Tsawabit dan Mutaghayirat Dalam Soal Iman

Perbedaan pendapat yang pertama kali muncul di kalangan umat Islam adalah tentang hakikat iman. Ia muncul sejak kaum Khawarij menyerang umat dengan bid’ah takfir, yakni menganggap kafir orang yang berbuat maksiat. Mereka menghalalkan darah orang-orang yang berbeda pendapat dengannya, sehingga menjadi kelompok yang paling keras mengafirkan dan memerangi umat. Sebagai reaksi, muncullah kelompok Jahmiah yang berpandangan sama kelirunya, yaitu menganggap iman cukup dengan semata-mata membenarkan wahyu (berita langit), sedangkan perbuatan hati dan anggota badan tidak dimasukkan dalam hakikat iman. Kemudian muncul pula kaum Murjiah yang lebih melihat kepada ayat-ayat janji tentang kabar gembira, sehingga tidak memasukkan semua perbuatan anggota badan ke dalam hakikat iman, walaupun masih memasukkan perbuatan hati ke dalamnya. Selanjutnya datanglah perpecahan jama’atul muslimin secara bertubi-tubi.

Lapangan dakwah Islam kontemporer menyaksikan pertentangan antara dua kelompok di kalangan kaum Muslimin. Kelompok pertama menuduh pihak lain sebagai Khawarij yang mudah mengkafirkan, sedangkan kelompok kedua menuduhnya sebagai Murjiah atau Jahmiah. Masing-masing dari keduanya menukil ucapan-ucapan para ulama untuk memperkuat pendiriannya dan boleh jadi nukilan ucapan yang mereka gunakan adalah sama.

Karena alasan yang demikian maka mendesak untuk kita bedakan antara hal yang muhkam dan yang mutasyabih, antara yang telah menjadi keputusan ijma’ dan yang bersifat ijtihadiy, dalam masalah itu. Yang demikian itu agar tidak terjadi kerancuan yang menyebabkan kita melonggarkan masalah yang telah disepakati ijma’ atau mengingkari masalah yang bersifat ijtihadiah. Juga untuk memudahkan diagnosa terhadap berbagai penyimpangan yang dituduhkan kepada satu kelompok untuk dikembalikan kepada prinsip ahlu sunnah wal jamaah. Selain itu, agar bisa membedakan antara penyimpangan yang sumbernya adalah cacat dalam pemahaman prinsip, dengan penyimpangan yang sumbernya adalah perselisihan hubungan personal, atau cacat dalam penerapannya sementara pemahaman tentang prinsip atas persoalan ini sebenarnya benar dan tidak ada persoalan.

Betapapun, prinsip dalam persoalan iman termasuk hal yang baku dan mendasar dalam Islam, akan tetapi sebagian pembahasan tentang detailnya termasuk dalam wilayah ijtihad bukan termasuk hal yang qath’iy, sebagaimana akan kami uraikan pada pembahasan mendatang, insya Allah.