Asy’ariyah

Aliran kalam –tentang studi klasik tentang filsafat ketuhanan– ini adalah kelompok Islam yang paling banyak penganutnya di kalangan umat Islam, sehingga sering disebut-sebut sebagai Ahlus Sunnah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kelompok ini dikenal dengan sebutan Al Asy’ariah (Asya’irah) dinisbahkan kepada tokoh pendirinya Abu Al Hasan Al Asy’ari (874-936 M). Lahir dan hidup di Basrah, kota pusat kelahiran dan perkembangan paham Mu’tazilah. Al Asy’ari pada mulanya menganut paham ini, akan tetapi pada akhir abad ke tiga hijriah ia meninggalkan dan menyerang keras terhadap paham ini selama kurang lebih seperempat abad kemudian mendirikan paham baru, Al Asy’ariah.

Iklim pemikiran yang mengakibatkan perubahan pandangan dan berdirinya paham baru ini ditandai dengan polarisme antara aliran rasionalis, Mu’tazilah yang hingga batas-batas tertentu dipengaruhi oleh filsafat Yunani, khususnya sebagai dampak dari gerakan penerjemahan khazanah intelektualitas Yunani ke dalam Bahasa Arab pada abad ke tiga hijriah, di satu pihak, dan paham tekstualis, Ahlul Hadits yang pandangannya statis tertumpu pada pemahaman tekstual atas nash-nash eksplisit menghadapi arus pengaruh pemikiran filsafat Yunani yang masuk di kalangan pemikiran Islam.

Dalam suasana polarisme tajam ini pemikiran Islam membutuhkan orang yang mengingatkan kaum Muslimin tentang wasathiyyah Islam yang menyelamatkan paham rasionalisme dari kecenderungan arah seperti yang ada dalam aliran pemikiran Yunani, di samping itu juga meluruskan pemahaman terhadap teks-teks lahiriah dari pemahaman harfiah (leterlek). Dalam hal ini Al Asy’ari-lah tokoh pelurus antara kedua kutub ini yang menampilkan pemahaman moderat (wasathiyyah) di tengah alam pemikiran yang sedang mewarnai periode itu.

Kelompok Asy’ariah ini telah berhasil mengetengahkan bentuk baru wasathiyyah Islam yang meredakan ekstrimis kedua kutub yang sedang mendominasi alam pemikiran periode ini antara Mu’tazilah dan kelompok tekstual Salafiah. Kemudian mengambil jalan tengah dan mengkompromikan keduanya dalam kesatuan arah pemahaman teologis. Inilah keberhasilan terbesar paham al-Asy’ariah dalam mempersatukan pandangan masyarakat tentang masalah ini.

Beberapa pandangan yang dipegang oleh Al Asy’ariah adalah:

  1. Memandang golongan Mu’tazilah telah berlebihan dalam melakukan tanzih hingga mendekati ta’thil (meniadakan) terhadap sifat-sifat Allah. Sedangkan kelompok tekstual berlebihan dalam memahami teks secara lahiriah tanpa menyelami implisitasnya, mereka melakukan penyerupaan (tasybih) terhadap sifat-sifat Allah dengan makhluk mendekati batas tajsid dan tajsim (antropomorfisme). Kemudian al-Asy’ariah mengambil aliran tengah antara keduanya dengan menetapkan untuk Dzat Ilahiah sifat-sifat yang Dia sifatkan sendiri untuk diri-Nya akan tetapi dengan pemahaman yang menjauhkan makna tajsim dan tajsid (antropomorfisme).
  2. Memandang bahwa para ulama fiqih bersikap apatis terhadap Ilmu Kalam –karena membenci kaum Mu’tazilah yaitu pihak perintis Ilmu Kalam– begitu juga memandang para ahli kalam (Al Mutakallimin) mengabaikan manhaj ushul fiqih yang dirumuskan oleh musuh Mu’tazilah lalu Al Asy’ariyah mengkombinasikan antara Fiqih dan Ushul Fiqih serta Ilmu Kalam.
  3. Memandang bahwa kaum salafi –kaum tekstualis– menjauhi perangkat penalaran akal sedangkan para penganut filsafat cenderung pada penggunaan penalaran akal dengan mengorbankan naql (teks agama), dengan kata lain, menempatkan akal diatas nash dalam banyak hal. Lalu al-Asy’ariah mengambil jalan tengah antara keduanya dengan tetap menempatkan nash diatas akal. Sebab paham yang dipegang oleh kaum Mu’tazilah lebih berbahaya dikarenakan menomerduakan nash setelah akal.
  4. Memandang kelompok fatalis murni (Al Jabariyyah) yang mengingkari adanya peran aktif bagi manusia, yang memandang keberadaan manusia itu tidak ubahnya ibarat bulu dibawa terbang oleh angin, sedangkan golongan Mu’tazilah memandang bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri dalam pengertian hakiki bukan majazi. Lalu al-Asy’ariah mengambil konsep kasb (usaha dan ikhtiar) sebagai jalan tengah antara keduanya, di mana di sana dibedakan antara perbuatan paksaan atas ketentuan Tuhan dan perbuatan atas usaha dan ikhtiar manusia. Dengan demikian al-Asy’ariah menetapkan adanya peran manusia bagi perbuatannya berupa kemampuan dan kesanggupan melakukan perbuatan akan tetapi kemampuan dan kesanggupan manusia ini tetap tidak mencapai tingkat penciptaan dan mengadakan perbuatan, sebab ini adalah hak Allah.
  5. Memandang bahwa penganut paham tasybih atau kelompok Al Musyabbihah (antropomorfisme) yang meyakini bahwa manusia melihat Tuhan dengan mata kepala mengantarkan pada konsep batas-batas Dzat ilahiah secara indrawi, sedangkan kaum Mu’tazilah mengingkari bahwa manusia dapat melihat Allah secara indrawi. Lalu al-Asy’ariah mengambil jalan tengah antara dua paham ini dengan mengatakan tentang melihat Allah dengan mata kepala, tanpa memberi batasan maupun tajsim (antropomorfisme).
  6. Memandang golongan Salafi dan paham tekstualis yang mengatakan tentang sifat qidam (sifat dahulu) al-Qur’an baik maknanya, bentuk hurufnya, maupun suaranya, sedangkan kaum Mu’tazilah memandang bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Lalu al-Asy’ariah mengambil jalan tengah antara keduanya dengan memandang bahwa kalam Allah bersifat qadim (dahulu) akan tetapi huruf dan suara pengucapannya bersifat baru (huduts).
  7. Tentang penafsiran ayat-ayat yang berbicara tentang Allah mengenai wajah, tangan, kedatangan, bersemayam, (istiwa’) bagi Allah, Al Asy’ariah memandang bahwa golongan Salafi –tekstualis– menghindari metode ta’wil (memberi penafsiran di luar eksplisitas nash) tanpa menyerahkan maknanya atau menjauhkan penyerupaan Allah dengan makhluk, sedangkan mayoritas penganut paham Mu’tazilah berlebihan dalam men-ta’wil-kan ayat-ayat ini. Oleh sebab itu, Al Asy’ariah berusaha mengambil jalan tengah dengan tetap menetapkan wajah, tangan, kedatangan, dan bersemayam bagi Allah akan tetapi tanpa mempertanyakan: bagaimana. Mereka memilih menetapkan tanpa menyerupakan.
  8. Memandang ekstrimitas ada pada paham Salafi dalam menolak akal sebagai sumber pengetahuan agama dan ekstrimitas Mu’tazilah dalam mengandalkan akal sebagai rujukan agama, sehingga sebagian orang menyebut kaum Mu’tazilah penganut “syari’ah akal” karena ketertumpuan mereka pada daya nalar akal sebagai salah satu sumber pengetahuan dengan kekhususan wahyu sebagai rujukan dalam tugas-tugas dan masalah yang wajib menurut agama.

Demikianlah Abu al-Hasan al-Asy’ari merumuskan tonggak wasathiyyah Asy’ariyyah (aliran moderat al-Asy’ariah) yang muncul pada kondisi polaritas antara Mu’tazilah dan kelompok tekstualis, dengan mengambil jalan tengah lalu mempersatukan umat dan menggalang kesatuannya.[1]



[1] Lebih lanjut, lihat DR. Muhammad ‘Immarah, dalam Tayyarat al-Fikr alIslam, Kairo 1991.