Biasanya saya menghabiskan hari-hari sekolah di Damanhur. Saya pulang ke Mahmudia pada waktu zhuhur hari Kamis. Menghabiskan malam Jum’at dan malam Sabtu di rumah, kemudian kembali lagi ke sekolah hari Sabtu pagi untuk mendapatkan pelajaran pertama tepat waktu.
Di Mahmudia, saya tidak mempunyai banyak aktivitas selain mengunjungi keluarga dan mengisi saat-saat luang bersama mereka. Ketika itu, persahabatan antara saya dengan Al Akh Ahmad Afandi As Sukri telah begitu erat. Masing-masing kami tidak bisa bersabar untuk segera bertemu setelah sepekan berpisah. Apalagi pada malam Jum’at di rumah Syaikh Syalbi Ar-Rijal, saat kajian buku-buku tasawuf, yang diantaranya adalah kitab Al Ihya’. Kami mendengarkan kisah para wali dan mengamalkan dzikir hingga pagi. Inilah salah satu jalan kehidupan kami yang paling suci.
Saya pernah bekerja pada tukang jam dan pernah pula di penjilidan buku. Saya pergunakan waktu siang di toko untuk bekerja sebagai karyawan, sedangkan pada malam harinya kuhabiskan untuk berdzikir bersama pada ikhwan Hashafiyah.
Dengan adanya agenda kegiatan semacam inilah saya tidak bisa absen hari Kamis, kecuali ada halangan yang memaksa. Saya turun dari kereta Delta langsung menuju toko. Di sana saya bekerja hingga menjelang maghrib. Saya terus ke rumah untuk berbuka, karena sudah menjadi kebiasaan saya untuk berpuasa setiap Senin dan Kamis. Selanjutnya saya berangkat ke masjid kecil untuk mengikuti pengajian. Dari masjid saya pergi ke rumah Syaikh Syalbi Ar Rijal atau ke rumah Ahmad Afandi As Sukri untuk ber-mudarasah dan berdzikir. Menjelang subuh, saya berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat subuh berjamaah. Usai shalat subuh dan istirahat sebentar, saya lalu pergi ke toko sampai menjelang shalat Jum’at. Setelah itu menyantap makan siang. Toko dibuka kembali hingga menjelang maghrib seperti biasanya. Setelah itu, saya pergi ke masjid, lalu pulang kembali ke rumah. Esok harinya kami berangkat ke madrasah. Demikianlah kegiatan rutin yang kukerjakan. Seingat saya, saya tidak pernah absen dari rutinitas seperti itu. Seingat saya, tidak sepekan pun saya mengubahnya kecuali ada kepentingan yang sangat mendesak dan tidak bisa ditinggalkan.
Saat Liburan Musim Panas
Liburan musim panas merupakan waktu yang tepat untuk mengimplementasikan manhaj ini secara harian. Ada kegiatan yang baru selain rutinitas seperti biasanya, yaitu mudzakarah (kajian) setiap pagi. Kegiatan ini mulai dari terbitnya matahari hingga penghujung waktu dhuha, bersama ustadz kami, Syaikh Muhammad Khalf Nuh di rumahnya.
Kami memulai dengan mengkaji kitab Alfiyah Ibnu Malik (kitab yang menguraikan nahwu bahasa Arab dengan gaya penuturan berupa syair). Kami hafalkan kata-katanya, lalu kami pelajari uraiannya dalam kitab Syarh Ibnu ‘Aqil. Kami juga mempelajari kitab-kitab lain tentang fiqih, ushul fiqh, dan hadits,yang semua ini memberikan tambahan bekal bagi persiapan untuk masuk ke Darul Ulum, meskipun ketika itu saya belum berpikir sama sekali untuk kuliah di sana. Ketika itu kami hanya berpikir, “menuntut ilmu semata-mata untuk ilmu itu sendiri.”
Panggilan Subuh
Diantara aktivitas kami di sela-sela liburan musim panas di Mahmudia, atau di hari Jum’at setiap pekannya, adalah membagi-bagi peta wilayah Mahmudia. Kami bertiga atau –kadang-kadang- lebih: Al Akh Muhammad Afandi Ad-Dimyati, Al Akh Abdul Muta’al Sankal, dan saya sendiri. Menjelang fajar, kami membangunkan orang-orang untuk sholat subuh secara berjamaah, khususnya para ikhwan. Saya mendapatkan kebahagiaan yang besar dan kepuasan batin yang luar biasa ketika saya dapat membangunkan para mu’adzin untuk mengumandangkan adzan shalat subuh. Setelah itu saya berdiam diri sejenak –di sela-sela waktu itu- di pinggiran sungai Nil untuk mendengarkan alunan suara adzan yang membangunkan banyak orang dalam waktu yang bersamaan, karena masjid-masjid yang ada di Mahmudia ini jaraknya saling berdekatan. Terbitlah dalam benak saya bahwa saya akan menjadi penyebab bagi bangunnya sekian banyak orang yang menunaikan shalat dan saya akan memperoleh pahala sebagaimana pahala mereka, berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan petunjuk itu hingga hari Kiamat, tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka itu.”
Kebahagiaan itu semakin bertambah ketika –setelah itu- saya berangkat ke masjid, karena ternyata sayalah anggota jamaah yang paling kecil dan paling muda usia. Saya memuji Allah dan memohon kepada-Nya agar terus-menerus melimpahkan taufiq-Nya.