubungan langsung dengan segenap wujud dan Pencipta wujud, di samping harus menyerahkan hal-hal ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia kepada yang ghaib pula. Segala upaya untuk menjangkau apa yang ada di balik alam nyata dengan akal yang potensinya terbatasi oleh sejumlah keterbatasan di dunia ini dan kehidupan di atasnya, tanpa dukungan dari ruh yang mendapatkan ilham dan bashirah yang terbuka luas, tanpa menyerahkan hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh akal kepada yang ghaib adalah merupakan upaya yang gagal dan sia-sia. Gagal karena ia menggunakan perangkat tidak sesuai dengan peruntukannya. Dan sia-sia karena ia menghamburkan potensi akal tidak pada bidangnya. Bila akal manusia telah menerima aksiomatika pertama, yaitu bahwa yang terbatas tidak mampu menjangkau yang mutlak maka pasti-sebagai penghormatan terhadap logikanya sendiri- ia menyadari bahwa menjangkau yang Mahamutlak itu adalah mustahil; dan bahwa ketidakmampuannya menjangkau hal-hal yang tidak bisa diketahuinya itu tidak menafikan eksistensinya di dalam lipatan keghaiban yang tersembunyi. Karena itu, ia harus menyerahkan yang ghaib kepada potensi lain, bukan kepada potensi akal, dan menerima pengetahuan perihal keghaiban itu dari Dzat yang Maha Mengetahui segala yang zhahir dan yang batin, yang mengetahui alam ghaib dan alam nyata. Penghormatan terhadap logika tersebut, dalam masalah ini, merupakan sifat pertama di antara sifat-sifat orang-orang yang bertakwa.
Iman kepada yang ghaib adalah merupakan persimpangan jalan dalam peningkatan manusia dari alam binatang. Tetapi, kelompok kaum materialis di zaman ini, sebagaimana kelompok kaum materialis di setiap zaman, ingin membawa manusia mundur ke belakang kembali ke alam binatang yang tidak mengakui keberadaan hal-hal di luar jangkauan inderanya! Mereka menamakan hal itu sebagai ‘kemajuan’, padahal ia merupakan malapetaka di mana Allah menghindarkan orang-orang mukmin darinya. Karena itu, dia menjadikan salah satu sifat mereka yang khas adalah: “Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib.” Segala puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya. Semoga malapetaka menimpa orang-orang yang menolak dan mengingkarinya.
“Dan yang mendirikan shalat….”(3)
Lalu, mereka menghadapkan diri dengan ibadah kepada Allah semata, dan dengan demikian menghindarkan diri dari penyembahan terhadap sesama hamba dan penyembahan benda. Mereka menghadapkan diri kepada kekuatan yang mutlak tanpa batas, dan menundukkan dahinya kepada Allah bukan kepada hamba. Hati yang bersujud kepada Allah dengan benar dan berhubungan dengan-Nya sepanjang malam dan siang, pasti merasakan bahwa ia memiliki kaitan sebab dengan yang wajib wujud-Nya. Ia pasti menemukan tujuan hidup yang lebih tinggi ketimbang sekadar tenggelam di dalam kehidupan dunia dan berbagai kebutuhan dunia. Ia pasti merasakan bahwa dirinya lebih kuat ketimbang segenap makhluk karena ia berhubungan dengan Pencipta semua makhluk. Dan ini semua merupakan sumber kekuatan bagi hati, sebagaimana juga merupakan sumber ketakwaan, dan salah satu faktor penting dari pembinaan kepribadian yang memiliki tashawwur, perasaan dan perilaku yang robbani…
“Dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (3)
Mereka mengakui sejak semula bahwa harta yang ada di tangan mereka adalah dari rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka, bukan dari usaha mereka sendiri. Dari pengakuan terhadap nikmat rezeki ini akan muncul sikap berbuat baik kepada makhluk yang lemah, solidaritas antara sesama hamba Allah yang memerlukan, rasa ikatan kemanusiaan, dan rasa persaudaraan sesama manusia. Nilai ini semua nampak jelas dalam pembersihan jiwa dari kekikiran dan pensuciannya dengan melakukan kebajikan. Nilai ini dapat mengembalikan kehidupan sebagai lapangan kerjasama, bukan ajang perebutan. Nilai ini juga dapat memberikan jaminan kepada orang yang lemah, tidak mampu, dan tidak berdaya. Di samping dapat menumbuhkan perasaan bahwa mereka hidup di tengah-tengah kelembutan hati, wajah dan jiwa, bukan di tengah-tengah cengkeraman cakar, taring, dan kuku!
Infaq meliputi zakat, shadaqah, dan semua aspek kebajikan. Infaq telah disyari’atkan sebelum pensyari’atan zakat, karena infaq merupakan prinsip umum yang perincian khususnya ditegaskan oleh nash-nash zakat, tetapi tidak terliput dalam zakat. Di dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-dengan sanadnya dari Fathimah binti Qais-disebutkan:”Sesungguhnya di dalam harta ada hak (orang lain) selain zakat.”)[11]
Penetapan prinsip ini secara umum merupakan tujuan nash yang mendahului penetapan kewajiban zakat tersebut.
“dan orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu….”(4)
Ini adalah sifat terakhir (dalam rangkaian ayat ini). Sifat terakhir yang mengaitkan antara dunia dan akhirat, antara permulaan dan nasib akhir, antara amal perbuatan dan balasan. Sifat yang membuat manusia merasakan bahwa ia tidak dibiarkan begitu saja, bahwa ia tidak dibiarkan begitu saja, bahwa ia tidak diciptakan dengan sia-sia, dan bahwa keadilan mutlak telah menantinya, agar hatinya merasa tenang, jiwanya tentram, dan kembali kepada amal saleh, kepada keadilan Allah dan rahmat-Nya di penghujung perjalanan.
Yakin akan (adanya kehidupan) akhirat merupakan persimpangan jalan antara orang yang hidup di dalam kungkungan dinding indera yang tertutup dan orang yang hidup di alam wujud yang luas terbentang. Antara orang yang merasakan bahwa kehidupannya di dunia ini merupakan ujian yang dipersiapkan untuk diberi balasan, dan bahwa kehidupan yang hakiki hanya ada di sana, di balik ruang kecil yang terbatas ini.
Setiap sifat dari sifat-sifat tersebut- seperti telah kita ketahui-memiliki nilai di dalam kehidupan manusia, karena itu ia menjadi sifat-sifat orang yang bertakwa. Antara satu sifat dengan sifat lainnya ada kaitan dan keterpaduan yang membentuk kesatuan yang serasi dan saling menyempurnakan. Takwa adalah perasaan hati dan keadaan mental, yang melahirkan berbagai kecenderungan dan amal perbuatan; menyatukan berbagai perasaan batin dan berbagai perilaku lahiriyah; menghubungkan antara manusia dan Allah dalam sepi dan ramainya; membuat ruh menjadi jernih sehingga mengurangi dinding pemisah antara ruh dan keabsolutan yang meliputi alam ghaib dan alam nyata; dan mempertemukan antara yang bisa diketahui dan yang tidak bisa diketahui. Bila ruh telah jernih dan tidak ada lagi dinding penghalang antara batin dan zhahir, maka sesungguhnya iman kepada yang ghaib pada saat itu merupakan buah alami dari terhapusnya berbagai dinding penutup, di samping merupakan hubungan ruh dengan yang ghaib dan rasa tenang terhadapnya. Takwa dan iman kepada yang ghaib disertai ibadah kepada Allah dalam bentuk yang telah dipilih-nya dan dijadikan-Nya sebagai hubungan antara hamba dan Tuhan, kemudian bersikap dermawan dengan sebagian rezeki sebagai pengakuan terhadap pemberian-Nya dan rasa persaudaraan. Selanjutnya kelapangan hati terhadap parade keimanan lintas zaman, rasa ikatan kekerabatan terhadap setiap Mukmin dan setiap Nabi, dan keyakinan akan adanya kehidupan akhirat tanpa ragu sama sekali, itu semua merupakan gambaran Jama’ah Muslim yang ada di Madinah pada saat itu, yang terdiri dari generasi awal kaum Muhajirin dan Anshor. Jama’ah yang memiliki sifat-sifat tersebut merupakan sesuatu yang sangat agung. Sesuatu yang benar-benar sangat agung, karena ia telah merealisasikan hakikat keimanan. Oleh sebab itu, dengan jama’ah ini Allah telah melakukan berbagai hal besar di muka bumi dan dalam kehidupan manusia semuanya. Itulah sebabnya kemudian ditegaskan: “Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (5)
Demikianlah mereka mendapat petunjuk dan demikian pula mereka mendapat kemenangan. Jalan untuk mendapatkan petunjuk dan kemenangan adalah jalan yang telah digariskan tersebut.
* * *
[10] Atsar, dengan redaksi seperti ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di dalam Az Zuhd Al Kabir dari jalan Ibnu Abu Dunya, hanya saja orang yang ditanya adalah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sedangkan penanyanya seorang lelaki yang tidak disebut namanya. Di dalam sanad-nya ada Hisyam bin Ziyad, dia lemah. Juga terdapat Suhail bin Abu Saleh, hafalannya kacau balau di akhir hidupnya. Demikian pula Ibnu Rajab mencantumkan atsar ini di dalam syahr-nya tentang Al Arba’in An Nawawiyah (hadits nomor 18) tanpa menyebutkan sanad. As Suyuthi menisbatkannya kepada Abu dunya di dalam Ad Durr Al Mantsur. Ibnu Katsir mencantumkannya di awal surat Al Baqarah tanpa menisbatkannya kepada siapapun dan menyebutkan orang yang ditanya adalah Ubay radhiyallahu’anhu Al Baghawi mencantumkannya di dalam “At Tafsir” dan menyebutkan orang yang ditanya adalah Ka’ab Al Ahbar. Lihat: Az Zuhd Al Kabir, hal. 367, dan tafsir Al Baghawi 1/60, Thaibah. (as)
[11] Dha’if, diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Jarir, Ad Darami dan Al Baihaqi. Semuanya dari jalan Abu Hamzah Maimun Al A’war, dia lemah.