Dalam salah satu pesannya, Imam Hasan Al Banna mengatakan, “Seandainya dapat, saya ingin sekali menyampaikan da’wah ini kepada setiap anak yang dilahirkan.”
Mendidik anak dengan manhaj islami merupakan fondasi berdirinya sebuah masyarakat yang islami, karena mendidik anak dengan manhaj yang islami berarti mempersiapkan generasi yang siap mengemban risalah da’wah dan menegakkan bendera Islam.
Anak merupakan batu pertama bagi pembentukan sebuah masyarakat islami, yang ia terlahir dalam keadaan fitrah. Seorang anak bagaikan lembaran kertas putih yang masih bersih. Oleh karena itu, kita harus bersegera menuliskan ketaqwaan dan akhlak islami pada kertas itu sebelum didahului dan ditulisi dengan tulisan yang menyesatkan oleh orang lam. Seorang anak akan tetap terpikat kepada orang yang memperlakukannya sesuai dengan tabiatnya sebagai anak. Ia akan merasa bahwa ia berada dalam naungan kasih sayang orang tuanya sendiri.
Diceritakan bahwa jika Rasulullah bertemu dengan anak kecil, beliau berhenti dan menunduk seraya menyapanya dengan lembut serta mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Perhatian ini diberikan oleh Rasulullah karena beliau mengetahui bahwa seorang anak sangat memerlukan perlakuan semacam ini, sebagaimana tetesan embun yang menyibak taman bunga, sehingga bunga-bunga itu merasakan kesegaran dan “kebahagiaan”, serta merekah dengan secercah keindahan.
Bertolak dari sinilah, kaum misionaris sangat memperhatikan anak-anak. Kita masih ingat akan apa yang dilakukan oleh Soviet; mereka mengambil anak-anak mujahidin yang menjadi syuhada dan mendidik mereka dengan kekafiran. Fenomena inilah yang kemudian melatarbelakangi berdirinya Islamic Centre di Brussel, Belgia. Ketika itu ada sekelompok mahasiswa Muslim yang melihat pemandangan yang amat mengiris hati mereka, yakni pemandangan yang terjadi di sebuah stasiun kereta api di kota Brussel. Pada saat itu mereka melihat gerbong kereta api yang dipenuhi oleh anak-anak, sementara di pinggir rel kereta api berdiri beberapa pastur, biarawati, dan keluarga-keluarga berwarga negara Belgia melambaikan tangan melepas kepergian anak-anak tersebut. Setelah permasalahannya jelas, barulah pemuda-pemuda itu mengetahui bahwa anak-anak tersebut adalah dari keluarga Arab Muslim yang tinggal di wilayah Muslim di daerah Perancis bagian utara, yang kebanyakan adalah para buruh.
Dengan alasan bahwa anak-anak tersebut terlantar, maka gereja menawarkan kesediaannya untuk menerima mereka di hari-hari libur dan memberi mereka apa yang diperlukan. Yang lebih menyedihkan, anak-anak tadi melambaikan tangan dengan air mata berderai. Ini berarti bahwa anak-anak tersebut sudah merasa berat untuk berpisah dari para gerejawan gerejawati itu. (Majalah Al Ummah, no. 16 tahun keempat)
Pemandangan ini dapat kita saksikan di setiap jengkal bumi Islam, khususnya di Afrika. Belum lama ini kita menyaksikan ratusan anak Palestina yang orang tuanya menjadi syuhada pada pembantaian Shabra dan Syatila diangkut ke tempat-tempat penampungan dan gereja-gereja Eropah, dan tak seorang pemimpin negara Islam pun yang berusaha menyelamatkan mereka.