Apakah Buku ‘Kebebasan Wanita’ Mengajak Pada Petunjuk?

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya adalah pahala seperti pahala-pahala orang yang mengikuti ajakannya, tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang mengajak pada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikuti ajakannya itu, tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (HR Muslim)[1]

Saya berharap kiranya tulisan yang ada dalam buku ini dapat mengajak pembaca pada petunjuk. Ada beberapa hal yang mendorong saya memiliki harapan seperti itu, dan yang terpenting adalah:

1. Dakwah/ajakan untuk melakukan pengelompokan tematis terhadap ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam merupakan ajakan pada petunjuk. Pengelompokkan semacam ini sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dan memudahkan para pakar mengkaji secara cermat nash-nash yang berhubungan dengan spesialisasi mereka dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu jiwa, ilmu sosial, pendidikan, ekonomi, politik, dan berbagai metodologi penelitian. Atau juga mengenai masalah-masalah kontemporer seperti masalah wanita, kesetiakawanan sosial, konsep-konsep pembaruan, dan perubahan. Para pakar, dengan membaca nash-nash yang sudah terkelompok tersebut, insya Allah mampu mengikuti jalur yang membawanya pada petunjuk dan kebenaran.

2. Dakwah untuk kembali pada pokok-pokok agama, yaitu Kitab dan Sunnah, dengan tujuan mengkaji dan mengevaluasi pemahaman-pemahaman dan pandangan-pandangan yang kita warisi dari nenek moyang dalam bidang wanita atau bidang-bidang lainnya adalah dakwah pada petunjuk. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

“Aku tinggalkan padamu dua perkara yang mana kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang pada keduanya, yaitu, Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR Malik dalam Al Muwaththa’)[2]

3. Dakwah untuk menyebarluaskan Sunnah di tengah umat manusia, dengan catatan setiap fatwa didukung oleh dalil yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam adalah dakwah kepada petunjuk. Tujuan dakwah itu adalah agar manusia memahami hukum-hukum agama mereka dan pada waktu yang sama memelihara ayat-ayat Al Qur’anul Karim dan hadits-hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang dapat menerangi hati dan akal pikiran mereka, sehingga mereka dapat menikmati petunjuk Allah dengan mudah dan santai seperti halnya mereka menikmati udara, air, cahaya mentari, dan sinar rembulan. Mari kita simak jawaban Atha bin Rabah terhadap seseorang yang meminta fatwa, dengan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berikut. Dikatakan bahwa Abu Syihab (Musa bin Nafi’) berkata:

“Aku tiba diMekah dalam keadaan berhaji tamattu dengan umrah Aku sampai atau masuk Mekah tiga hari sebelum hari tarwiyah (tgl 8 bulan Dzulhijjah). Lalu orang-orang Mekah berkata kepada ku: ‘Kalau begitu hajimu sama dengan haji orang Mekah?’Akhir nya aku pergi menemai Atha untuk meminta fatwa. Dia berkata: ‘Jabir bin Abdullah r.a. menceritakan kepadaku bahwasanya dia melakukan haji bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pada hari dia menggiring unta korban bersamanya, dan mereka telah membaca talbiyah untuk haji if rad.’ Lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada mereka: ‘Bertahallullah kalian dari ihram dengan cara melakukan thawaf di Ka’batullah dan sa’i antara Shafa dan Marwah dan bercukurlah, kemudian berdiamlah di Mekah dalam keadaan tahallul, sehingga apabila sudah tiba hari tarwiyah, maka ucapkanlah talbiyah untuk haji dan jadikanlah apa yang kamu bawa (binatang ternak) sebagai korban haji tamattu!'” (HR Bukhari)[3]

Demikianlah nash-nash agama diumumkan sehingga tersebar di tengah-tengah masyarakat dan tidak pernah mengendap di balik pendapat para tokoh.

4. Dakwah untuk menetapkan/mengakui diperbolehkannya wanita membuka wajah dan diperbolehkannya melibatkan diri dalam kehidupan sosial bersama kaum laki-laki dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan agama –setelah diketahui bahwa pembolehan tersebutkan berdasarkan dalil-dalil yang kuat– adalah dakwah pada petunjuk. Karena petunjuk Allah itu datang untuk melepaskan manusia dari kesulitan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “… Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (Al Hajj: 78) Himbauan ini diarahkan pada dua kelompok:

Pertama, kelompok yang mengharamkan membuka wajah dan segala bentuk partisipasi wanita meskipun keadaan membutuhkan dan meskipun wanita mengikuti aturan-aturan agama. Kelompok ini saya himbau supaya mempelajari dengan baik hukum-hukum agama dan waspadalah terhadap peringatan hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berikut:

“Sesungguhnya orang yang mengharamkan yang halal sama dengan orang yang menghalalkan yang haram.”[4]

Artinya kedua hal tersebut sama-sama melangkahi batas syariat Allah. Sementara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menetapkan sunnahnya atau bolehnya wanita membuka wajah dan mengikuti kegiatan sosial adalah demi kebaikan umat Islam. Keikutsertaan wanita memperlancar pelaksanaan kehidupan yang serius dan sejahtera serta membuka jalan bagi kaum wanita untuk beramal saleh, mulai dari menuntut ilmu, mengajarkannya, membantu suami yang lemah dalam mencari nafkah hidup, sampai pada ikut ambil bagian dalam kegiatan sosial yang bermanfaat atau kegiatan politik yang mendukung segala sesuatu yang positif, serta menentang segala bentuk penyimpangan. Untuk menjelaskan syariat Allah kepada kelompok ini, panutan yang paling tepat menurut hemat saya adalah apa yang pernah dicontohkan oleh Ali bin Abi Thalib r.a.. Dia pernah melakukan shalat zuhur, kemudian beliau duduk di lapangan Kufah untuk melayani kebutuhan dan keperluan masyarakat hingga datang waktu shalat asar. Lalu dia mengambil air, kemudian minum, lalu membasuh muka, kedua tangan, kepala, dan kedua kakinya. Dia berdiri dan meminum sisanya dalam keadaan berdiri, kemudian berkata: “Sesungguhnya orang-orang tidak suka minum dalam keadaan berdiri, sementara Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah melakukan seperti apa yang aku lakukan ini.” (HR Bukhari)[5]

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dari hadits Ali tersebut dapat dipetik beberapa pelajaran, diantaranya, apabila seorang alim melihat masyarakat menghindari sesuatu, sementara dia tahu bahwa apa yang dihindari masyarakat itu dibolehkan (menurut agama), maka hendaklah dia menjelaskan apa yang benar mengenai masalah tersebut, karena membiarkannya berlarut-larut dikhawatirkan akan menyebabkan orang lain menyangkanya haram. Apabila orang alim itu khawatir hal itu terjadi, maka hendaklah dia segera memberitahu hukumnya meskipun dia tidak ditanya orang. Tapi kalau ditanya, jelas dia harus menjawabnya.”[6]

Kedua, kelompok yang melanggar syariat Allah dan melakukan tindakan murahan, memamerkan aurat, dan ikhtilath yang bersifat negatif. Saya menyeru mereka untuk menaati Allah dan mengikuti ajaran-ajaran-Nya, yaitu dengan menutup apa yang diperintahkan Allah untuk menutupnya dan mematuhi aturan syariat ketika melakukan pertemuan antara laki-laki dan wanita. Jika tidak, tunggulah kemarahan dan murka Allah. Mereka akan terjerumus ke dalam berbagai macam kuman penyakit sosial seperti yang kini sedang dihadapi oleh masyarakat Barat.

Dengan mengetengahkan setumpuk nash yang menerangkan pelaksanaan konkret yang sering dilakukan wanita muslimah dan yang berlangsung di bawah naungan wahyu Allah serta bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan kepada manusia wahyu yang turun dari langit, saya kira nash-nash tersebut dapat menerangi jalan kita sehingga tidak diombang-ambingkan oleh hawa natsu, baik hawa nafsu orang-orang fasik maupun hawa nafsu orang-orang yang radikal. Patut sekali kita teladani dan ikuti panduan nash-nash tersebut agar kita dapat keluar dari kegelapan ke alam yang terang benderang sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat yang mulia dan mencabut akar-akar jahiliah dari dalam diri kita sebagaimana mereka mencabut akar-akar jahiliah dari dalam diri mereka. Pada waktu yang sama kita akan terbebas dan bersih dari apa yang diperingatkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada kita dalam sabda beliau:

“Sungguh kalian akan mengikuti jejak orang-orang yang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai sekalipun mereka memasuki lubang biawak, kalian tetap mengikutinya.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhari dan Muslim)[7]

Yang membuat kita prihatin, kedua kelompok tersebut –kelompok fasik dan kelompok radikal– telah mengikuti sunnah/jejak para pendahulu mereka, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, kemudian ikut pula masuk ke dalam lubang biawak. Orang-orang fasik telah mengikuti sunnah zaman paling modern dari (orang-orang yang sebelum mereka), yaitu peradaban Barat modern dalam hal tidak menutup aurat, gaya hidup permisivisme, dan aktivitas seks bebas. Sementara itu, kelompok radikal mengikuti sunnah zaman paling kuno dari (orang-orang yang sebelum mereka) dan zaman pertengahan, yaitu tradisi keras dan kepala batu seperti yang umum berlaku di kalangan Bani Israil pada abad-abad kuno dan orang-orang Nasrani beserta gereja mereka pada abad pertengahan. Ironisnya, kaum radikal ini sering sekali menuduh kelompok fasik mengikuti sunnah orang-orang yang sebelum mereka dan memasuki lubang biawak, sementara mereka tidak sadar akan perbuatan mereka sendiri dengan membelenggu diri dan kaum wanita mereka sendiri. Islam datang untuk membebaskan orang-orang mukmin, laki-laki maupun wanita, dari belenggu-belenggu tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“(Yaitu) orang-orangyang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Al A’raf: 157)



[1] Muslim, Kitab: Ilmu, Bab: Barangsiapa yang mensunnahkan kebajikan atau keburukan dan barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk atau kesesatan, jilid 8, hlm. 62.

[2] Al-Muwaththa’, Kitab: Qadar, Bab: Larangan membicarakan masalah qadar, jilid 2, hlm. 899. Lihat Shahih Al-Jami’ ash-Shaghir, no. 2934.

[3] Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Tamattu, qiran, dan haji ifrad bagi orang yang tidak membawa hewan sembelihan, jilid 4, hlm. 175.

[4] Majma’ az-Zawaid, Kitab: Ilmu, Bab: Mengenai orang yang menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal atau meninggalkan Sunnah. Hafizh al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab Al-Aswath. Semua rijalnya sahih.”

[5] Bukhari, Kitab: Minuman, Bab: Minum sambil berdiri, jilid 12, hlm. 183.

[6] Fathul Bari, jilid 12, hlm. 178.

[7] Bukhari, Kitab: Berpegang teguh pada Kitab dan Sunnah, Bab: Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sungguh kalian akan mengikuti jejak orang-orang yang sebelum kalian”, jilid 17, hlm. 63. Muslim, Kitab: Ilmu, Bab: Mengikuti jejak-jejak orang Yahudi dan Nasrani, jilid 8, hlm. 57.