As Sunnah dan Kedudukannya dalam Syariat Islam

As Sunnah secara bahasa adalah metode dan jalan, baik terpuji atau tercela. Jamaknya adalah Sunan, sepeti Ghurfah jamaknya Ghuraf.

Dan terdapat pemakaian kata tersebut dalam Al Quran dan Hadits Nabawi dengan makna ini. Dalam Al Quran Allah Ta’ala berfirman,

“Katakanlah kepada orang orang kafir itu, “Jika mereka berhenti, niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku sunnah orang-orang yang dahulu.

Dan Allah berfirman,

“Sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami itu.” (Al Isra:77)

Dan di dalam hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Sungguh kamu akan mengikuti sunnah (kebiasaan) orang orang sebelum kalian sedepa demi sedepa, sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk ke dalam lobang biawak sungguh kalian akan mengikutinya.” Kami berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah Yahudi dan Nasrani (Yang Anda maksud)?”Rasulullah menjawab “Lalu siapa lagi?”[1]

Beliau bersabda,

“Barangsiapa berperilaku dalam Islam dengan perilaku yang baik maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengejakan perilaku baik tersebut sesudahnya tanpa mengurangi dari pahala pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang berperilaku dalam Islam dengan perilaku buruk, maka baginya dosa dan dosa orang yang mengejakan perilaku buruk tersebut sesudahnya dengan tidak mengurangi dari dosa-dosa mereka sedikit pun.”[2]

As sunnah menurut para fuqaha adalah suatu (perintah) yang berasal dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak bersifat wajib. Dia adalah salah satu dari hukum hukum taklifi yang lima: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.

Namun terkadang mereka menggunakan istilah ini untuk kebalikan dari bid’ah. Mereka mengatakan-misalnya-,” Talak yang sesuai sunnah adalah demikian, dan talak bid’ah adalah demikian”. Talak sunnah adalah yang terjadi sesuai dengan cara yang ditetapkan oleh syariat, yaitu bila seorang suami menjatuhkan talak satu untuk istrinya yang telah digauli dalam keadaan suci dan ia belum menggaulinya dalam masa itu.

Sedangkan talak bid’ah adalah yang tidak seperti itu. Dia berbeda dengan talak sunnah yang dianjurkan , seperti bila seorang suami menjatuhkan talak tiga untuk istrinya dalam satu kalimat, atau menjatuhkan talak tiga secara terpisah dalam satu majelis, atau mentalaknya dalam keadaan haid atau nifas, atau dalam keadaan suci dari haid dan dia menggaulinya dalam masa itu.

Kata “As Sunnah” digunakan sebagai lawan dari “Al Bid’ah” secara mutlak. Bila dikatakan Fulan di atas sunnah,” maka berarti dia berbuat sesuai yang dilakukan oleh Rasulullah, baik hal itu tertulis dalam Al Quran maupun tidak. Dan bila dikatakan, “Fulan di atas bid’ah,” maka berarti dia berbuat yang bertentangan dengan As Sunnah, karena dia melakukan hal baru yang tidak termasuk dalam agama, dan setiap perbuatan baru dalam agama yang diperbuat dalam agama adalah bid’ah. Maka setiap hal baru dalam agama yang diperbuat orang yang tidak ada tuntunan dari Nabi, baik berupa ucapan atau perbuatan adalah bid’ah.

Kata As Sunnah juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang dapat ditunjukkkan oleh dalil syar’i, meskipun hal itu termasuk perrbuatan sahabat dan ijtihad mereka, seperti: pengumpulan mushaf, mengarahkan manusia pada bacaan dengan satu qiraat dari qiraat yang tujuh, membukukukan administrasi kekhalifahan (dawawim), dan yang semacam dengan itu.

“Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa Ar Rasyidin setelahku.”[3]

As Sunnah menurut ulama ushul fikh adalah apa yang bersumber dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat, atau sirah beliau.

Dengan makna seperti itu maka ia menjadi sama dengan hadits nabawi, menurut mayoritas ahli hadits. Dan penggunaan makna ini sudah umum, seperti perkataan Anda, “Hukum ini sudah ditetapkan Al Kitab,” yakni Al Quran, “Hukum ini sudah ditetapkan dalam As Sunnah, yakni dalam hadits. Begitu pula dengan perkataan anda juga, “Ada dalam kitab-kitab As Sunnah,” yakni hadits.

Perbedaan dalam mendefinisikan As Sunnah menurut istilah ini bersumber dari perbedaan mereka pada tinjauan utama dari masing-masing disiplin ilmu.

Ulama hadits, misalnya, mereka melihat dari sudut pandang Rasulullah sebagai seorang imam yang memberipetunjuk, yang diberitakan oleh Allah, bahwa beliau adalah teladan dan panutan bagi kita. Maka mereka meriwayatkan segala yang berkaitan dengan perilaku, akhlak, tabiat, berita-berita, perkataan, dan perbuatan beliau, baik yang telah ditetapkan sebagai hukum syar’i maupun tidak.

Dan ulama ushul fikih membahas tentang Rasulullah sebagai seorang yang menyampaikan syariat yang meletakkan kaidah-kaidah bagi para mujtahid sesudahnya, dan menjelaskan kepada manusia undang-undang kehidupan. Maka mereka memperhatikan perkataan dan perbuatan serta ketetapan Rasulullah yang dapat menetapkan hukum dan memutuskannya.

Sedangkan ulama fikih membahas tentang perbuatan Rasulullah yang tidak keluar dari petunjuk terhadap hukum syara. Tinjauan mereka adalah tentang hukum syari terhadap perbuatan hamba Allah dari segi wajib, atau sunnah, atau haram, atau makruh, atau mubahnya.[4]


[1] Mutafaq ‘Alaih

[2] HR Muslim

[3] HR Abu Dawud dan Tirmidzi

[4] As Sunnah wa Maknatuha fi At Tasyri Al Islamy, DR Mushtafa As Siba’i hal 61. At Tasyri’ wa Al Fiqh Al Islam hal 86-87

About Redaktur

https://slotjitu.id/ https://adslotgacor.com https://adslotgacor.com/bandar-togel-online-4d-hadiah-10-juta https://linkslotjitu.com/ https://slotgacor77.id https://slotjudi4d.org/slot-gacor-gampang-menang https://slotjudi4d.org/ https://togelsgp2023.com https://s017.top https://slotjitugacor.com/