Arti Tsawabit dan Mutaghayirat

Tsawabit dan mutaghayirat adalah dua istilah yang utamanya dimaksudkan untuk membedakan antara berbagai persoalan yang telah disepakati dan ditunjukan oleh nash-nash qath’i yang tidak boleh ada pertentangan tentangnya, dan keluar darinya dianggap keluar dari Jama’atul Muslimin dan mengikuti jalan selain orang-orang beriman, dengan berbagai masalah yang bersifat ijtihadi, yang orang boleh berbeda pendapat tentangnya karena tempat pengambilan dalilnya bersifat zhanni, baik dalam hal tsubut (proses sampainya berita) maupun dalalah (pengertian). Itu agar tsawabitlah yang dijadikan pangkal wala’ dan bara’, sedangkan dalam hal mutaghayirat maka kita bersikap longgar sebagaimana sikap longgar salafusshaleh. Dalam mendiskusikan persoalan ini, kami berusaha menghadirkan bukti dan argumentasi ilmiah dengan tetap menjaga terpeliharanya kecintaan, ikatan, dan persaudaraan agama.

Atas dasar ini, maka yang dimaksud dengan tsawabit dalam kajian ini adalah sebagai berikut.

Hal-hal qath’i yang telah disepakati ulama, yang telah dikukuhkan hujjahnya oleh Allah di dalam Al Qur’an dengan atau lewat lisan nabi-Nya dengan sejelas-jelasnya hingga tidak ada peluang untuk pengembangan atau ijtihad tentangnya, khusunya bagi orang yang telah mengetahuinya. Selain itu, termasuk di dalamnya adalah beberapa pilihan ilmiah yang rajih (lebih kuat) di mana sikap bertentangan dengannya termasuk perilaku yang ganjil atau menyeleweng.

Imam Syafi’i berkata,”Semua masalah yang telah Allah tegakkan hujahnya di dalam kitab atau melalui lisan Rasul-Nya dengan nash yang jelas, tidak boleh ada perselisihan tentangnya bagi orang yang telah mengetahuinya.”[1]

Oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, masalah ini disebut sebagai asy syara’ al munazal (syariat yabg diturunkan), yakni semua yang disyariatkan Allah dan Rasulnya, baik berupaperkataan maupun perbuatan, yang tidak ada peluang ijtihad tentangnya. Mengikuti syariat ini adalah wajib. Barangsiapa keluar darinya, maka ia harus diperangi. Itulah syariat yang para mujahid berperang untuk mempertahankannya. Tidak ada pilihan bagi seorang Muslim kecuali patuh dan tunduk kepada-Nya. Dengan kata lain, ia adalah nash shahih yang tidak ada mu’aridh (yang berlawanan dengan)nya, atau ijmak yang jelas tidak diperselisihkan keberadaanya. Dengan pengertian ini, ia adalah kebalikan dari istilah syara’ al-muawal (syariat yang ditakwil), yaitu masalah-masalah ijtihadiyah dan semua yang tidak didukung hadits shahih yang tanpa mu’aridh, atau ijma’.

Ia –rahimahullah– berkata bahwa kata syara’ pada masa sekarang ini ada tiga macam pengertian.

Pertama, asy syara’ al munazal yaitu Qur’an dan Sunah. Mengikutinya adalah kewajiban dan keluar darinya harus dibunuh. Yang termasuk di dalamnya adalah prinsip dasar agama dan cabang-cabangnya, kebijakan politik amir (penguasa), keputusan para hakim, dan kepemimpinan para syaikh (guru ‘alim), dan sebagainya, sehingga tidak ada seorangpun dari generasi terdahulu maupun generasi belakangan yang boleh keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.[2]

Di tempat lain ia menjelaskan, “Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Adalah penutup para rasul. Maka seluruh makhluk wajib mengikutinya dan mengikuti syariat agamanya, yaitu Kitab dan Sunah yang dibawanya.  Semua yang ditegaskan Kitab dan SUnah merupakan syariat yang wajib diikuti seluruh makhluk, tak seorangpun boleh keluar darinya. Atas nama syariat inilah para mujahid berperang, yaitu Kitab dan Sunah. Pedang-pedang kaum Muslimin membela syariat ini, syariat Kitab dan Sunah, sebagaimana dikatakan Jabir bin Abdullah r.a., ‘Rasulullah memerintahkan agar kami memukul orang yang keluar dari ini, yakni Al Qur’an, dan dengan ini, yakni pedang. Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman,

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadlilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah maha kuat lagi Maha perkasa.’”(Al Hadid:57/25).[3]

Ia menggolongkan syariat jenis ini sebagai ad din al musytarak (agama bersama) bagi umat ini, atau ad din al jami’ (agama penghimpun) diantara para rasul. Ia –rahimahullah– katakan, “Pokok-pkok yang ditegaskan Quran, Sunah, Ijmak, kedudukannya seperti agama bersama di antara para nabi. Tak seorang pun boleh keluar darinya dan barangsiapa masuk, maka ia termasuk kaum Muslimin yang sesungguhnya, yakni Ahlus Sunah wal Jamaah.”[4]

Ruang lingkup tsawabit adalah ketentuan-ketentuan umum syariat, mayoritas masalah-masalah akidah pokok-pokok masalah fardhu, pokok-pokok yang diharamkan, pokok-pokok keutamaan dan akhlak. Sedangkan dilapangan yang paling menonjol adalah akidah, ibadah, akhlak, dan prinsip-prinsip muamalah.

Jenis inilah yang membedakan antara orang-orang yang menyuarakannya dengan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Karena semboyan kelompok-kelompok yang menyimpang dari sunah adalah menjauhi Kitab, Sunah, dan Ijma’. Karena itu, barangsiapa menyuarakan Kitab, Sunah, dan Ijmak, maka ia termasuk kelompok ahlusunah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Semboyan kelompok ini adalah menjauhi Kitab, Sunah, dan Ijmak. Barangsiapa menyuarakan Kitab, Sunah dan Ijma’, maka ia termasuk Ahlus Sunah wal Jamaah.”[5]

Imam Syafi’i –rahimahullah- berkata, ”Nash (teks dalil) yang mungkin ditakwil (diinterpretasi) dan masalah yang dipahami hukumnya dengan qiyas (analogi), lalu orang yang mewakili atau menggunakan qiyas berpendapat dengan makna yang dimungkinkan dipahami dari nash atau qiyas, walaupun berbeda dengan pendapat orang lain, saya tidak mengatakan bahwa hal itu persoalan yang tidak bolehada perbedaan pendapat sebagaimana tidak bolehnya ada perbedaan pendapat dalam masalah yang ditegaskan oleh nash.”[6]

Ia mencontohkan kata quru’ yang bisa diinterpretasikan dengan “suci” atau “haid’.

Syaikhul Islam Ibnu taimiah berkata, “Yang kedua adalah asy syar’ al muawal (hukum yang bisa ditakwil). Yaitu masalah-masalah ijtihadiah dan perbedaan pendapat diantara umat. Barangsiapa mengambil pendapat dalam hal yang boleh diijtihadi, maka ia dibenarkan. Tidak ada kewajiban bagi seluruh makhluk untuk sependapat dengannya, kecuali dilandaskan pada argumentasi yang tidak bisa digugat dengan kitab dan sunah.”[7]

Ibnul Qayim –rahimahullah- berkata, ”Adapun al hukm al muawal (hukum yang bisa ditakwil), yaitu pendapat-pendapat para mujtahid yang berbeda-beda, yang tidak ada kewajiban bagi kita untuk mengikutinya, orang yang berbeda pendapat dengannya tidak dianggap kafir dan tidak pula fasik. Para pemilik pendapat itu tidak pernah mengatakan, ‘ini adalah hukum Allah dan rasulnya,’ akan tetapi mereka mengatakan, ‘kami berijtihad dengan pendapat kami, orang boleh menerima atau menolaknya.’ Mereka tidak mengharuskan umat untuk mengikuti pendapatnya.”

Imam Abu Hanifah mengatakan, “Ini adalah pendapatku, barangsiapa membawa kepadaku pendapat yang lebih baik dari padanya, maka akan kami terima.”

Seandainya itu dikalim sebagai hakikat hukum Allah, tentu Abu Yusuf, Muhammad (dua murid terkemuka Abu Hanifah), dan yang lain tidak boleh berbeda pendapat dengannya.

Begitu halnya dengan Imam Malik. Ketika Khalifah harus Ar Rasyid meminta pendapatnya untuk mengharuskan umat mengikuti isi kita Al Muwaththa’ (kitab hadits susunan Imam Malik), maka ia mencegahnya seraya berkata, “Para sahabat Rasulullah telah menyebar ke berbagai negeri, masing-masing kaum telah mempunyai ilmuyang tidak dimiliki oleh yang lain.”

Karenanya, Imam Syafi’I melarang murud-muridnya bertaklid kepadanya dan berpesan agar meninggalkan pendapatnya jika mendapatkan hadits shahih yang berlawanan pendapat dengannya. Imam Ahmad pun menegur orang yang menulis dan membukukan fatwa-fatwa seraya berkata, “Jangan taklid kepadaku, jangan taklid kepada fulan, dan ambilah darimana mereka mengambil.”

Seandainya mereka  meyakini bahwa pendapat-pendapat mereka harus diikuti, tentu murid-muridnya tidak boleh memberikan fatwa yang berbeda sedikitpun dengan mereka, dan tentu tidak aka ada di antara mereka yang mengucapkan satu pendapatpun kemudian dikemudian hari member fatwa yang berbeda dengannya, sampai ada dua, tiga, atau lebih pendapat dalam satu masalah yang diriwayatkan darinya. Pendapat dan ijtihad, maksimal hukumnya adalah boleh diikuti, sedangkan al-hukum al-munazal tak seorang Muslim pun boleh berbeda pendapat dan keluar darinya,”[8]

As Syatibi –rahimahullah- menuturkan, “Wilayah ijtihad yang diakui adalah masalah yang areanya terbentang antara dua kutub. Tujuan Peletak syariat (Allah) telah jelas, yakni mengukuhkan satu kutub dan menafikan kutub yang lain. Akan tetapi hasil ijtihad sekali-kali tidak mungkin membelok ke kutub yang menafikan atau kutub yang mengukuhkan.”[9]

Ia sebutkan bahwa diantara contohnya adalah zakat perhiasan. Para ulama telah sepakat ihwal tidak diwajibkannya zakat barang pada umumnya, yang diwajibkan hanya emas dan perak, karena watak emas dan perak diperuntukan sebagai alat jual-beli. Maka, benda perhiasan berada diantara dua kutub, karena ia mengambil salah satu sifat dari dua benda itu, yaitu emas dan perak. Yakni materinya adalah emas dan perak, naming ia tidak memiliki sifat yang lain yaitu sebagai alat penukar karena digunakan sebagai perhiasan. Sementara ia memiliki kesamaan dengan barang yang tidak dipergunakan sebagai sebagai alat penukar. Di sinilah timbul perbedaan pendapat.

Ia juga mencontohkan ihwal diterimanya riwayat dan kesaksian orang yang tidak dikenal. Ulama telah sepakat tentang diterimanya riwayat dan kesaksian orang yang adil, dan tidak diterimanya orang yang fasik. Karena itu, orang yang tidak dikenal keadaanya berada diantara dua kutub itu, dan timbullah perbedaan pendapat.[10]

Dalam kitab Al Mustashfa, Imam Ghazalimenyebutkan, “Materi ijtihad adalah setiap hukum syar’i yang tidak ada dalil qath’i tentangnya. Yang kami maksud materi ijtihad adalah setiap masalah yang bila mujtahid keliru tentang hukumnya tidak berdosa. Kewajiban shalat lima waktu dan zakat, serta masalah-masalah syariat yang jelas disepakati umat dan tentangnya terdapat dalil-dalil qath’i yang berdosa menyalahinya, itu bukanlah materi ijtihad.”[11]

Sedangkan Imam Al Amidi menyebutkan bahwa persoalan ijtihad adalah setiap persoalan yang tidak ada dalil qath’inya.

Wilayah mutaghayirat adalah wilayah hukum tentang muamalah dan sebagian cabang ibadah serta adab. Sebelumnya telah kami sebutkan bahwa orang yang memiliki perbedaan pendapat tidak dilarang, wala’ dan bara’ tidak dilandaskan kepadanya, dan orang-orang yang berbeda pendapat tentangnya tidak keluar dari lingkaran rahmat kecuali jika saling memusuhi dan memutuskan hubungan karenanya.

Masalah mutaghayirat telah dan akan tetap menjadi faktor terbesar keluasan dan kemudahan dalam agama ini. Sesungguhnya, yang terlarang bukanlah perbedaan ijtihad ulama, melainkan perpecahan manusia dan saling bencinya mereka disebabkan olehnya. Jika perbedaan pendapat itu dapat terjaga dari fanatisme buta, maka hal itu justru akan menjadi rahmat dan keluasan bagi umat, menjadi bukti kelanggengan agama ini karena daya cakup hukum-hukumnya terhadap segala hal yang baru, di samping sifat syariatnya yang layak diterapkan di tiap masa dan tempat.

Uraian ini kami tutup dengan menukilkan tulisan beberapa ulama kontemporer seputar persoalan ini.

Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq berkata, “Secara umum, ilmu-ilmu keislaman terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama bisa kita sebut sebagai bagian yang tetap dan tidak menerima pengembangan, ijtihad dan penambahan. Bagian ini adalah aqaid (masalah-masalah keimanan), ibadah (rukun Islam selain syahadat) dan akhlak (kumpulan keutamaan akhlak) seperti jujur, ihsan, berani, dan seterusnya. Kita sama sekali tidak boleh memberlakukan hal ini sebagai persoalan ijtihad dan tidak boleh melakukan penambahan atasnya.

Demikian halnya dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat, surge dan neraka, hari akhir, siksa kubur, dan masalah-masalah gaib lainya, tidak ada celah sama sekali untuk penambahan, sebab tidak ada cara untuk sampai kepada pengetahuan tentang maslah ini kecuali dengan wahyu, sedang wahyu sudah tidak ada lagi sepeninggal Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Inilah perbedaan mendasar kita dengan tasawuf. Orang-orang tasawuf melandaskan pernak-pernik kebatilan mereka di atas klaim kasyaf (ketersingkapan rahasia) tentang hal-hal di atas. Ada diantara mereka yang berkata, “Kami dapat melihat surge dan neraka dan kami melihat ini dan itu, “padahal Rasulullah saja tidak pernah mengatakan yang demikian. Yang lain mengatakan, “Saya dinaikan oleh Allah ke langit-Nya dan saya melihat ini dan itu.” Lalu yang lain lagi mengatakan, “saya telah bertemu malaikat dan sya menyaksikan begini dan begitu.” Ada juga yang berkata, “Saya telah turun ke bumi paling bawah, saya mendengar ini dan saya melihat itu,” dan masih banyak lagi kebohongan serta lelucon senada. Pintu masalah gaib seperti ini sama sekali tidak bisa dibuka kecuali dengan wahyu, sementara sepeninggal Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Tidak ada lagi wahyu.

Ibadah juga tidak boleh mendapat penambahan, karena penambahan membatalkan ibadah. Shalat-shalat fardhu maupun sunah tidak boleh ada penambahan melampaui apa yang disyariatkan. Satu rekaat yang ditambahkan kepada shalat yang empat rekaat menjadikannya batal. Membuat shalat sunah baru yang tidak pernah ada pada masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Termasuk peringatan yang ditegaskan Nabi, “Barangsiapa membuat hal baru dalam urusan (agama) kami, apa yang bukan darinya, maka ia tertolak.” Begitu juga dengan menambahkan cara-cara baru atau bentuk-bentuk baru dalam ibadah.

Singkatnya, tidak ada yang baru dalam shalat, puasa, haji dan kewajiban zakat. Semua harus tetap berada pada bentuk dan cara yang disyariatkan. Begitu juga dengan akhlak dan pendidikan jiwa. Nilai-nilai ini tidak boleh berubah, sebab kalau berubah maka tatanan akhlak menjadi rusak, yang haq menjadi batil dan yang batil menjadi haq.

Tiga persoalan diatas termasuk hal-hal yang tetap dalam agama. Setiap penambahan di sampingnya masuk dalam wilayah ibtida’ (kreasi bid’ah). Kalau ada yang berijtihad di sana, itu adalah ijtihad dalam keadaan keliru dan darurat yang menimpa sebagian orang. Adakalanya seseorang lupa, khilaf, atau dalam keadaan terpaksa hingga melakukan suatu tindakan bid’ah tertentu. Itu samua dalam tiga hal: akidah, ibadah, dan akhlak.”[12]

Kemudian ia berbicara tentang mutaghayirat. Ia berkata, “Nash-nash Quran dan hadits Nabi yang berbicara tentang masalah muamalat, posisinya seperti patokan-patokan dan prinsip-prinsip umum, juga lentera yang menerangi jalan kaum Muslimin. Mereka diizinkan membuat ketentuan untuk diri mereka sendiri sesuai petunjuknya ketika menghadapi persoalan baru yang terkait dengan diri mereka sendiri atau dengan musuh-musuh mereka. Karena itulah, ia adalah mutaghayirat paling besar dalam agama ini. Hanya saja, pengubahan dan pengembangan bukan dalam arti total yang tanpa aturan, melainkan pengubahan dan pengembangan yang sesuai dengan kaidah-kaidah umum, batas-batas yang memisahkan antara halal dan haram, antara yang diperintah dan yang dilarang.

Yang penting diketahui bahwa muamalat adalah bab ijtihad yang medannya luas, beragam dan perubahannya seiring dengan perubahan waktu, tempat dan manusianya. Dapat kita katakana, sesungguhnya jika bab ini telah diketahui prinsip-prinsip dan batasan-batasannya yang telah ditegaskan nash Quran dan Sunah, dan kita bisa menguasai pemahaman tentang kebutuhan kaum Muslimin serta problematika keseharian mereka yang beragam, baik politik, ekonomi, maupun sosial, niscaya kita bisa mencapai ijtihad yang benar dan menuju peningkatan terus menerus serta perjalanan yang mapan di bawah naungan undang-undang Islam.

Adapun hal-hal yang tetap dan ilmiah dalam Islam (akidah, ibadah, akhlaq), tidaklah menciptakan problem, sebab ia jelas masalahnya, mudah dipahami, dan sangat sedikit member peluang perbedaan pendapat. Berbeda halnya dengan persoalan muamalah, politik, ekonomi dan sosial, maka ia mengalami perubahan yang besar bersama prinsip-prinsip yang baku. Keadaan perpolitikan kita berubah setiap hari dan memerlukan ijtihad baru seiring perubahan. Begitu pula muamalah ekonomo kita, dimana kita tidak bisa hidup sendiri di dunia ini, melainkan bersama umat dan banyak bangsa lain. Mereka memliki caranya tersendiri dalam melakukan muamalah, sekaligus cara melakukan berbagai tekanannya kepada kita. Lalu apa kewajiban yang harus kita lakukan untuk menghadapi mereka?

Ketika saya menulis risalah ini, persoalan minyak tengah mencuat. Diantara kita ada yang berpendapat bahwa kita harus melibatkan minyak dalam peperangan, dengan melakukan embargo minyak kepada Negara-negara yang membantu Israel. Namun ada pula yang menjawab, ”Jika kita menyetopnya, maka berarti peradaban akan berakhir dan kita menghancurkan dunia. Dengan demikian, ini termasuk perbuatan merusak di muka bumi, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” Sedangkan yang lain lagi mengatakan, “Bahkan kalau kita menyetopnya, musuh-musuh akan memerangi kita lalu mereka menguasainya dan rugilah kita.” Demikian seterusnya.

Semua ini memerlukan para ulama –walaupun dewasa ini mereka tidak mempunyai peran yang konkret di negeri mereka sendiri- untuk melakukan ijtihad dan berperan secara nyata sebagai bagian dari nasihat kepada umat. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

Agama adalah nasihat. Para sahabat bertanya, “Untuk siapa?” Jawab beliau, “Untuk Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, para pemimpin umat Islam, dan umumnya kaum Muslimin.”

Termasuk nasihat kepada umat Islam pada umumnya adalah, mengemukakan pendapat untuk memecahkan problematika yang tidak hanya menimpa seorang dari kita, akan tetapi juga menimpa umat secara keseluruhan. Problematika ini adalah satu dari beribu problematika ekonomi yang kita hadapi sekarang. Hal ini memerlukan pemahaman, ilmu, dan ijtihad kaum Muslimin, sebuah pemahaman yang –sebagaimana telah kami katakana berkali-kali- harus berada dalam koridor nash syariat, kaedah hukum global, dan kebenaran yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala Ijtihad dalam persoalan-persoalan inilah (muamalat) yang menjadi mutaghayirat terbesar dalam agama ini. Sudah tentu, sebuah perubahan yang tunduk kepada hal baku yang diturunkan Allah Swt, dan ditegaskan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam”[13]

Dr. Yusuf Qardhawi dalam hal ini memiliki pendapat yang kurang lebih sama. Ia berkata, “Diantara hukum agama ada yang berkaitan dengan akidah yang menggariskan pandangan agama tentang permulaan dan kesudahan, tentang Allah, alam semesta, kehidupan, dan manusia, atau yang dikatakan ulama akidah kita sebagai ilahiyat (ketuhanan), nubuwat (kenabian), dan sam’iyat (wahyu). Ini semua adalah hakikat yang tidak akan berubah. Selain itu, ada pula yang berkaitan dengan syiar-syiar ibadah yang pokok, yang menggariskan hubungan praktis antara manusia dengan Tuhannya, yakni yang disebut sebagai rukun Islam dan prinsip-prinsip pokonya. Ini pada prinsipnya adalahbaku, meskipun beberapa ijtihad dan perincian masuk. Ada lagi yang berkaitan dengan nilai-nilai akhlak, sebagai dorongan untuk melakukan perilaku utama dan peringatan agar tidak berbuat tercela. Secara global ini pun bersifat baku.

Dalam tiga hal ini, manusia tidak membutuhkan perubahan. Ia justeru membutuhkan kebakuan dan kemapanannya agar kehidupan menjadi mapan, akal dan hati menjadi tenang.

Tinggallah kini beragam tatanan kehidupan, seperti tatanan keluarga, hukum waris, dan sejenisnya, seperti juga tatanan muamalah dan interaksi harta, system pidana dan sanksi, tatanan perundangan, administrasi, kenegaraan, dan lain sebagainya, yang diuraikan dan diperinci keterangannya oleh fiqhil Islam dengan beragam aliran dan mazhabnya.

Ini memiliki dua peringkat sebagai berikut.

Pertama, peringkat yang mencerminkan sifat tetap dan abadi. Hal-hal yang terkait dengan prinsip dan hukum yang bersifat umum. Yakni hal-hal yang telah ditegaskan oleh nash dalil yang qath’i, baik proses sampainya dalil (tsubut) maupun kandungan makna (dalalah)nya dan tidak ada perbedaan pemahaman maupun keragaman ijtihad. Ini tidak dipengaruhi oleh perubahan masa, tempat dan keadaan.

Kedua, peringkat yang mencerminkan kelenturan dan perubahan. Yaitu hal-hal yang terkait dengan perincian hukum tentang berbagai persoalan kehidupan, khususnya yang berhubungan dengan cara (kaifiyah), pelaksanaan (ijra’), dan sejenisnya, dimana nash dalil yang qath’i dalam hal ini sedikit jumlahnya. Tentang ini, dalilnya bisa bersifat muhtamil (mengandung alternative penafsiran) atau bahkan memang matrukah li al ijtihad (dibiarkan untuk menjadi teman ijtihad), sebagai rahmat dari Allah bukan lantaran lupa.”[14]



[1] Imam Syafi’i, Ar-Risalah, 560.

[2] Majmu’ A.

[3] Ibid.35/365-366

[4] Ibid. 35/395

[5] Majmu’ Al Fatawa. 3/245

[6] Imam Syafi’i, Ar Risalah. 560.

[7] Majmu’ Al Fatawa. 35/395

[8] Ibnul Qayyim, Ar Ruh. 276-277

[9] As- Syatibi, Al Muwafaqat. 4/155

[10] Ibid. 4/155-160

[11] Al Ghazali, Al Mustashfa. 2/354.

[12]  Abdurahman Abdul Khaliq, As Salafiyun wa Al Aimah Al Arba’ah. 34-35

[13] Ibid. 26-28

[14]  Bayinat Al Hal Al Islami, Dr. Yusuf Qardhawi, 76-77