Beberapa Sikap Mulia Wanita dalam Shahih Bukhari-Muslim (3)

Penuh Tawakal Kepada Allah

Jabir Radhiyallahu ‘Anh berkata, “Sesungguhnya kami pada hari terjadinya Perang Khandaq bekerja menggali parit. Lalu terhalang oleh sebongkah tanah yang sangat keras. Para sahabat pergi menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menyampaikan hal tersebut kepada beliau. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, ‘Aku akan turun tangan.’ Kemudian beliau berdiri, sedangkan ikat perutnya diganjal dengan batu. Kami tinggal di sana selama tiga hari tanpa pernah memakan apa pun. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengambil cangkul, kemudian mencangkul tanah yang keras itu. Akhirnya tanah itu hancur menjadi pasir. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku kembali ke rumah. Lalu aku bertanya kepada istriku, ‘Aku telah melihat sesuatu pada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang membuatku tidak tahan. Apakah kamu mempunyau sesuatu (untuk dimakan)?’ Istriku menjawab, ‘Aku mempunyai gandum dan seekor kambing betina.’ Lalu aku menyembelih kambing itu, sedangkan istriku bertugas menggiling gandum, sampai kami menaruh daging di dalam kuali. Kemudian aku pergi menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Ketika adonan sudah lunak dan masakan di kuali yang terletak diatas tungku sudah hampir matang, aku berkata, ‘Ini adalah sedikit makanan dariku, maka berdirilah, ya Rasulullah dan ajaklah makan satu atau dua orang.’ Beliau bertanya, ‘Berapa banyak (makananmu)? Aku sebutkan jumlah atau banyaknya kepada beliau. Beliau berkata, ‘Oh banyak, bagus.’ Kemudian beliau berkata, ‘Katakanlah kepada istrimu agar jangan menurunkan kuali dan roti dari dapurnya sampai aku datang.’ Setelah itu beliau berkata, ‘Berdirilah kalian!’ Maka orang-orang Anshar dan Muhajirin berdiri. Ketika Jabir masuk menemui istrinya, dia berkata, ‘Kasihan kamu, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam datang dengan orang-orang Muhajirin, Anshar, dan lainnya.’ Istrinya bertanya, ‘Apakah beliau sudah bertanya padamu?’ Jabir menjawab, ‘Ya, sudah.’ Kemudian beliau berkata, ‘Masuklah kalian semua dan jangan berdesak-desakan!'” (HR Bukhari dan Muslim)[1]

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Nash hadits (istri Jabir bertanya, ‘Apakah beliau sudah bertanya kepadamu?’ Jabir menjawab, ‘Ya.’ Lalu beliau berkata, ‘Masuklah kalian semua!’) merupakan sejenis ringkasan. Sementara itu, penjelasannya dapat ditemukan dalam riwayat Yunus bin Bakir dalam kitab Ziyadatul Maghazi. Bunyi kitab itu adalah Jabir berkata, ‘Aku merasa malu yang tidak ada yang mengetahuinya selain Allah. Dalam hati aku berkata, “Semua makhluk datang untuk memakan hidangan yang hanya terdiri atas segantang gandum dan seekor anak kambing betina.” Lalu aku pergi menemui istriku dan aku katakan kepadanya, “Aku merasa malu sekali sebab Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam akan datang ke rumahmu dengan membawa semua pasukan Khandaq.” Istriku bertanya, “Apakah beliau sudah bertanya kepadamu mengenai berapa banyak makananmu?” Aku jawab, “Ya, sudah.” Istriku berkata, “Allah dan Rasul-Nya tentu lebih mengetahui. Tugas kita sekadar memberitahu apa yang ada pada kita.” Ucapan istriku itu betul-betul mengikis habis perasaan risau luar biasa yang menghantui benakku.” Selanjutnya Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hal itu menunjukkan betapa sempurnanya akal dan keutamaan istri Jabir.”[2]

Sabar Dalam Menghadapi Cobaan

Dari Anas Radhiyallahu ‘Anh, dia berkata, “Haritsah terbunuh pada hari Perang Badar, sedangkan dia masih muda belia. Lalu ibunya datang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sudah tahu bagaimana kedudukan Haritsah dengan diriku. Seandainya dia masuk surga, maka aku akan bersabar dan mengharap pahala. Tetapi seandainya di tempat lain, apa gerangan yang harus aku perbuat? –Dalam satu riwayat disebutkan, ‘Dan seandainya tidak seperti itu, aku akan berusaha memperjuangkannya dengan tangis.’[3]

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, ‘Kasihan kamu, apakah kamu sudah kehilangan akal dan pikiran (panik), ataukah kamu kira bahwa surga itu hanya satu? Sesungguhnya surga itu banyak sekali, sedangkan Haritsah berada di surga Firdaus.'” (HR Bukhari)[4]

Konsisten Menjaga Kehormatan Diri

Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, berkata bahwa beliau bersabda, “Ada tiga orang laki-laki sedang berjalan-jalan dan tiba-tiba turun hujan lebat. Lalu mereka masuk ke dalam satu gua yang terdapat di sebuah gunung. Tiba-tiba jatuh batu besar sehingga menutup jalan keluar mereka.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Lalu masing-masing berkata kepada yang lain, ‘Berdoalah dengan amal terbaik yang pernah kalian kerjakan!’ Maka berdoalah salah seorang dari mereka seraya berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku dahulu mempunyai ibu bapak yang sudah tua sekali. Setiap aku keluar untuk menggembala, aku biasanya memerah susu, lalu susu itu aku bawa pulang dan aku berikan kepada kedua orang tuaku dan mereka meminumnya. Susu itu juga aku berikan kepada anak-anak, keluarga, dan istriku. Pada suatu hari aku pulang terlambat dan orang tuaku sudah tidur. Aku tidak suka membangunkan mereka. Sementara anak-anak merengek dan menangis kelaparan di dekat kedua kakiku. Hal itu terjadi pada diriku dan pada diri mereka berdua sampai terbit fajar. Ya Allah, seandainya Engkau mengetahui bahwa apa yang aku lakukan itu semata-mata karena mencari ridhaMu, maka bebaskanlah kami sehingga kami bisa melihat langit.’ Kemudian batu bergeser sepertiganya. Orang kedua berdoa, ‘Ya Allah, seandainya Engkau tahu bahwa aku dahulu pernah mencintai salah seorang anak gadis pamanku sebagaimana cinta yang sangat mendalam dan seorang laki-laki terhadap seorang wanita –menurut riwayat Muslim, ‘Aku minta supaya dia mau melayani kemauan nafsuku. Tetapi dia tidak mau sampai aku bersedia menahan diri selama satu tahun lamanya, maka setelah itu akan datang kepadaku.’[5]

Anak gadis pamanku itu berkata, ‘Engkau tidak bakal merenggut kegadisanku sehingga engkau bersedia memberiku seratus dinar.’ Aku pun berusaha mendapatkannya sehingga uang tersebut bisa kukumpulkan. Maka tatkala aku sudah duduk di antara kedua kakinya, dia berkata, ‘Takutlah kamu kepada Allah dan janganlah kamu merusak mahkota kegadisanku kecuali dengan cara yang benar!’ Aku segera berdiri dan meninggalkannya. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa apa yang aku lakukan itu semata-mata karena mencari ridha-Mu, maka bebaskanlah kami.’ Maka Allah membebaskan mereka dari hambatan batu itu dua pertiganya. Laki-laki yang ketiga berdoa, ‘Ya Allah, seandainya Engkau mengetahui bahwa aku pernah mempekerjakan seseorang dengan upah satu gantang jagung. Tetapi setelah aku serahkan upah itu, dia tidak mau mengambilnya. Akhirnya aku mengambil jagung itu kembali, lalu menanamnya, sehingga akhirnya dengan hasil panen jagung itu aku bisa membeli seekor sapi dan penggembalanya. Kemudian orang tadi datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai hamba Allah, sekarang berikanlah hakku kepadaku.’Aku bilang, ‘Pergilah menuju sapi itu dan penggembalanya. Keduanya menjadi milikmu.’ Orang itu berkata, ‘Apakah kamu mempermainkanku?’ Aku jawab, ‘Aku sama sekali tidak mempermainkanmu. Tetapi semua itu benar-benar aku serahkan untukmu. Ya Allah, seandainya Engkau tahu bahwa apa yang aku lakukan itu semata-mata untuk mencari ridha-Mu, maka bebaskanlah kami.’ Lalu Allah membebaskan mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)[6]

Cepat Mengakui Dosa Atau Kesalahan

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh dan Zaid bin Khalid Al Jahmi berkata, “Seorang lelaki datang menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata, ‘Demi Allah, aku tidak mengharapkan apa-apa selain mengharapmu bersedia memutuskan perkara kami berdasarkan Kitabullah.’ Lalu lawan perkaranya berdiri –tampaknya dia lebih pintar daripada yang pertama– seraya berkata, “Benar, berilah kami putusan berdasarkan Kitabullah dan berilah aku izin, wahai Rasulullah.” Lantas Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, ‘Katakanlah!’ Orang itu berkata, ‘Sesungguhnya anak lelakiku jadi pekerja di rumah keluarga saudara ini, lalu anakku itu berbuat zina dengan istrinya. Lantas aku menebus perbuatan anakku itu dengan seratus ekor kambing dan seorang pelayan. Dan sesungguhnya aku sudah bertanya kepada beberapa orang alim. Mereka memberikan jawaban bahwa anakku harus dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun, dan istri lelaki ini harus dirajam.’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Demi yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh aku memberikan putusan mengenai perkara kalian ini berdasarkan Kitabullah. Seratus kambing beserta pelayan dikembalikan kepadamu, dan anakmu mendapatkan hukuman dera seratus kali serta diasingkan satu tahun. Wahai Anis, pergilah kepada istri lelaki ini, lalu tanyailah dia. Jika dia mengaku, maka rajamlah dia.” Ternyata istri lelaki itu mengaku, lalu dia dirajam.” (HR Bukhari dan Muslim)[7]

Ibnu Abi Malikah mengatakan ada dua orang wanita sedang menjahit di sebuah rumah. Sementara di dalam kamar ada orang-orang yang berbicara. Lalu salah seorang dari wanita yang menjahit tadi keluar dalam keadaan telapak tangannya tertusuk oleh jarum jahitnya. Dia mendakwa temannya yang satu lagi sebagai penyebab kejadian itu. Akhirnya kasus ini diajukan kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Seandainya semua dakwaan manusia dikabulkan, niscaya akan habislah darah suatu kaum dan harta benda mereka. Karena itu cobalah kalian ingatkan/sadarkan wanita itu dan bacakan kepadanya ayat Allah tentang sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah … dan seterusnya. Mereka segera mengingatkan wanita itu kepada Allah sesuai dengan perintah Ibnu Abbas. Akhirnya wanita itu sadar dan mengakui kesalahannya.'” (HR Bukhari)[8]

Minta Dirajam Demi Menyucikan Diri

Buraidah, dari bapaknya, berkata bahwa sesungguhnya Ma’iz bin Malik Al Aslami datang menghadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berbuat aniaya terhadap diriku sendiri. Aku telah melakukan perbuatan zina, dan aku berharap semoga engkau bersedia menyucikan diriku ini.” Tetapi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menolak permintaannya itu. Keesokan harinya, Maiz datang lagi menghadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berbuat zina.” Untuk kedua kalinya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menolak pengakuan Ma’iz. Beliau lalu mengirim seseorang kepada kaum Ma’iz untuk menanyakan, ‘Apakah kalian tahu bahwa dalam akal Ma’iz tidak beres dan tidak bisa kalian terima?’ Mereka menjawab, ‘Sepanjang yang kami ketahui, akalnya tidak terganggu dan kami melihatnya sebagai orang baik-baik.’ Maiz datang lagi menghadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk yang ketiga kali. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam masih menolak pengakuannya. Kemudian kembali mengirim utusan kepada kaum Ma’iz untuk menanyakan masalahnya. Mereka kembali menjawab bahwa tidak ada masalah apa-apa dengan diri dan pikiran Ma’iz. Tetapi ketika Ma’iz datang untuk keempat kalinya dengan maksud yang sama, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan supaya digalikan lobang untuk pelaksanaan hukuman rajam atas diri Ma’iz. Perintah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam itu segera dilaksanakan.

Buraidah berkata, ‘Suatu ketika, ada seorang perempuan dari keluarga Ghamidi datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah melakukan perbuatan zina, maka tolonglah sucikan diriku.” Tetapi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menolak pengakuan perempuan ini. Keesokan harinya dia datang lagi dan berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau tolak pengakuanku? Mungkin alasan engkau menolak pengakuanku sama seperti ketika engkau menolak pengakuan Ma’iz. Demi Allah, sesungguhnya aku ini sedang hamil.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, ‘Mungkin juga tidak. Sekarang pulanglah dulu sampai kamu melahirkan.’ Setelah melahirkan, perempuan itu datang lagi menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sambil membawa bayi laki-lakinya yang dibungkus dengan secarik kain. Dia berkata. ‘Inilah bayi yang telah kulahirkan.’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, ‘Pulanglah kamu dulu dan susukanlah dia sampai kamu menyapihnya.’ Setelah tiba masa menyapih, perempuan itu datang lagi kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membawa bayinya. Di tangan bayi itu ada sepotong roti. Dia berkata, ‘Ini, wahai Nabiyullah. Aku telah menyapih bayiku dan dia sudah bisa memakan makanan.’ Akhirnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyerahkan bayi tersebut kepada salah seorang sahabat, kemudian beliau mengeluarkan perintah supaya dilaksanakan hukuman terhadap perempuan itu. Perempuan itu lalu ditanam sebatas dada. Selanjutnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh orang-orang untuk melemparinya dengan batu. Lalu datang Khalid binWalid membawa sebuah batu, dan melempar perempuan itu tepat pada kepalanya. Darah dari kepala perempuan itu muncrat sehingga mengenai muka Khalid, sehingga Khalid mencela perempuan itu. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, ‘Tenanglah wahai Khalid. Demi yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sesungguhnya perempuan ini telah bertobat dengan tobat yang apabila dilakukan oleh seorang penarik pajak secara kejam, niscaya dia akan diampuni. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk mengurus mayit perempuan ini dan beliau menyalatinya, lalu menguburkannya.” (HR Muslim)[9]

Dari Imran bin Hushain dikatakan bahwa seorang wanita dari keluarga Juhainah datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam keadaan hamil karena perbuatan zina. Perempuan itu berkata, “Wahai Nabiyullah, aku telah melakukan suatu perbuatan yang harus dihukum. Maka laksanakanlah hukuman itu terhadapku.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggil wali wanita itu dan berkata, “Berbuat baiklah kepadanya. Jika nanti dia sudah melahirkan, maka bawalah dia kepadaku!” Wali perempuan itu melaksanakan pesan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan baik. Setelah melahirkan, dia pun membawanya kepada beliau. Selanjutnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh untuk mengikat perempuan itu dengan kain dan segera dihukum rajam. Setelah meninggal dunia, beliau menyalatinya. Umar ibnul Khattab bertanya, “Apakah engkau menyalatinya, ya Nabiyullah. Padahal dia telah berbuat zina?” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Sesungguhnya dia telah bertobat dengan sungguh-sungguh. Seandainya tobat wanita ini dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, maka hal itu masih cukup. Pernahkah kamu menemukan tobat yang lebih baik dibandingkan apa yang dilakukan perempuan ini. Dengan jujur dia menyerahkan dirinya supaya dilaksanakan hakuman Allah atasnya?” (HR Muslim)[10]



[1] Bukhari, Kitab: Peperangan, Bab: Perang Khandaq atau Ahzab, jilid 8, hlm. 398. Muslim, Kitab: Minuman, Bab: Boleh mengajak orang lain…, jilid 6, hlm. 117.

[2] Fathul Bari, jilid 8, hlm. 401.

[3] Bukhari, Kitab: Jihad, Bab: Orang yang terkena panah nyasar yang membawa kematiannya, jilid 6, hlm. 366.

[4] Bukhari, Kitab: Peperangan, Bab: Keutamaan orang yang mengikuti Perang Badar, jilid 8, hlm. 306.

[5] Muslim, Kitab: zikir, tobat, dan istighfar, Bab: Kisah penghuni gua, jilid 8, hlm. 89.

[6] Bukhari, Kitab: Jual-beli, Bab: Apabila membeli sesuatu untuk orang lain tanpa seizinnya, lalu dia rela, jilid 5, hlm. 313. Muslim, Kitab: zikir, tobat, dan istighfar, Bab: Kisah mengenai tiga orang di dalam gua dan bertawassul dengan amalan-amalan saleh, jilid 8, hlm. 89.

[7] Bukhari, Kitab: Hudud, Bab: Apakah imam boleh menyuruh seseorang melaksanakan had meskipun tanpa keberadaannya, jilid 15, hlm. 203. Muslim, Kitab: Hudud Bab: Orang yang mengaku dirinya telah berbuat zina, jilid 5, hlm. 121.

[8] Bukhari, Kitab: Tafsir, Bab: Firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat”, jilid 9, hlm. 280.

[9] Muslim, Kitab: Hudud, Bab: Orang yang mengaku dirinya telah berbuat zina, jilid 5, hlm. 120.

[10] Muslim, Kitab: Hudud, Bab: Orang yang mengaku dirinya telah berbuat zina, jilid 5, hlm. 120.