Asas Masyarakat Baru: Ukhuwah Sesama Kaum Muslimin

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mempersaudarakan para sahabatnya dari kaum Muhajirin dan Anshar atas dasar kebenaran dan rasa persamaan. Bahkan mereka dipersaudarakan untuk saling mewarisi sepeninggal mereka, sehingga pengaruh Ukhuwwah Isalmiyah lebih kuat dan membekas daripada pengaruh ikatan darah (keluarga /kekerabatan).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mempersaudarakan Ja‘far bin Abi Thalib dengan Mu‘adz bin Jabal, Hamzah bin Abdul Mutthalib dengan Zaid bin Zuhair, Umar bin Khatthab dengan ‚Utbah bin Malik, Abdul Rahman bin Auf dengan Sa‘id bin Rabi‘ dan seterusnya.

Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengikat persaudaraan antara para sahabat ini dengan suatu kerangka umum berupa Ukhuwwah dan muwalah (penyerahan loyalitas ), seperti yang akan kita lihat.

Ukhuwwah ini juga didasarkan pada prinsip-prinsip material, di antaranya ialah ditetapkannya prinsip saling mewarisi sesama mereka. Ikatan-ikatan perusaudaraan ini tetap didahulukan daripada hak-hak kekeluargaan sampai terjadi perang Badar Kubra, ketika diturunkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“…Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagaimana lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Mengetahui segala sesuatu.“ (QS Al-Anfal (8): 75)

Ayat ini menghapuskan hukum yang berlaku sebelumnya sehingga turunnya ayat ini  terhapuslah pengaruh Ukhuwwah Islamiyah dalam hal waris-mewarisi. Setelah itu, setiap orang kembali kepada nasab kerabatnya masing-masing. Dan abadilah persaudaraan sesama kaum Muslimin.

Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata: “Ketika kaum Muhajirin datang ke Madinah seorang Muhajir mewarisi seorang Anshar tanpa adanya hubungan keluarga, karena Ukhuwwah yang telah dijalin oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika turun ayat (artinya): ‘Bagi tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya ….” Terhapuslah hukum tersebut. Dengan demikian, berakhirlah masa keberlakuan hukum waris-mewarisi berdasarkan ikatan ukhuwwah tersebut. “

Beberapa Ibrah

Itulah asas kedua yang dibangun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menegakkan masyarakat dan Negara Islam. Urgensi asas ini akan tampak dalam beberapa aspek berikut:

Pertama, Negara manapun tidak akan berdiri dan tegak tanpa adanya kesatuan dan dukunganummatnya. Sedangkan kesatuan dan dukungan tidak akan lahir tanpa adanya saling bersaudara dan mencintai. Setiap Jama‘ah yang tidak disatukan oleh ikatan kasih sayang dan persaudaraan yang sebenarnya, tidak akan mungkin dapat bersatu pada suatu prinsip. Selama persatuan yang sebenarnya tidak terwujudkan dalam suatu ummat atau Jama‘ah maka selama itu pula tidak akan mungkin terbentuk sebauh negara.

Tetapi persaudaran juga harus didahului oleh aqidah yang menjadi ideologi dan faktor pemersatu. Persaudaraan antara dua orang yang saling berbeda aqidah dan pemikiran adalah mimpi dan kurafat, apalagi jika aqidah atau pemikiran tersebut akan melahirkan perilaku tertentu dalam kehidupan nyata.

Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadian Aqidah Islamiyah yang bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai asas persaudaraan yang menghimpun hati para sahabatnya, dan menempatkan semua manusia dalam satu barisan‚ ubudiyah hanya kepada-Nya tanpa perbedaan apapun kecuali ketaqwaan dan amal shalih. Karena tidak mungkin persaudaraan, saling tolong-menolong dan saling mengutamakan, dapat berkembang di antara orang-orang yang dipecah-pecah oleh aqidah dan pemikiran yang beraneka ragam, yang masing-masing senantiasa memperturutkan egoisme hawa nafsunya sendiri.

Kedua, Sosok masyarakat-masyarakat manapun akan berbeda dari kumpulan manusia yang bercerai berai dengan satu hal, yaitu tegaknya prinsip saling tolong menolong, dan mendukung sesama anggota masyarkat tersebut dalam segala aspek kehidupan. Jika prinsip saling tolong menolong dan mendukung ini dilaksanakan sesuai prinsip keadilan dan persamaan, maka itulah masyarakat yang adil dan sejahtera. Sebaliknya, andaikata prinsip ini dilaksanakan secara zhalim dan tidak benar maka itulah masyarakat yang zhalim dan menyimpang. Jikalau suatu masyarakat yang sejahtera hanya bisa diwuudkan berdasarkan prinsip keadilan dalam memanfaatkan sarana-sarana kehidupan, lalu faktor apakah yang dapat menjamin penerapan keadilan ini secara baik?

Sesungguhnya jaminan alamiah bagi terlaksananya keadilan tersebut hanyalah terdapat pada persaudaraan dan kasih sayang yang sebenarnya. Setelah itu baru menyusul jaminan kekuasaan dan undang-undang.

Betapapun keinginan suatu pemerintahan untuk melaksanakan prinsip-prinsip keadilan ini di antara warganya, namun keinginan itu tidak akan terlaksana selama tidak didasarkan pada prinsip saling bersaudara dan mencintai sesama mereka. Bahkan prinsip-prinsip keadilan itu, tnapa persaudaraan dan kasih sayang, hanya akan menjadi sumber kebencian dan kedengkian sesama anggota masyarakat tersebut.

Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar sebagai asas bagi prinsip-prinsip keadilan sosial yang telah terbuktikan sebagai sistem sosial yang paling baik di dunia. Prinsip-prinsip keadilan ini kemudian berkembang dan mengikat menjadi hukum-hukum dan undang-undang syariat yang tetap. Tetapi kesemua hukum dan undang-undang syariat ini terbentuk berdasarkan pada basis pertama yaitu Ukhuwwah Islamiyah. Seandainya Ukhuwwah Islamiyah yang agung tidak ada maka dapat dipastikan bahwa prinsip-prinsip keadilan itu tidak akan memiliki pengaruh yang positif dan aplikatif dalam menegakkan masyarakat Islam dan mendukung eksistensinya.

Ketiga, Nilai yang menyertai Syiar Persaudaraan.

Persaudaraan yang ditegakkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di antara pada sahabatnya bukan sekedar syiar yang diucapkan, tetapi merupakan kenyataan yang terlihat dalam realitas kehidupan dan menyangkut segala bentuk hubungan yang berlangsung antara Muhajirin dan Anshar.

Karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan Ukhuwwah ini sebagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara bersama. Dan tanggung jawab ini telah dilaksanakan oleh mereka dengan sebaik-baiknya. Sebagai contohnya, cukuplah kami sebutkan apa yang dilakukan oleh Sa‘d bin Rabi‘ yang dipersaudarakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Abdul Rahman bin Auf untuk mengambil separuh dari kekayaan yang dimilikinya bahkan salah seorang istrinya.

Sikap persaudaraan seperti ini tidak hanya dilakukan dan ditujukan oleh Sa‘d bin Rabi‘, tetapi dilakukan oleh semua sahabat dalam melakukan hubungan dan solidaritas sesama mereka, khususnya setelah hijrah dan setelah dipersaudarakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Karena itu pula Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hak waris berdasarkan ikatan Ukhuwwah ini, tanpa ikatan keluarga dan kerabat. Di antara hikmah persyariatan ini ialah untuk menampakkan Ukhuwwah Islamiyah sebagai hakekat yang dirasakan secara nyata. Juga supaya diketahui dan disadari bahwa ikatan persaudaraan dan kasih sayang sesama Muslim bukan sekedar slogan yang diucapkan, tetapi lebih dari itu merupakan sesuatu kewajiban yang memiliki berbagai konsekuensi sosial.

Menyangkut hikmah dihapuskannya hak waris berdasarkan ukhuwwah ini, ternyata sistem pembagian warisan yang pada akhirnya ditetapkan pun tidak jauh berbeda. Sebab, sistem pembagian warisan yang secara final ditetapkan juga didasarkan pada hukum Ukhuwwah Islamiyah, yakni orang yang berlainan agama tidak boleh saling mewarisi.

Selama masa pertama hijrah masing-masing dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar harus menghadapi tanggung jawab khusus berupa saling tolong-menolong dan saling memberikan perlindungan disebabkan oleh perpindahan kaum Muhajirin ke Madinah meninggalkan keluarga, rumah dan harta kekayaan mereka di Mekkah. Untuk menjamin terlaksananya tanggung jawab inilah maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, dengan konsekuensi atau tuntutan tanggung jawabnya adalah bahwa ukhuwwah tersebut harus lebih kuat pengaruhnya daripada jalinan kerabat.

Setela kaum Muhajirin menetap di Madinah dan semengat Islam menjadi detak jantung dan denyut nadi kehidupan masyarakat baru, maka tibalah saatnya untuk mencabut sistem hubungan antara Muhajirin dan Anshar yang selama ini diberlakukan. Sebab, di bawah naungan Ikhuwwah Islamiyah dengan berbagai tanggung jawabnya akan menimbulkan perpecahan di kalangan mereka. Tak perlu dikhawatirkan lagi jika hubungan kerabat sesama kaum Muhajirin kembali diakui pengaruhnya di samping ikatan Islam dan Ukhuwah Islamiyah.

Di samping itu, sesungguhnya sebelum mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mempersaudarakan antara sesama kaum Muhajirin di Mekkah. Ibnu Abdil Barr berkata; “Persaudaraan ini diadakan dua kali: pertama antara kaum Muhajirin secara khusus di Mekkah, kedua antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar di Madinah.”

Hal ini menegaskan kepada kita bahwa asas Ukhuwwah ialah ikatan Islam. Hanya saja setelah hijrah perlu diperbaharui dan ditegaskan kembali karena tuntutan situasi dan pertemuan kaum Muhajirin dan Anshar di satu negara (Madinah). Persaudaraan ini tidak berbeda dari ukhuwwah yang didasarkan pada ikatan Islam dan kesatuan Aqidah. Bahkan merupakan penegasan secara aplikatif terhadapnya.