Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Kita panjatkan puji syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.

Ikhwan yang mulia, saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari Allah, yang baik dan diberkahi: assalamu’alaikum wa rahmatullah wa harakatuh.

Amma ba’du. Secara formal, saya meminta maaf kepada Anda semua lantaran keterlambatan saya saat ini, namun secara substansial saya memohon maaf kepada diri saya sendiri karena telah menghalanginya dari indahnya perjumpaan akrab dengan Anda semua saat ini.

Ikhwan semua. “Sentuhan Selasa” menghendaki untuk menunjukkan hak dan keberadaannya. Bila kita tidak mengenal hak diri kita, maka siapakah yang akan mengenalinya? Karena itu, izinkan saya berpanjang lebar dengan “Sentuhan Selasa” ini untuk menggambarkan hak persaudaraan, seraya memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar memberikan manfaat kepada saya dan Anda semua dengan apa yang kita ucapkan maupun yang kita dengarkan, serta mempererat ikatan persaudaraan ini di antara hati kita, yang ia merupakan kekuatan bagi orang-orang lemah dan bekal bagi orang-orang yang bercita-cita dan berjuang. Saya memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar menyatukan hati kita di atas ridha-Nya dan memberikan kepada kita kenikmatan cinta karena-Nya, serta menjadikannya bermanfaat bagi kita di dunia dan akhirat.

Ikhwan semua, Anda telah membaca dan mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menghargai ikatan diantara orang-orang beriman ini dengan harga yang inggi, sehingga menilainya sebagai satu bentuk keimanan, dan ketiadaannya sebagai satu bentuk kekufuran. Anda semua telah membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Anda juga membaca firman Allah, “Hai orang-orang beriman, jika kalian mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian beriman.” (QS. Ali Imran: 100)

Maksud ayat ini adalah, mereka akan mengembalikan kalian berpecah-belah sesudah kalian bersatu. Ayat ini turun berkenaan dengan masalah ini. Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam telah mengisyaratkan hakikat ini ketika beliau berdiri menghadap para sahabatnya. Ketika itu beliau mengisyaratkan sebab turunnya ayat mulia ini. Beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian kembali kepada kekafiran sepeninggalku, yaitu sebagian kalian memukul wajah sebagian lain.”

Dengan demikian, Ikhwan semua, Al-Qur’an telah menghargai kesatuan dan persaudaraan dalam agama Allah dengan nilai yang tinggi. Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Adakah keimanan itu hanya kecintaan dan kebencian?”

Islam ingin menanamkan hakikat nilai ini di dalam hati kaum muslimin, ketika kesatuan ini merupakan satu-satunya senjata untuk kebangkitan umat. Islam menetapkan indikasi praktis dalam persatuan ini. Islam mewajibkan waris-mewarisi berdasarkan persaudaraan Islam.

Seorang saudara muslim mewarisi harta saudara muslimnya sebagaimana seorang saudara kandung. Sehingga ketika makna ini telah tertanam dan aktif bergerak dalam hati yang suci dan jiwa yang jernih, maka tidak diperlukan lagi waris-mewarisi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal: 75)

Ikhwan sekalian, Islam telah menempatkan persaudaraan ini dalam kedudukan semacam ini, karena kebangkitan itu tidak akan tegak kecuali di atas landasan persatuan. Ia tidak bisa tegak di atas perpecahan. Hakikat ini telah tertancap dalam diri mereka, sampai-sampai mereka dilupakan dari persaudaraan nasab. Lihatlah, Aziz bin Umair ketika datang sebagai tawanan perang Badar. Ketika itu ia memandangi para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, sehingga ia dapati di antara mereka ada saudara kandungnya, Mush’ab bin Umair. Dalam hati, ia berkata, “Saudaraku bersama orang-orang yang telah menawanku. Mudah-mudahan aku bisa menikmati kehidupan yang baik bersama mereka.” Lantas ia berbisik kepada saudaranya itu, “Saudaraku, ingatlah hubunganmu denganku!” Mush’ab tidak melakukan apa pun selain berkata kepada orang Anshar yang menawannya, “Peganglah ia kuat-kuat, karena ibunya orang yang berharta banyak kemudian mintalah tebusan yang banyak. Ia pasti akan memberikan apa yang kamu minta itu.” Aziz memandanginya dengan heran, “Inikah caramu menyambung hubungan denganku?” Mush’ab berkata, “Aziz, dia saudaraku, sedangkan kamu bukan.”

Ini dikarenakan kedudukan persaudaraan aqidah itu lebih tinggi daripada persaudaraan apa pun. Karena ikatan iman itu berada di atas semua ikatan. Itulah ikatan yang dicatat oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam kitab-Nya yang mulia. Sedangkan ikatan selainnya, tidak dicatat-Nya. Dia berfirman, “Sesungguhnya, orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (QS. Al Hujurat: 10)

Ikhwan sekalian, demikianlah keadaan mereka, sampai-sampai mereka mensakralkannya. Kita telah berbicara panjang tentang ini, dan kita akan berbicara lebih panjang lagi. Karena ia merupakan pilar pertama bagi kebangkitan kaum muslimin generasi pertama. Jika hati kita berpadu di atas tujuan ini dan bersaudara karena Allah, maka kita dengan izin Allah akan mendapatkan taufiq dalam langkah-langkah kita dan akan mencapai tujuan kita.

Amma ba’du. Salah seorang Ikhwan pernah mengusulkan kepada saya pada pekan lalu agar pembicaraan saya dengan Anda semua ini mengambil aspek teoritis dan praktis dari berbagai hakikat nilai kitab Allah. Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan salah satu aspek paling baik yang menjadi perhatian agama yang hanif ini, yang seringkali diulang dalam kitab Allah subhanahu wa ta’ala, agar kita mengetahui di manakah Islam meletakkan amar ma’ruf nabi munkar.

Ikhwan semua, yang dimaksud dengan amar ma’ruf nabi munkar adalah dua hal, yang tanpa keduanya keimanan tidak akan sempurna:Pertama, rasa kejiwaan. Kedua, perbuatan lahir.

Adapun yang dimaksud dengan rasa kejiwaan adalah pengetahuan yang baik mengenai berbagai masalah sehingga Anda bisa menghayati kebaikan, lantas merasakan kegembiraan karena kebaikannya dan menyuruh orang lain melaksanakannya; Anda juga merasakan buruknya kejahatan sehingga merasa jijik dan kesal terhadapnya, sehingga Anda enggan melihatnya. Anda mendapati di dalam keburukan itu ada sesuatu yang mengganggu dan menyakiti Anda, sehingga mendorong Anda untuk mengungkapkan perasaan Anda ini dan mencegah orang lain darinya. Itulah perasaan di hati, yaitu Anda merasakan baiknya kebaikan dan buruknya keburukan.

Makna amar ma’ruf nahi munkar, wahai Ikhwan, hendaklah Anda berusaha mengajak orang lain kepada kebaikan dan menghindarkan mereka dari keburukan. Islam sebagai agama individual dan sosial sekaligus telah mewajibkan Anda untuk memperbaiki diri Anda sendiri dan mengajak orang lain kepada kebaikan. Banyak alasan yang membenarkan seseorang untuk ikut campur terhadap perbuatan orang lain.

Pertama, solidaritas sosial di antara manusia, karena masyarakat itu ibarat satu bangunan. Jika gangguan muncul pada salah satu bagiannya, ia akan mempengaruhi bangunan secara keseluruhan. Dengan alasan Anda akan terkena dampak buruk dari perbuatan jahatnya, maka Anda mempunyai hak untuk mencegahnya. Hal itu dikuatkan oleh hadits Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, “Permisalan orang yang mematuhi larangan-larangan Allah dengan orang yang melanggarnya, ibarat satu kaum yang berundi di dalam kapal. Di antara mereka ada yang mendapat bagian di atas dan di antara mereka ada yang mendapat bagian di bawah. Orang-orang yang berada di bawah jika hendak mengambil air harus melewati orang-orang yang di atas mereka. Akhirnya mereka berkata, ‘jika kita melubangi kapal bagian kita, niscaya kita tidak akan mengganggu orang yang ada di atas kita.’ Jika orang-orang yang di atas membiarkan mereka melubangi kapal, niscaya semua binasa. Tetapi jika orang-orang yang di atas mencegah, maka mereka dan semuanya selamat.”

Jika kerusakan muncul di sebuah masyarakat, maka ia akan berkembang dan menular. Ketika itu Anda akan terkena pengaruhnya sebagaimana masyarakat akan terpengaruh. Semua kebebasan pribadi itu dibatasi dengan kebebasan orang lain. Hak orang untuk berbuat apa pun bagi dirinya, dibatasi oleh ketentuan bahwa ia tidak boleh mengganggu orang lain. Karena meminum khamr itu bisa menjadi contoh dan menyebarkan kekejian, maka penguasa dan atau orang selainnya dituntut untuk ikut campur mencegah demi solidaritas sosial.

Kedua, alasan kemanusiaan. Persaudaraan sesama manusia yang menjadikan Anda saudara saya, saya saudara Anda, dia saudara saya, dan saya saudaranya. Saya ikut merasakan penderitaan dan kesedihan yang menimpanya, saya mengkhawatirkan apa yang mengkhawatirkannya, dan saya bergembira karena kegembiraannya. Saya merasa bersedih ketika ia bersedih. Dengan alasan bahwa kita semua saudara muslim, maka ketika ia minum khamr, berarti ia telah menghabiskan uang, membakar diri, merusak akal, dan memasukkan penderitaan ke dalam rumahnya. Semua itu merupakan bencana. Saya pasti akan menanggung sebagian dari dampak negatifnya, lantaran persaudaraan saya dengannya. ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Berdasarkan pertimbangan persaudaraan sesama manusia, saya mempunyai hak untuk ikut campur dalam kebebasannya dan memerintahnya untuk berbuat baik dan melarangnya dari kemungkaran.

Ketiga, alasan kebenaran. Kebenaran sendiri mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh manusia. Kebenaran adalah timbangan yang di atasnya langit dan bumi tegak. Karena itu, prinsip-prinsip kebenaran harus dibeli dengan darah dan harta. Harus ada pengorbanan untuk mewujudkannya, karena ia merupakan kebenaran. Karena kebenaran itu membutuhkan pembela, karena itu saya siap membelanya; dan karena suatu perbuatan salah, maka saya adalah musuhnya dan akan siap menghancurkannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Jika kalian (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badr) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejadian dan kehancuran) Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kalian dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada.” (QS. Ali Imran: 140)

“Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mukminun: 71)

Ikhwan sekalian, inilah alasan-alasan tersebut. Alangkah indahnya ayat berikut ini yang mengisyaratkan kepada hak solidaritas sosial, “Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkala Qabil, aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’ Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah: 30-32)

Demikianlah, Al-Qur’anul Karim memberikan jaminan kepada Anda bahwa barangsiapa melakukan kebaikan, berarti ia telah melakukan kebaikan kepada seluruh masyarakat, dan barangsiapa melakukan kejahatan, berarti ia telah melakukan kejahatan kepada seluruh masyarakat.

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan: “Tidak ada satu jiwa pun yang dibunuh, kecuali anak pertama Adam (Qabil) menanggung sebagian dosanya, karena ia adalah orang yang pertama kali mentradisikan pembunuhan.”

Dalam hadits lain juga disebutkan: “Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat; tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia menanggung dosanya dan dosa orang yang melaksanakannya hingga hari kiamat; tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”

Solidaritas sosial itulah, Ikhwan sekalian, yang mengharuskan seseorang ikut campur terhadap urusan orang lain. Itulah yang mengharuskan Anda ikut campur dalam pelaksanaan kebaikan dan pencegahan kejahatan.

Berdasarkan prinsip sosial inilah seorang jaksa mengambil haknya untuk mengajukan gugatan. Karena jaksa adalah wakil masyarakat dalam membela hak masyarakat yang terkena dampak dari kebaikan atau kejahatan. Inilah prinsip yang menjadi landasan bagi seorang jaksa sehingga berhak mengajukan gugatan.

Anda juga seorang jaksa, karena Anda seorang muslim yang mengetahui bahwa kebaikan masyarakat akan terwujud dengan mengikuti hukum-hukum Islam dan mengetahui bahwa keburukan masyarakat akan terjadi akibat meninggalkan hukum-hukum Islam. Ini menjadikan Anda berhak untuk menjadi penuntut umum yang mengajukan tuntutan terhadap para pelaku kezhaliman untuk mencegahnya dari kejahatan, sehingga kekejian tidak tersebar di kalangan orang-orang beriman. Jika ini telah diketahui secara jelas, wahai Akhi, maka kita telah mengetahui bahwa Anda mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk melaksanakan tugas ini, di antaranya adalah indahnya kebenaran dan ikatan persaudaraan di antara kita. Semua ini mengharuskan kita untuk turut serta mencegah kejahatan dan memerintahkan kebaikan. Jika seseorang hendak melaksanakan kejahatan, maka dengan alasan persaudaraan ini dan dengan alasan bahwa ia adalah saudaramu yang akan terjerumus dalam keburukan, maka Anda harus mencegahnya dari keburukan tersebut.

Amar ma’ruf nahi munkar bermula dari perasaan yang bergerak di dalam diri manusia, sehingga mendorongnya untuk memerintahkan perbuatan baik dan mencegah kejahatan. Ajaran Islam memerintahkan perbaikan untuk diri sendiri maupun masyarakat. Ia adalah agama individu dan sosial, maka hendaklah Anda memperbaiki diri dengan melaksanakan amal shalih dan mengajak orang lain kepadanya.

Ikhwan semua, sekarang, marilah melihat nilai perbuatan ini dalam Kitab Allah subhanahu wa ta’ala. Kita menemukan bahwa amar ma’ruf nahi munkar telah disebutkan secara berulang-ulang dalam berbagai surat. Misalnya Anda membacanya dalam salah satu surat, “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Kemudian Anda mendapati juga firman-Nya yang lain, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)

“Diantara ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (shalat). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang shalih. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang ber-taqwa.” (QS. Ali Imran: 113-115)

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah: 78-79)

“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka, tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 63)

Setelah ini Anda juga membaca perintah Allah subhanahu wa ta’ala, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah: 71)

Wahai Akhi, setelah ini, Anda membaca juga firman Allah, “Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 41)

Anda melihat kandungan ini disebutkan berulang-ulang dalam banyak ayat di kitab Allah subhanahu wa ta’ala. Sekarang, mari kita perhatikan beberapa isyarat berikut yang ditunjukkan oleh ayat-ayat di bawah ini. Wahai Akhi, tidakkah Anda melihat bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menilai suatu umat itu dengan barometer amar ma’ruf nahi munkar? Ketika mengangkat suatu kaum ke derajat yang paling tinggi, Allah berfirman:

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,” kemudian Allah menyatakan alasan kebaikan ini dengan firman-Nya: “Menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali Imran: 110)

Ketika merendahkan suatu kaum hingga derajat yang serendah-rendahnya, Allah berfirman, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Isra’il melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.” (QS. Al-Maidah: 78-79). Lantaran mereka tidak mau saling mencegah kemungkaran yang mereka lakukan, hal ini menyebabkan derajat mereka turun dan mereka berhak mendapatkan laknat karena terus menerus melakukan kemungkaran dan kemaksiatan.

Dengan karakter inilah, Ikhwan semua, bisa dibedakan antara kesempurnaan dengan kegagalan sifat laki-laki pada diri seseorang. Sebab, laki-laki yang sempurna adalah yang bisa mengatakan kebenaran sekalipun pahit. Kadar kelaki-lakian seseorang dibedakan oleh perkataan mereka kepada orang yang berbuat baik, “Kamu telah berbuat baik.” dan kepada orang yang berbuat jahat, “Kamu telah berbuat jahat.”

Karena itulah, umat Muhammad adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, karena ia memerintahkan perbuatan baik dan mencegah perbuatan mungkar, sedangkan umat-umat lain berada di daun timbangan yang jatuh. Hal itu dikuatkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217)

Demikianlah isyarat yang terdapat dalam hadits Nabi, ‘Jika kamu melihat umatku takut berkata kepada orang zhalim, ‘Hai zhalim,’ maka ucapkan selamat tinggal untuknya.”

Diantara sentuhan halus yang terkandung dalam ayat-ayat Allah, Anda melihat dalam firman-Nya, “Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?’ Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu dan supaya mereka bertaqwa.'” (QS. Al-A’raf: 164)

“Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepada mereka: ‘Jadilah kalian kera yang hina.'” (QS. Al-A’raf: 166). Ayat ini mengandung bantahan syubhat orang yang mengatakan: Mengapa kamu membebani dirimu sendiri? Bukankah umat ini keras seperti batu? Maka ucapan ini dibantah oleh firman Allah, “Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?’ Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu dan supaya mereka bertaqwa.”‘

Di sini ada isyarat halus yang perlu diperhatikan, “Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang zhalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (QS. Al-A’raf: 165)

Fir’aun binasa bersama orang-orang yang berdiam melihat kezhalimannya. Adapun orang-orang yang selamat adalah mereka yang melarang perbuatan jahat. Karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menghadiri suatu kemaksiatan lantas mengingkarinya, maka ia seperti orang yang tidak menghadirinya. Dan barangsiapa tidak menghadiri kemaksiatan tetapi menyetujuinya, maka ia sebagaimana orang yang menghadirinya.”

Adapula firman Allah menyatakan, “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali Imran: 104)

Ayat ini menganjurkan agar ada satu kelompok dari umat ini yang mempunyai tugas berdakwah mengajak kepada kebaikan. Didahulukannya dakwah yang sifatnya umum adalah sebagai upaya untuk membangkitkan minat. Kemudian sebagai perinciannya adalah memerintahkan perbuatan yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang mungkar. Kemudian, hal itu diakhiri dengan hasilnya: “Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Dalam ayat: “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imran: 110). Anda mendapati sentuhan yang lembut ini. Sekalipun iman kepada Allah adalah pokok dan fondasi, sedangkan amar ma’ruf dan nahi munkar adalah cabang, Allah telah mendahulukan yang cabang daripada yang pokok, karena keimanan kepada Allah adalah perbuatan pribadi yang dampaknya kembali kepada pelakunya saja, sedangkan amar ma’ruf nabi munkar adalah perbuatan umum yang dampaknya mengenai semua manusia dan karena ia merupakan hak seluruh masyarakat. Karena itu, ayat tersebut menegaskan bahwa umat Muhammad adalah umat yang baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Kemudian, wahai Akhi, Anda mendapati hakikat ini dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar”

Ukhuwah dan persaudaraan tidak akan terwujud kecuali bila saya memerintah Anda untuk melaksanakan yang ma’ruf dan mencegah Anda dari yang mungkar. Seorang penyair berkata, Kau adalah mataku, dan mataku tiada berhak. Memejamkan kelopaknya, lantaran takut debu.

Juga dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.” (QS. Al-Hajj: 41). Disini Anda mendapati bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mendahulukan penegakan shalat dan penunaian zakat, karena keteguhan kedudukan di muka bumi yang diberikan Allah itu menuntut agar orang yang diberi kedudukan itu seorang yang shalih, yang berbuat baik untuk dirinya maupun untuk kebaikan orang lain.

Kenyataan ini, Ikhwan sekalian, merupakan salah satu kemukjizatan Al-Qur’anul Karim. Semoga Allah merahmati orang yang berkata, Tiada sama wahyu yang diturunkan dari sisi Allah, dengan sajak sesat buatan manusia.

Karena itu, Ikhwan yang terhormat, Al-Qur’anul Karim mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar. Al-Qur’anul Karim mewajibkannya bagi setiap orang yang mampu melaksanakannya. Dalam hadits Jarir bin Abdullah radhliyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ia berkata, “Saya telah berbai’at kepada Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam untuk beriman kepada Allah dan menasihati setiap muslim.”

Dalam sebuah hadits disebutkan pula, ‘Agama adalah nasihat.”

Imam Malik radhliyallahu ‘anhu berkata, ‘Suatu ketika saya bersama Ibnu Thawus datang menemui Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur, sedangkan di depannya terlihat cemeti-cemeti. Khalifah berkata, ‘Berbicaralah kepadaku, wahai Ibnu Thawus.’ Ibnu Thawus berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia, “Apakah kalian tidak memperhatikan bagaimana Tuhan kalian berbuat terhadap kaum ‘Ad? (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan yang tinggi. Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. Dan kaum Tsamud yang memecah batu-batu besar di lembah. Dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak). Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri. Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. Karena itu Tuhan kalian menimpakan kepada mereka cemeti adzab. Sesungguhnya Tuhan kalian benar-benar mengawasi.” (QS. Al-Fajr: 6-14)

Saya mendekap baju karena khawatir akan terkena darahnya (khawatir Ibnu Thawus disiksa oleh Khalifah —pen). Tiba-tiba khalifah berkata, ‘Teruskan wahai Ibnu Thawus!’ Maka Ibnu Thawus berkata, ‘Saya pernah mendapatkan riwayat dari Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, ‘Sesungguhnya orang yang mendapatkan siksa paling berat pada hari kiamat adalah seseorang yang telah disertakan Allah di dalam kerajaan-Nya, lantas menimpakan kelaliman di dalam keadilan-Nya.”‘

Abu Ja’far terdiam, lantas berkata, ‘Ibnu Thawus, berikan penamu kepadaku!’ Ibnu Thawus tidak mau memberikannya, maka Abu Ja’far bertanya, ‘Mengapa kau bersikap begitu?’ Ibnu Thawus menjawab, ‘Aku khawatir engkau menulis suatu kemaksiatan, sehingga aku menjadi sekutu bagimu di dalamnya.’ Demi Allah, setelah itu saya selalu mengakui keutamaan Ibnu Thawus.”

Ada riwayat yang mengatakan bahwa Harun Al-Rasyid pernah pergi berthawaf. Ia menemukan seorang laki-laki yang bersimpuh di bawah kain Ka’bah di waktu sahur, seraya mendoakan jelek untuk Harun, perbuatan-perbuatan serta tindakan-tindakannya. Harun lantas berdiri dengan marah. Ia berkata kepada para ajudannya, “Panggil orang itu menghadapku.” Orang itu datang seraya mengucapkan, “Assalamu’alaika (salam sejahtera untukmu).” Harun murka dan kaget dengan keberanian orang itu. Kemudian Harun mengancamnya. Orang itu hanya menjawab, “Demi Allah, jika kamu ingin mempercepat ajal orang yang belum tiba waktunya, maka tidak mungkin ajal tersebut datang lebih cepat karena keinginanmu. Jika kamu ingin memperlambat ajal orang yang saat ajalnya telah tiba, maka kamu pun tidak akan bisa menghindarkannya.”

Maka Harun menangis dan berkata, “Saudaraku, bagaimana untuk menghindarkan diri dari fitnah ini?” Orang itu menjawab, “Mintalah pertolongan kepada orang-orang yang benar.” Harun menjawab, “Saya tidak menemukannya.” Orang itu menukas, “Lantaran engkau hanya dekat dengan orang-orang jahat.”

Ikhwan sekalian, jika kedudukan nasihat dalam agama kita seperti ini, maka setiap orang yang mengetahui satu hukum agama, maka ia wajib menyebarkan dan berusaha menyebarkan hukum yang diketahuinya ini. Jika hukum itu merupakan kebaikan, maka ia harus menyebarkannya dengan memerintahkan, tetapi apabila hukum tersebut merupakan keburukan, maka ia harus menyebarkannya dengan melarang.

Ikhwan sekalian, ketahuilah pula bahwa jika nasihat tidak dilakukan dengan cara yang baik, maka ia berubah menjadi penelanjangan aib. Kita wajib menjadikan nasihat kita itu ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala dan beradab. Bila seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam di majelisnya dengan sesuatu yang tidak benar, maka beliau bersabda, ‘Apa jadinya kaum yang mengatakan begini dan melakukan begini?’

Wahai Akhi, Anda harus memberikan nasihat dengan cara yang halus dan membantu saudara Anda untuk menerimanya. Anda harus menunjukkan sikap kasih sayang, ramah, cinta, dan lemah lembut.

Jika Allah Yang Mahabenar memerintahkan Musa dan Harun agar berbicara dengan lemah lembut kepada Fir’aun, “Dan berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaha: 44), sedangkan kita, wahai kaum muslmin, telah diidentifikasi firman Allah sebagai, “Berkasih sayang sesama mereka” (QS. Al-Fath: 29), maka kita paling layak untuk bersikap lunak dan lembut dalam menyampaikan nasihat.

Ikhwan sekalian, maka hendaklah Anda semua bersemangat untuk senantiasa memberikan nasihat kepada saudara-saudara muslim Anda. Jangan Anda putus asa, sekalipun Anda mendapatkan benturan berkali-kali. Ulangi, dan ulangilah terus! Dan jangan sekali-kali mengeluh dalam pencarian. Bencana bagi seorang yang mencari adalah keluhan. Tidakkah kamu melihat, tali yang diikatkan terus menerus di batu cadas yang keras, bisa berbekas?

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Sayidina Muhammad, juga kepada segenap keluarga dan sahabatnya.