Sering terjadi pertentangan tentang jumlah rakaat shalat tarawih. Tidak jarang hal tersebut berakibat pada perpecahan di tengah masyarakat muslim.
Sesuatu yang sangat ironis. Mengingat shalat tarawih hukumnya sunah, sedangkan ukhuwah dan persatuan di kalangan kaum muslimin tidak diragukan lagi kewajibannya.
Namun sayang, demi membela yang sunnah (tanpa diringi pemahaman yang benar), yang wajib justru diabaikan .
Hal tersebut terjadi karena permasalahan ini sering dilihat dari sudut pandang golongan. Dikatakan bahwa yang shalat dua puluh rakaat adalah cara orang NU, sedang yang sebelas rakaat adalah cara orang Muhamadiyah, tanpa meneliti dalil yang ada serta petunjuk pemahaman yang benar dan menyeluruh serta perkataan para ulama tentang hal tersebut.
Padahal para salafusshaleh melihat perkara ini sebagai perkara yang muwassa’ (luas dan luwes). Bukan pada tempatnya menjadikan hal ini sebagai ajang untuk membid’ahkan atau menyatakan seseorang bukan golongannya.
Latar Belakang Masalah
Karena shalat tarawih juga digolongkan sebagai shalat malam (qiyamullail), maka hukum yang terkait dengannya juga mengikuti hukum yang berlaku pada shalat malam, termasuk masalah jumlah bilangan rakaatnya.
Sejumlah ulama berpendapat bahwa jumlah rakaat shalat malam adalah dua rakaat-dua rakaat secara mutlak, tanpa ada pembatasan jumlah maksimal dari rakaat yang boleh dikerjakan.
Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Shalat malam, dua (rakaat) dua (rakaat), jika salah seorang di antara kalian khawatir (datang) waktu shubuh, maka hendaklah dia shalat (witir) satu rakaat, mengganjilkan shalat yang telah dilakukan.” (Muttafaq alaih)
Hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampaikan ketika menjawab pertanyaan seseorang tentang pelaksanaan shalat malam.
Maka dari jawaban tersebut ada dua hal yang dapat disimpulkan:
1. Shalat malam hendaklah dilakukan dua rakaat-dua rakaat. Maksudnya adalah setiap dua rakaat melakukan salam.
2. Shalat malam tidak ada batasan maksimalnya. Karena kalaulah hal tersebut ditentukan, mestinya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampaikan masalahnya, mengingat pertanyaan orang tersebut bersifat umum tentang shalat malam, baik tata caranya maupun jumlah rakaatnya. (Duruus Ramadhaniah, Waqafaat Li as-Sha’imin, Salman bin Fahd al-Audah
Adapun hadits Aisyah radhiallahu anha yang sering dijadikan landasan sebagai batas maksimal dari pelaksanaan shalat malam terdapat dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Aisyah radiallahuanha berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, jangan tanya bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, jangan Tanya tentang bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat.” (Muttafaq alaih)
Dalam hadits ini, dengan gamblang Aisyah radhiallahuanha menjelaskan tentang jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan, yaitu: 11 rakaat.
Namun yang patut diperhatikan adalah: Bahwa hadits Aisyah radhiallahuanha di atas, tidak berarti menunjukkan bahwa shalat malam (shalat tarawih) maksimal sebelas rakaat, sehingga jika lebih dari itu dianggap menyalahi sunnah Rasul.
Karena dalam riwayat tersebut, Aisyah sekedar menyampaikan bahwa demikianlah shalat malam yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan. Sehingga para ulama berkesimpulan bahwa apa yang disampaikan Aisyah radhiallahu anha adalah merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam bilangan rakaat shalat malam dan tidak ada petunjuk bahwa beliau melarang pelaksanaan shalat malam lebih dari itu. (Lihat Syarh Shahih Muslim, oleh Imam An-Nawawi, 6/ 262. Lihat juga Fatawa Lajnah Da’imah (Kumpulan Fatwa yang dikeluarkan oleh komisi fatwa Kerajaan Saudi Arabia), 7/195)
Yang menguatkan pendapat tersebut adalah adanya riwayat lain yang shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat malam tiga belas rakaat, atau sepuluh rakaat. Bahkan Aisyah radhialluanha termasuk yang meriwayatkan
Dari Aisyah radhiallahuanha, dia berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat pada malam hari sepuluh rakaat, kemudian melakukan shalat witir satu rakaat.” (HR. Abu Daud)
Dari Abu Salamah dia berkata, “Aku bertanya tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka dia berkata, “Beliau shalat tiga belas rakaat; Shalat delapan rakaat, kemudian shalat witir. Kemudian shalat dua rakaat dalam keadaan duduk, jika hendak ruku’ beliau bangkit, lalu ruku’. Kemudian beliau shalat dua rakaat antara azan dan iqamah shalat Shubuh.” (HR. Muslim)
Kesimpulannya, yang utama shalat Tarawih dilakukan 11 rakaat, berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha, namun jika ada yang shalat dua puluh rakaat ditambah tiga witir, maka hal tersebut tidaklah mengapa. (Lihat Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, 2/604, Fatawa Lajnah Da’imah, 7/198)
Bagi makmum, yang perlu diketahui adalah hendaklah dia melakukan shalat tarawih bersama imam hingga selesai (apakah imam melakukannya 11 atau 20 rakaat), berdasarkan hadits:
“Seseorang, jika dia shalat bersama imam hingga selesai, maka dicatat baginya (pahala) qiyamullail.” (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i)
Disamping hal tersebut lebih dekat kepada kesatuan dan persatuan.
Jika terjadi perbedaan pendapat dalam suatu masjid masalah ini, sebaiknya diatasi dengan semangat ukhuwah islamiyah dan memperjelas permasalahannya.