Awalnya dari Niat

Awalnya dari niat. Kelak Allah akan menilainya dan memberikan barakah sesuai dengan niatmu. Kalau niatmu menikah karena ingin menjawab pertanyaan Rasulullah tentang apa yang menghalangi seorang mukmin untuk mempersunting istri, insya-Allah engkau akan mendapati anakanak yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaha illaLlah. Jika engkau tidak tahu betul bagaimana mendidik anakmu, Allah yang akan mendidiknya.

Allah yang akan memberikan ilmu melalui kekuasaan-Nya. Banyak cara Allah membaguskan hamba-hamba-Nya. Banyak cara Allah menjadikan seorang hamba terangkat tinggi karena niatnya melalui anak-anak yang mereka lahirkan. Padahal mata kita yang penuh teori, semula memandang proses perkembangan anak-anak itu sebagai kesalahan.

Sungguh, sangat sedikit ilmu yang dimiliki manusia.

Awalnya dari niat. Maka, atas dasar apakah engkau menikahi istrimu? Jika gadis yang engkau pinang itu cantik, apakah engkau menikahinya karena mengharap keindahan dan wajah yang mengesankan? Ataukah, karena khawatir kecantikannya dapat membuatmu terjerumus kepada maksiat, lalu engkau berusaha dengan sungguhsungguh untuk segera menikahinya demi menjaga kehormatan farjimu berdua.

Beda sekali antara keduanya. Yang pertama dapat mendatangkan kekecewaan setelah menikah. Pernikahan sangat sedikit barakahnya. Sedang yang kedua, insya- Allah akan dipenuhi barakah dari Allah yang terus melimpah.

Ketika engkau melihat calon istrimu memiliki ilmu agama yang bagus, atas dasar apakah engkau memilihnya? Ketika engkau melihat calon istrimu berkecukupan, atas dasar apakah engkau meminangnya? Ketika engkau melihat calon istrimu berkekurangan, atas dasar apakah engkau memintanya kepada kedua orangtuanya.

Awalnya adalah niat. Maka aku bertanya kepadamu wahai istriku, apakah yang menggerakkan hatimu untuk mempercayakan kesetiaanmu padaku? Aku bertanya kepadamu karena niat akan menentukan apa yang akan engkau dapatkan kelak setelah kita menikah, dan kelak setelah kita tiada. Ketika kita sama-sama menjadi jenazah. Niatmu akan mempengaruhi bagaimana engkau merasakan arti saat-saat berdekatan, keindahan saat bersama, keadaan hati saat menghadapi masalah, sampai bagaimana engkau merasakan arti darah setetes ketika melahirkan, juga ketika harus bangun saat anakmu terbangun dari tidurnya.

Semua berawal dari niat. Niat ketika menerima pinangan, niat ketika memasuki jenjang pernikahan, niat ketika menghabiskan saat-saat berdua, niat ketika berhias, niat ketika memuji suami, dan niat ketika akan melakukan berbagai hal. Niat-niat itu bisa menambah barakah dan memperbaiki kesalahan niat sebelumnya, bisa mengurangi barakah dari apa yang sebelumnya telah engkau terima atau engkau berikan kepada suami.

Awalnya dari niat.

Aku mendengar, kata Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anh, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu (dinilai) hanya berdasarkan niatnya (innamal a’malu binniyyati) –di dalam riwayat lain: berdasarkan niat-niatnya– dan sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh apa yang ia niatkan; barangsiapa yang hijrahnya (diniatkan) kepada Allah dan Rasul-Nya maka (nilai) hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya (diniatkan) kepada dunia yang ingin diraihnya atau perempuan yang ingin dinikahinya maka (nilai) hijrahnya adalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya itu.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi dan An-Nasa’i, shahih).

Innamal a’malu binniyati, kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadis tersebut.  ungkin kita semua sudah pernah mendengar hadis ini. Barangkali malah sudah sangat sering mendengar. Kadang malah menjadi alasan bagi sebagian orang untuk memaafkan diri sendiri ketika melakukan perbuatan keliru. Dalilnya, bukankah setiap perbuatan dinilai berdasarkan niatnya? Aku ingatkan kepada diriku sendiri, bukan demikian ituyang disebut niat. Bukan. Niat yang sesungguhnya melandasi perbuatan, bukanlah apa yang dengan mudah engkau ucapkan lalu engkau hapus di saat lain yang engkau kehendaki. Kalau seorang gadis memintamu untuk memboncengkannya sedangkan engkau sudah lama sekali menginginkan, maka tidak bisa engkau menyertainya dengan niat menolong sebagai sesama muslim meskipun niat itu engkau ucapkan berulang-ulang. Bukankah hatimu sendiri sudah gelisah dan tidak tenang?

Aku ingatkan kepada diriku sendiri dan orang-orang yang aku cintai, mintalah kepada Allah penjagaan niat dari kotoran-kotoran yang tidak engkau ketahui dan kebusukan yang tidak mampu engkau hilangkan sendiri saat ini. Semoga Allah mengampunimu dan memperbaiki niat kita.

Dengarkanlah keterangan Imam Al-Ghazali rahimahuLlah. Beliau mengatakan, barangkali ada orang bodoh mendengar perkataan kami tentang niat. Lalu ia berkata, “Aku berdagang karena Allah”, atau “Aku makan karena Allah”. Jauh, amatlah jauh. Hal itu hanya perkataan diri dan perpindahan dari satu pikiran ke pikiran yang lain.Niat jauh dari yang demikian. Niat adalah kebangkitan jiwa dan kecenderungannya pada apa yang muncul padanya berupa tujuan yang dituntut yang penting baginya, baik secara segera maupun ditangguhkan. —

Pelacur itu kemudian datang meminta untuk dinikahi demi membersihkan diri.

Dari pernikahan itu lahir tujuh orang anak yang shaleh. Begitu cerita Zadan dari Ibnu Mas’ud dari Salman Al-Farisi.

Selama kecenderungan itu tidak ada di dalam batin, kata Imam Al-Ghazali melanjutkan, tidak mungkin diusahakan, diciptakan dengan usaha, dan dipaksakan. Melainkan hal itu, hasilnya kembali kepada perpindahan pemikiran dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Seperti seorang yang kenyang berkata, “Aku telah berniat untuk lapar,” atau “Aku berniat untuk makan disebabkan lapar,” Atau orang yang gelisah berkata, “Aku telah berniat untuk mencintai seseorang,” atau “Aku telah berniat memuliakan seseorang.” Hal ini tidak muncul di dalam batinnya, dan itu mustahil. Selama tidak muncul motif hal itu, maka tidak akan ada kebangkitan jiwa, karena kebangkitan jiwa merupakan tanggapan (respons) terhadap motif dan tujuan yang muncul. Contohnya adalah menikah, kata Imam Al-Ghazali. Orang yang dikuasai syahwat dan ingin menikah, kemudian hendak memaksakan diri berniat mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sunnahnya, serta berniat mendapatkan anak yang shaleh. Hal itu tidak mungkin terjadi karena tidak muncul motif-motif ini dari batinnya. Melainkan di dalam batinnya hanya ada syahwat semata. Demikian penjelasan Imam Al-Ghazali dalam buku Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin. Wallahu A’lam bishawab.

Awalnya dari niat. Nikah juga diawali dengan niat. Niat yang baik dan jernih akan mendekatkan kepada barakah. Semakin baik niat kita, insya-Allah semakin barakah rumah tangga kita, sekalipun kita tidak bisa menunaikan seluruh perkara yang kita niatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan kalau kita tidak bisa mengamalkan apa yang sudah kita niatkan dengan sungguh-sungguh, maka bagi kita apa yang kita niatkan. Allah menyempurnakan apa yang kita niatkan, sekalipun kita tidak bisa melaksanakan.

Tetapi beda sekali antara niat yang sungguh-sungguh kuat dengan mengadaadakan niat. Semoga Allah menyelamatkan kita dari ghurur (terkelabui). Kita menyangka kita punya niat, padahal hanya angan-angan yang kemudian kita jelaskan dengan akal.

Adapun jika engkau telah berniat dengan niat yang baik, maka berbahagialah, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Niat orang mukmin lebih baik daripada perbuatannya. Sementara niat orang fasik lebih jelek daripada perbuatannya.”

Maka marilah kita meniatkan satu kebaikan di dalam pernikahan. Niat mendidik anak dengan sebaik-baik pendidikan. Niat menetapkan satu sunnah hasanah dalam keluarga. Niat untuk melaksanakan perbuatan yang mendatangkan barakah bagi kita beserta istri (suami) kita. Niat untuk memuliakan istri dengan perkataan yang lembut, bukan kasar dan menyakitkan. Serta niat lain.

Satu niat saja yang sungguh-sungguh ingin kita kerjakan, insya-Allah menjadi pintu barakah, kebaikan berlipat-lipat yang terus berkembang. Hanya Allah yang berhak menentukan kebaikan apa yang dikaruniakan kepada kita di dunia dan akhirat.

Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik Pemberi Kebaikan. Maha Suci Allah dari segala keburukan yang diangan-angankan oleh akal yang keruh.

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah –dalam apa yang diriwayatkan dari Rabbnya– bersabda, “Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, kemudian menjelaskan hal tersebut (di dalam kitab-Nya); barangsiapa berniat melakukan kebaikan tetapi dia tidak  mengerjakannya maka Allah menulisnya di sisi-Nya satu kebaikan yang utuh, jika dia meniatkannya kemudian dia melakukannya maka Allah menulisnya di sisi-Nya sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus sampai berlipat-lipat ganda. Dan barangsiapa berniat (melakukan) keburukan tetapi dia tidak mengerjakannya maka Allah menulisnya di sisi-Nya satu kebaikan yang utuh, dan jika dia meniatkannya kemudian dia mengerjakannya maka Allah menulisnya satu keburukan”.

Dalam riwayat lain Ibnu Abbas menambahkan, “Atau Allah menghapuskannya dan tidaklah berniat jahat kepada Allah kecuali orang yang binasa.” (HR Bukhari & Muslim, shahih).

Akan tetapi,

“Barangsiapa tidur dan dalam hatinya ada niat untuk mengkhianati (menipu) orang Islam, ia tidur dalam kemurkaan Allah. Ia memasuki waktu subuh juga dalam kemurkaan Allah kecuali bila ia mati atau bertaubat. Jika ia mati dalam keadaan itu, maka ia mati bukan dalam agama Islam. Ketahuilah siapa yang mengkhianati kami, ia bukan golongan kami (Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan hal ini sebanyak tiga kali).”

Nah, sekarang ketika akan menikah, apa niat Anda?