Bergabung dengan Jamaah Ikhwan

Ketika itu, aku menuju masjid Sayyid Ali Al Mahalli untuk melaksanakan shalat Ashar. Setelah shalat, seorang kawan, Mahmud Abdul Halim[1], putra Syekh Abdul Halim ̶ saat itu ia adalah mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Fuad, sekarang Universitas Kairo ̶ mendekatiku dan mulai bercerita tentang jamaah Ikhwan dan mengajakku bergabung di dalamnya.

Saat itulah, aku pertama kali mendengar nama Ikhwanul Muslimin. Setelah ia menjelaskan tujuan organisasi ini, aku lalu berkata kepadanya, “Aku sudah bergabung dengan sebuah klub olahraga. Bukankah itu sudah cukup?”

Ia berkata, “Sesungguhnya, organisasi Ikhwan tidak berbenturan dengan keterlibatanmu dalam klub olahraga itu. Aktivitas olahraga dapat engkau lakukan pada siang hari, sementara pertemuan kita diadakan pada malam hari.” Ia lalu mengajakku untuk menghadiri salah satu pertemuan yang diadakan jamaah tersebut di belakang masjid Quhaemah. Itu terjadi pada awal tahun 1936.

Setelah shalat maghrib, aku berangkat menuju sekretariat organisasi tersebut. Di sana, aku mendapati beberapa orang yang jumlahnya tidak lebih dari hitungan jari tangan dan sebagian besar dari mereka adalah pekerja. Aku duduk bersama mereka dan mulai membaca wirid yang mereka sebut Al Ma’surat. Pada awalnya, aku menduga bahwa organisasi ini tidak lebih dari sebuah jamaah sufi yang tersebar cukup banyak di Rasyid, di mana anggota organisasi ini berkumpul bersama-sama di rumah-rumah yang sudah ditentukan, khususnya pada hari Kamis sore, tiap pekan.

Di tempat itu, mereka membaca wirid dan petunjuk-petunjuk dalam melaksanakan kebaikan. Namun, setelah kami membaca Al Ma’tsurat, akh Mahmud Abdul Halim menjelaskan sasaran dan tujuan jamaah Ikhwan. Ia juga memaparkan sebagian akhlak dan sikap-sikap utama yang menurutnya berasal dari Mursyid ‘Aam (Hasan Al Banna). Sebelum kami meninggalkan tempat tersebut, ia kembali mengingatkan kami agar dapat bertemu pada keesokan harinya.

Pertemuan itu terus berlanjut setiap hari dengan agenda acara seperti biasa, ditambah dengan penjelasan tentang tujuan organisasi yang didukung dengan penyampaian sirah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Al Qur’anul Karim.

Satu hal yang memotivasiku untuk terus hadir dalam pertemuan rutin tersebut ialah adanya kelemahlembutan dan keakraban yang terjalin di antara sesama kawan, dan aku merasa sangat diperhatikan dalam acara tersebut. Aku pun memiliki sifat dan cita-cita yang jauh lebih tinggi daripada sekadar bermain bola. Apalagi masyarakat di wilayah ini tidak berinteraksi secara aktif dengan para pemuda yang berada di klub-klub olahraga.

Namun demikian, aku tetap aktif bermain bola bersama kesebelasan mahasiswa dan Zhaglul, serta berusaha menarik beberapa pemuda yang ada dalam klub olahraga ini agar bergabung dengan Jamaah Ikhwan. Namun, satu hal yang membuatku merasa berat mengajak mereka adalah di dalam ruangan jamaah ini, tidak ada kursi, meja makan, atau meja untuk menulis. Perabot yang ada di sana hanya selembar tikar, meja kecil dan pendek, beberapa buah buku dan Al Ma’tsurat. Gambaran kondisi seperti ini tentu tidak menarik bagi para pemuda untuk berada di dalamnya.

Pada saat kami ditimpa kekurangan dan kefakiran seperti itu, kami lalu sepakat untuk mengeluarkan infak bulanan sebesar 10 millieme (mata uang terkecil Mesir), dan kami juga membayar 5 millieme setiap minggu untuk membeli majalah Al Ikhwan Al Muslimun yang terbit setiap pekan.

Dalam situasi itu juga, Ustadz Ahmad Syukri, Wakil Ketua Umum Ikhwan, dipindahkan dari Kota Mahmudiyah sebagai sekretaris di Sekolah Dasar, di Rasyid. Ia sangat terkejut saat berkunjung ke sekretariat Ikhwan dan menyaksikan kondisi yang sangat memprihatinkan, yang kami alami. Ia lalu meminta kepada kami untuk mencari tempat yang lebih luas dan lapang daripada yang kami tempati sekarang, dan meminta agar kami membeli perabot yang lebih pantas dan layak. Ketika kami menjelaskan masalah dan kondisi keuangan kami yang kami hadapi bahwa hal tersebut di luar batas kemampuan kami, ia lalu mengatakan bahwa ia akan menyeru masyarakat Rasyid agar bergabung dengan jamaah ini, sehingga jumlah kas dan anggotanya dapat segera bertambah.

Ustadz Sukri kemudian menjelaskan kepada jamaah tentang sasaran dan tujuan dakwah Ikhwan dalam ceramah-ceramah yang ia sampaikan di beberapa masjid, khususnya saat khotbah Jum’at. Ia sendiri dikenal sebagai orator ulung dengan kalimat-kalimat yang sangat memikat dan dapat merasuk ke dalam hati setiap orang yang mendengarnya. Ia mampu mengguncang jiwa dan perasaan pendengaranya dengan suaranya yang jernih.

Beberapa minggu kemudian, orang-orang sudah mulai berdatangan untuk bergabung dengan jamaah Ikhwan. Kami pun mulai mampu menyewa sebuah rumah yang lebih lapang dan luas, yaitu rumah milik keluarga Al Jarim yang terdiri dari lima kamar. Di depan dan di samping rumah itu terdapat halaman yang cukup luas. Kami beli beberapa buah kursi, meja besar, dan beberapa meja kecil untuk menulis. Kami juga membeli selembar kain tenun yang kami tuliskan nama “Al-Ikhwam Al Muslimun Cabang Rasyid”. Di bawah tulisan itu terdapat bulan sabit dan di tengahnya mushaf. Itulah lambang jamaah Ikhwanul Muslimin ketika itu.

Suatu ketika, Pangeran Umar Pasha Thusun berkunjung ke kota Rasyid dan menyempatkan diri shalat Jum’at di masjid Abu Mandur. Ini adalah nama tempat rekreasi yang masyhur di Rasyid. Ketika itu Ustadz Sukri bertindak sebagai khatib. Setelah shalat, mereka berdua lalu bertemu, dan saat itu juga Gubernur Umar Pasha menyumbangkan beberapa buku sejarah tentang Sudan dan Mesir untuk Ikhwan. Itu adalah buku perdana yang mengisi perpustakaan jamaah ini.



[1] Beliau adalah Ustadz Mahmud Muhammad Abdul Halim, anggota pendiri organisasi Ikhwanul Muslimin, juga penulis buku Al-Ikhwan Al-Muslimun, Ahdats Shana ‘Athat Tarikh