A. Pengertian Secara Bahasa
Kata ghurbah terpecah dalam tiga golongan huruf, yakni huruf ghain, ra’, dan ba’. Huruf-huruf ini termasuk kata asal yang shahih.[1]
Kata ini memiliki pengertian yang begitu luas, seperti yang disebutkan pengarang buku “Al-Qamus” terhadap salah satu perubahan bentuk kalimatnya (yakni al-gharbu) yang mencakup dua puluh empat makna.[2] Akan tetapi Az-Zubaidi[3], pensyarah Al-Qamus menemukan sepuluh pengertian yang belum disebutkan di dalam kamus aslinya. Sehingga,secara keseluruhan berjumlah tiga puluh empat pengertian[4]. Jika dari satu bentuk perubahan kalimat saja ditemukan pengertian sebanyak ini, tentunya akan lebih banyak pengertian baru pada bentuk perubahan lainnya.
Kata ‘ghurbah’ sendiri memiliki beberapa pengertian:
- Diantara pengertiannya adalah An-Nawa wal bu’du (kejauhan dan menjauh). Dikatakan; ightaraba ghurbatan: menjauh. Nawa ghurbatan; pergi menjauh.[5]
- Pengertian yang agak mirip dengan makna sebelumnya adalah An-nazuhu ‘anil wathan wal ightirab (mengasingkan diri dan mengungsi dari tanah air). Dikatakan, rajulun ghurubun wa gharibun. Artinya, menjauh dari tanah airnya. Bentuk pluralnya adalah ghuraba[6].
- Pengertian yang agak mendekati pada kedua pengertian di atas adalah Al-Gharib: orang asing. Artinya, ia tidak termasuk dalam golongan kaum tersebut.[7]
Seorang penyair[8] mengatakan:
Di kala bersama Al-Abbasi di negeri yang dikucilkan
Asing tak saling kenal, dari dua daerah yang berbeda
Bukankah sifat kami jika tak peduli sesama
Tapi kami sedang dikucilkan dan asing satu sama lain[9]
- Kalimat Al-Ghurbatu juga dapat berarti Al-Ghumudhu wal khafa’u wa ‘Adamusy syuhrati (kesamaran, tersembunyi, dan tidak populer). Di antara contohnya adalah gharibul hadist, maksudnya kesamaran yang tidak menampakkan maknanya.[10] Adapun kalimat aghraba, berarti mendatangkan sesuatu yang asing.[11]
- Dapat diartikan juga sebagai Adz-dzihabu wat tanahhi ‘anin nasi (menghindari dan berpaling dari orang lain). Dikatakan, gharaba ‘anna, yaghribu gharban, artinya ia menghilang dari tengah-tengah kita.[12]
Menurut hemat saya, kelima pengertian di atas, saling memiliki keterkaitan satu sama lain yang sering diungkapkan dalam penggunaan bahasa Arab.
Dalam pengertian An-nawa wal bu’du (menjauh), maksudnya; seseorang meninggalkan tanah airnya ke tempat lain. Ia meninggalkan kaumnya menuju kaum yang lain. Sehingga ia pun menjadi asing di tengah-tengah masyarakat yang baru, karena bukan golongan mereka. Dalam kondisi ini, seseorang dianggap samar atau tidak jelas asal-usulnya tentang dirinya oleh penduduk asli. Ia dianggap orang yang pergi mengembara dan meninggalkan negeri dan kaumnya.
Semua makna ini terkumpul dalam ungkapan; bahwa asingnya sesuatu berarti ia tidak cocok terhadap apa yang ada disekitarnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian, karena kesamaran dan ketersembunyiannya.
Orang yang asing adalah orang yang berada di suatu kaum yang bukan kaumnya. Kalimat yang asing adalah kalimat yang berbeda dari kalimat-kalimat yang lain dari segi ketersembunyian dan ketidakjelasannya pada manusia.
Kalimat ‘ghurbah’ dalam ungkapannya bisa digunakan secara muthabaqah (padanan). Misalnya, orang yang bermukim di tengah orang-orang yang bukan kaumnya dinamakan orang asing. Terkadang pula secara iltizam (kemestian). Seperti orang yang berkunjung ke suatu tempat selain tanah airnya dinamakan asing. Sebab, kunjungannya menuntutnya berdiam di tengah-tengah kaum yang lain sehingga dia menjadi asing diantara mereka. Kalau ini benar, berarti kita sudah mengumpulkan kebanyakan makna-makna kalimat ini hanya dalam satu makna saja, yaitu makna yang umum dan memiliki banyak makna.[13]
Penggunaan Kalimat Ghurbah dalam As-Sunnah
Penggunaan kalimat ghurbah di dalam As-Sunnah An-Nabawiyah banyak sekali pengertiannya. Semuanya pengertian itu terkumpul dalam satu kata yang telah saya isyaratkan sebelumnya. Sekarang saya sebutkan dua pengertian yang saling berdekatan:
Kalimat ghurbah disebutkan dalam arti secara fisik, yakni bermukim di luar tanah airnya dan tinggal di tengah komunitas selain kaumnya.
Pengertian ini bersumber dari hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menarik kedua pundakku, lalu beliau bersabda, ‘Jadilah kamu di dunia ini orang yang senantiasa asing atau seorang pengembara.’ Kemudian Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Jika kamu berada di waktu sore, janganlah kamu menunggu waktu pagi muncul. Jika kamu berada di waktu pagi, janganlah kamu menunggu waktu sore datang. Manfaatkanlah waktu sehatmu untuk waktu sakitmu. Manfaatkanlah waktu hidupmu untuk matimu.’[14]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan kondisi yang seharusnya dijalani oleh mukmin yang taat dan rajin beribadah dengan kondisi orang asing yang tidak mempunyai tempat bernaung atau rumah yang ia tempati. Seluruh urusannya mulai dari makan, minum, tempat tinggal, kendaraan, dan seterusnya hanya sementara dan akan berlalu seiring dengan berakhirnya masa keterasingannya.
Ibnu Batthal mengatakan, ‘Orang asing itu sedikit berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya, bahkan dia merasa hidup di tengah-tengah lingkungan yang jahat, dia hanya sekedar berlalu diantara orang-orang yang tidak ia kenali, karena merasa dalam keadaan lemah dan penuh kekhawatiran atas dirinya, begitu pula halnya dengan keadaan seorang pengembara.’
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan kondisi seorang mukmin sejati dengan kedua tipe manusia ini (orang asing dan pengembara). Hal ini mengandung isyarat tentang betapa penting dan perlunya mengutamakan sikap zuhud di dunia, mengambil secukupnya saja dan menahan diri dari hal yang bukan miliknya.[15]
Ibnu Batthal menyinggung tiga dimensi makna. Dimensi pertama yaitu, maksud dari menyerupakan seorang mukmin dengan orang asing adalah; karena ia sangat sedikit berinteraksi dengan orang lain. Ia merasa asing dan merasa kurang nyaman berada di tengah-tengah mereka.
Dimensi kedua dari makna ini adalah, orang asing berarti orang yang bertekad kembali ke negeri asalnya dan hatinya belum tertambat dengan sesuatu apa pun di negeri pengasingannya, karena ia senantiasa tertambat dengan kampung asal tempat ia akan kembali.[16]
Begitu pula keadaan orang-orang mukmin. Hendaknya hati mereka tidak terlalu bergantung dan terikat pada kehidupan dunia, namun senantiasa terpaut pada akhirat yang merupakan tempat kembali sesungguhnya dan tempat tinggal abadi.
Sedangkan dimensi ketiga dari makna ini diartikan bahwa, orang asing terhindar dari berbagai celaan yang bersumber dari interaksi dan pergaulan dengan masyarakat luas yang lalai pada Sang Pencipta. Rasa dengki, kebencian, kemunafikan, dan permusuhannya relatif sedikit dari orang asing itu. Ia sangat jarang menghinakan harga diri orang lain dan berbuat fitnah di tengah-tengah mereka.[17]
Dalam hadist ini, terdapat makna yang menunjukkan hubungan perjenjangan. Karena permasalahan ini disudahi dengan menyamakan orang yang terasing dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “…atau (jadilah) pengembara.” Dapat dipastikan bahwa, hubungan antara seorang pengembara dengan tempat yang disinggahinya lebih sedikit daripada orang asing.[18]
Uraian di atas mencakup seluruh pengertian ghurbah dengan pengertian keterasingan secara fisik, yaitu berpisah dengan keluarga dan tanah air dengan bertempat tinggal bersama kaum yang lain. Hal tersebut telah ditemukan di dalam banyak hadist. Di sini rasanya tidak perlu disebutkan semuanya.[19]
[1] Lih. Kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah karangan Abul Hasan Ahmad bin Faris bin Zakaria (IV/420). Shahih di sini berarti kata yang tidak ada tasydid atau huruf ‘illah (alif, ya, waw).
[2] Al-Qamus Al-Muhith, karangan Majduddin Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi (I/113-114).
[3] Ia adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Husaini Al-Wasithi yang digelari ‘Al-Murtadha’. Lahir pada tahun 1145 H. Wafat pada tahun 1205 H. Pemilik berbagai karya ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu yang sangat popular. Di antaranya adalah Tajul ‘Arus min Jawahiril Qamus. Dan ia banyak mempunyai karya di bidang hadist dan ilmu hadist dengan jumlah hampir tiga puluh tujuh kitab dan risalah. Lih. Biografinya secara lengkap pada kitab Fihris Al-Faharis wal Itsbat, karangan Al-Katani. Dan kitab Az-Zubaidi dalam kitabnya Tajul ‘Arus karangan DR. Hisyam Thaha Syalasy dan selain kedua buku ini.
[4] Lih. Kitab Tajul ‘Arus, karangan Az-Zubaidi (I/404-407).
[5] Al-Qamus (I/114), Ash-Shihah (I/190-191), Al-Lisan (I/638), dan At-Tajul ‘Arus (I/405).
[6] Al-Qamus (I/114), Al-Lisan (I/639), Mujmalullughati karangan Ibnu Faris (III/694), dan At-Tajul ‘Arus (I/407).
[7] Ash-Shihah (I/191), Al-Lisan (I/640), dan At-Tajul ‘Arus (I/410).
[8] Ia adalah Thuhman bin Amr Al-Kilabi, salah seorang penyair pada Bani Umayyah. Ia hidup di masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan. Ia adalah seorang pencuri kelas kakap hingga tangannya dipotong. Maka ia pun melarikan diri dari tanah airnya di Yamamah menuju negeri Yaman. Lih. Diwannya, dan Mu’jamusy Syu’ara’ dalam Lisanul Arab, karangan DR. Yasin Al-Ayyubi hal. (250) nomor biografi: 605.
[9] Kedua bait syi’ir ini terdapat dalam Al-Lisan (I/640). Keduanya dinisbatkan kepada Thuhman bin Amr Al-Kilabi, At-Tajul ‘Arus (I/410-411), dan kedua bait ini juga dinisbatkan kepadanya.
[10] Al-Lisan (I/640).
[11] Ash-Shihhah (I/192), dan Al-Qamus (I/114).
[12] Al-Qamus (I/113), Al-Lisan (I/638), dan At-Tajul ‘Arus (I/404).
[13] Sebagai bahan rujukan tambahan. Lih. Al-Qamus (I/113-115), Mu’jamu Maqayisil Lughah (4/420-422), Al-Mujmal (III/695), Al-Lisan (1/638-648), Ash-Shihah (I/191-194), At-Tajul ‘Arus (1/404-412), an-Nihhayatu fi Gharibil Haditsi wal Atsari Libni Al-Atsir Al-Jazari (III/348-352), dan yang lainnya.
[14] Diriwayatkan oleh:
- Imam Bukhari dalam Shahih-nya. Lih. Kitab Ar-Raqa’iq, bab “perkataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam: Kun fid Dunya Kannaka Gharibun au ‘Abiru Sabilin’ (VII/170);
- At-Tirmidzi dalam Jami’nya (IV/567-568). Lih. Kitab Az-Zuhd, bab ‘’Ma Ja’a fi Qashril ‘Amal” No.2333;
- Ibnu Majah dalam Sunan-nya(II/1378) dalam kitab Az-Zuhd, Bab ‘Matsalu Ad-Dunia’ nomor: 4114. Ia mentaqshirnya menjadi marfu’;
- Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (II/57-58). Sebagaimana dalam Al-Ihsan, Kitab Dzikrul Akhbar ‘Anil Washfil Ladzi Yajibu An-“Yattashifa” Al-Mar’u Bihi fi Hadzihid Dunia Al-Faniyati Az-Za’ilati. (Kalimat ‘Yattashifu’ tidak terdapat dalam cetakan asli. Saya menambahkannya -karena darurat- agar susunan kalimatnya lebih teratur) nomor:687. Hadist marfu’ juga diriwayatkan darinya dalam Raudhatul ‘Uqala hal. (148). Disebutkan anjuran untuk senantiasa bersikap qana’ah;
- Imam Ahmad di dalam Az-Zuhd. Di dalam Musnad-nya (II/41, 24, 132);
- Ibnu Abu Ashim dalam Az-Zuhd hal. (72-73) nomor: 185. Ia mentaqshirnya marfu’;
- Ibnu Al-Mubarak dalam Az-Zuhd, bab ‘At-Takhshishu ‘ala Tha’atillahi ‘Azza wa Jalla’ hal. (5) nomor: 13. Al-Khaththabi dalam Al-‘Uzlah bab ‘Fi Tarkil Istiktsar Minal Ashdiqa’ hal. (39);
- Ath Thabrani dalam Al-Mu’jam Ash-Shaghir. Dari namanya Ahmad (I/29-30);
- Al Baihaqi dalam As-Sunan, Kitab Al-Jana’iz, bab ‘Ma Yanbaghi likulli Muslim An-Yasta’milahu min Qashril ‘Amal (III/369);
- Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (III/301) dalam biografi Mujahid bin Jeber nomor: 243;
- An-Nasa’i dalam Sunan Kubra-nya. Dalam Ar-Raqa’iq. Disebutkan oleh al-Hafizh Al-Mazi dalam Tuhfatul Asyraf, pada biografi Abdullah bin Umar riwayat Abadah bin Abu Lubabah Al-Asadidarinya nomor: 7304, (V/481);
- Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah. Kitab Ar-Raqa’iq, baba ‘Qashrul ‘Amal’ nomor:4029 (XIV/230-231). Ia mengatakan ‘Hadist ini shahih’. Adapun Al-Ajiri dalam Shifatil Ghuraba bab ‘al-hatstsu ‘ala Bulugh Maratibul Ghuraba’ hal (30-33) nomor: 18, 19,20, 21.
[15] Fathul Bari bi Syarhi Shahih Bukhari, karangan Ibnu Hajar al-Asqalani (XI/234).
[16] Ibid. (XI/234 – 235).
[17] Syarhu al-Karmani ‘alal Bukhari (XXII/194). Makna yang sama juga ditemukan pada Kitab ‘Umdatul Qari, karangan Al-‘Aini (XXIII/33).
[18] Syarhu al-Karmani ‘alal Bukhari (XXII/194). Ibarat ini dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari dengan menisbatkannya kepada Al-Karmani (XI/235). Sementara Al-‘Aini menukilkan tanpa penisbatan kepada siapapun (XXIII/33).
[19] Lihat contohnya pada: Ash-Shahih al-Bukhari, kitab Manaqib al-Anshar, Bab “Qishshatu Zam Zam”; Ash-Shahih Muslim, kitab al-Jana’iz, bab ”al-Buka’u ‘alal Mayyit” nomor: 10; Musnad Imam Ahmad (VI/289); Sunan Ibnu Majah, kitab al-Jana’iz, bab “Ma Ja’a fi Man Mata Ghariban”, bab nomor: 1613; dan yang lainnya.