Jihad dalam rangka menghadapi orang kafir, terbagi kedalam dua keadaan :
1. Jihad untuk memerangi negeri kafir dalam keadaan orang kafir tersebut tidak memerangi orang Islam.
Jihad semacam ini adalah fardhu kifayah. Dan serendah-rendah fardhu kifayah dalam masalah ini ialah, menutup segala kemungkinan penyerangan orang kafir terhadap kaum mukminin. Dengan mengutus tentara untuk melakukan tugas ini agar musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala jadi gentar, sekurang-kurangnya setahun sekali. Karenanya wajib atas pemimpin negara Islam untuk mengutus kesatuan tentaranya ke negeri-negeri yang harus diperangi sekali atau dua kali dalam setahunnya. Dan wajib atas sekalian rakyat untuk membantunya. Dan kalau imam tersebut tidak melakukan hal tersebut, maka dosanya dipikul olehnya. [1]Demikianlah para ahli fiqih telah menerangkannya.
Para ahli ushul fiqh menyatakan:
الجهاد دعوة قهرية فتجب إقامته بقدر الإمكان حتى لا يبقى إلا مسلم أو مسالم
“Jihad itu adalah dakwah dengan kekuatan, oleh sebab itu wajib pelaksanaannya dengan sekuat tenaga sehingga di dunia ini hanya ada muslim atau orang-orang kafir yang mau meneyrah kepada pemerintah Islam dengan membayar jizyah (upeti) kepada pemerintah tersebut.”[2]
2. Jihad untuk membela diri dari serangan orang kafir terhadap negeri Islam.
Jihad jenis ini hukumnya adalah fardhu ‘ain bahkan sepenting-penting fardhu ‘ain. Yang termasuk Jihad yang fardhu ‘ain itu ialah:
- Bila orang kafir menyerang salah satu negeri kaum muslimin
- Apabila dua kelompok pasukan, muslimin dan kafir saling bertemu
- Bila Imam kaum muslimin meminta kaum muslimin untuk keluar berperang
- Bila orang kafir menawan sekelompok orang Islam
Tentang fardhu’ain-nya (kewajiban) jihad bagi kaum muslimin bila orang kafir menyerang salah satu negeri Islam, telah sepakat baik ulama salaf maupun khalaf dan juga para ahli fiqih madzhab yang empat, para ahli hadits dan para ahli tarsir di segala zaman dengan kesepakatan yang mutlak, bahwasanya jihad dalam keadaan yang demikian ini adalah fardhu ‘ain atas setiap muslimin yang bertempat tinggal di negeri yang terserang itu dan yang berdekatan dengan negeri tersebut.
Dalam jihad yang seperti ini seorang anak keluar berjihad tidak harus izin orang tuanya, isteri tidak harus izin suaminya, dan orang yang punya hutang tidak harus izin orang yang menghutanginya. Tetapi bila penduduk negeri tersebut atau orang sekitarnya tidak mampu menghadapi serbuan orang kafir tersebut baik karena kemampuannya yang terbatas atau karena malas dan tidak mau berjuang, maka kewajiban itu meluas kepada penduduk yang bersebelahan dengan negeri yang diserang itu. Dan bila juga penduduk tersebut tidak menghadapi musuh tersebut, kewajiban jihad semakin meluas kepada penduduk negeri yang di sebelahnya lagi demikian seterusnya kewajiban itu meluas ke seluruh dunia dengan tahapan-tahapan perluasannya seperti lingkaran bulat. Sehingga fardhu ‘ain kepada setiap orang Islam yang berada di manapun untuk terjun dalam medan jihad melawan serbuan tentara kafir yang menyerbu negeri Islam tersebut. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“Dan adapun jihad untuk membela diri, membela kemuliaan umat Islam dan agamanya dari serangan musuhnya adalah seutama-utama kewajiban jihad. Yang kewajiban itu merupakan ijma’ ulama. Dan tidak ada kewajiban dalam Islam setelah kewajiban beriman, yang lebih utama dari dari kewajiban membela agama dan umat Islam dari serangan musuhnya yang merusak agama maupun kehidupan umat Islam. Maka dalam jihad sepert ini tidak disyaratkan lagi perbekalan atau kendaraan bagi para mujahid untuk ikut berperang. Bahkan diwajibkan kepada para mujahid tersebut untuk menghadapi serangan tentara kafir itu dengan kekuatan yang seadanya pada dirinya, dan sungguh telah diriwayatkan bahwa para ulama juga berpendapat seperti itu baik ulama dari kalangan kita maupun lainnya.”
Ibnu Taimiyah juga membantah pendapat seorang Qadhi yang menyatakan bahwa apabila ditetapkan kewajiban jihad atas suatu penduduk negeri Islam, maka kewajiban atas mereka itu bersyarat harus ada perbekalan dan kendaraan, kalau perjalanan jihadnya berjarak, yang menyebabkan diqasharnya shalat. Hal ini diqiyaskan dengan hukum haji. Ibnu Taimiyah membantah pendapat ini dengan keterangan sebagai berikut:
“Apa yang dikatakan qadhi tersebut di atas, yang mengqiyaskan hukum jihad dengan hukum haji, tidak pernah diriwayatkan dari seorang ulama pun cara istinbath hukum seperti ini. Dan pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Karena kewajiban jihad jenis ini adalah untuk membela agama dan umat Islam dari bahaya serangan musuh. Sehingga jihad seperti ini bahkan lebih wajib dari hijrah. Padahal kewajiban hijrah tidak pernah disyaratkan padanya adanya kendaraan, maka jihad ini tentunya lebih tidak disyaratkan yang demikian itu. Dan dalam Bukhari Muslim terdapat riwayat Ubadah bin Shamit bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِي عُسْرِهِ وَيُسْرِهِ وَمَنْشَطِهِ وَمَكْرَهِهِ وَأَثَرَةٌ عَلَيْهِ
“Wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan taat (terhadap pimpinannya dari kaum mukminin) dalam keadaan sulit maupun mudah dalam sesuatu yang disenanginya maupun yang tidak disukainya dan dia wajib mementingkan perintah imamnya itu.”
Maka seutama-utama kewajiban taat itu adalah perintah untuk pergi berperang dalam keadan sulit maupun lapang. Dalam hal ini, berhubung ada nash (dalil) yang mewajibkan pergi berperang walaupun dalam keadaan sulit, maka jihad ini tidak bisa disamakan atau diqiyaskan dengan haji. Apalagi hadits tersebut di atas adalah dalam masalah perang dengan orang kafir yang masih di negeri kafir. Maka tentunya lebih tidak bisa diqiyaskan dengan hukum haji bila jihad itu terhadap orang kafir yang sudah menyerbu ke wilayah kaum muslimin, dan ini adalah jihad yang lebih utama. Maka oleh sebab itu jihad untuk membela kaum muslimin dari serangan musuhnya yang merusak agama dan kehidupan mereka adalah kewajiban yang paling utama setelah kewajiban iman.”[3]
Dalam pembicaraan ini juga saya sampailah kepada segenap pembaca, pendapat para ahli fiqih dari empat madzhab tentang perkara ini:
1. Para Ahli Fiqih Madzhab Hanafi
Ibnu Abidin berkata:[4]
“Adalah fardhu ‘ain jihad itu, bila musuh telah menyerang sebagiaan dari wilayah Islam, atas penduduk yang berdekatan dengan wilayah tersebut. Adapun penduduk yang jauh dari wilayah tersebut adalah fardhu kifayah, kalau mereka tidak diperlukan untuk pembelaan wilayah yang diserang tersebut. Adapun kalau penduduk yang berjauhan dengan wilayah tersebut diperlukan untuk membantu mengusir penyerang, karena penduduk yang berdekatan dengan wilayah tersebut tidak mampu mengusir musuh dari wilayahnya atau penduduk wilayah tersebut malas untuk berjihad, maka kewajiban jihad itu menjadi fardhu ‘ain atas penduduk yang lebih jauh dari wilayah tersebut. Dan bila mereka juga tidak mampu, maka fardhu ‘ain atas penduduk yang lebih jauh lagi dan demikian seterusnya sampai kewajiban jihad itu menjadi fardhu ‘ain atas segenap umat Islam di timur maupun di barat untuk membela wilayah yang diserang itu dengan tahapan-tahapan sebagai mana yang dijelaskan di atas.”
Pendapat seperti ini juga sesuai dengan pendapat Al Kassani[5] dan Ibnu Najim [6] dan Ibnu Al Hamam.[7]
2. Pendapat Ahli Fiqih Maliki:
Dalam kitab Hasyiyah Ad Dasuki terdapat keterangan seperti ini:
“Dan jihad itu wajib karena serangan mendadak musuh Islam. Ad Dasuqi mengatakan: wajib jihad atas setiap muslim laki-laki maupun wanita untuk menghadapi musuh yang menyerang mendadak dan bahkan juga terhadap anak kecil. Walaupun pemilik budak melarang budaknya, suami melarang istrinya, dan pemberi hutang melarang orang yang dihutanginya tetap saja kewajiban itu tidak bisa gugur atas orang-orang tersebut dengan larangan itu.”[8]
3. Pendapat Ahli Fiqih Madzhab Syafi’i:
Dalam kitab Nihayatul Muhtaj, Ar Ramli menerangkan:
“Kalau orang kafir itu sudah masuk ke negeri kita, dan jarak antara kita dengan mereka tidak ada lagi, yaitu sejauh perjalanan yang kita boleh mengqashar shalat, maka penduduk negeri tersebut wajib jihad membela wilayah tersebut dari serangan musuh. Dan kewajiban ini berlaku juga bagi mereka yang asalnya tidak wajib perang seperti orang fakir, anak-anak, hamba sahaya, orang yang terlibat hutang dan wanita.”[9]
4. Pendapat para ahli fiqih Madzhab Hambali
Dalam kitab Al Mughni, Ibnu Qudamah menerangkan:
“Dan jihad itu wajib dalam tiga keadaan:
- Apabila barisan tentara muslimin bertemu dengan barisan tentara kafirin di medan perang.
- Apabila orang kafir masuk ke negeri yang penduduknya diwajibkan memerangi orang kafir itu (yakni penduduk negeri yang Islam)
- Bila imam kaum muslimin mengeluarkan perintah jihad.”[10]
Ibnu Taimiyah berkata:
“Apabila musuh telah masuk menyerang negeri Islam maka tidak diragukan lagi bahwa wajib atas setiap orang Islam yang dekat dengan negeri yang diserang itu dan kemudian yang lebih dekat. Karena seluruh negeri Islam pada hakikatnya adalah satu negara yang tak terpisahkan. Maka oleh sebab itu wajib atas setiap muslim pergi berperang menuju wilayah yang diserang itu dengan tanpa izin orang tua dan tidak pula izin yang lainnya. Dan keterangan-keterangan Imam Ahmad amat terang dalam masalah ini.”[11]
Keadaan yang digambarkan para ahli fiqih tersebut dikenal dengan nama “Nafirul A’m” (seruan umum untuk keluar memerangi musuh).
[1] Hasyiyah Ibnu Abidin, 3;138
[2] Hasyiyah Asy Syarwani wa Ibn Al Qasim ‘ala Tuhfat Al Muhtaj ‘ala Al Minhaj, 9:213
[3] Dari kitab Al Ikhtiyarat Al Ilmiyah, karya Ibnu Taimiyah, tercantum di dalam Al Fatawa Al Kubra 4:608
[4] Hasyiyah Ibnu Abidin, 3:238
[5] Badai’ As Shanai’ 7:72
[6] Al Bahr Al Raiq karya Ibnu Najim, 5:191
[7] Fath Al Qadir, karya Al Hammam, 5:191
[8] Hasyiyah Ad Dasuqi, 2;174
[9] Nihayat Al Muhtaj, 8:58
[10] Al Mughni, 8:345
[11] Al Fatawa Al Kubra, 4:608