Bersimpuh di Hadapan Allah

» وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِيْن غَيْرَ بَعِيْدٍ. هَذَا مَا تُوْعَدُوْنَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيْظٍ. مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيْبٍ. ادْخُلُوْهَا بِسَلاَمٍ ذَلِكَ يَوْمُ الْخُلُوْدِ. لَهُمْ مَا يَشَاءُوْنَ فِيْهَا وَلَدَيْنَا مَزِيْدٌ «

“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Dzat Yang Maha Pemurah padahal Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat, masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.” (QS. Qaf: 31-35)

Saudaraku,
Ramadhan telah berada di depan mata kita. Bulan bertabur pahala. Bulan berselimutkan rahmat dan ampunan. Bulan yang di dalamnya terdapat lailatul qadar. Jarak antara kita dengannya tinggal menyisakan kurang lebih enam hari lagi.

Ramadhan adalah momentum seorang hamba untuk kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia sebagai sarana untuk mengevaluasi diri. Sebagai ruang untuk berbenah dan melemparkan diri ke puncak prestasi ubudiyah. Sebagai batu loncatan untuk memecahkan rekor menjadi pribadi ‘Awwab’.

Saudaraku,
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, hamba Awwab maksudnya; kembali ke pangkuan Ilahi. Berpindah dari maksiat menuju taat. Berhijrah dari kelalaian kepada zikir kepada-Nya.

Ubaid bin Umair mendefinisikan hamba yang ‘Awwab’; orang mengenang dosa yang pernah diperbuatnya, lalu ia beristighfar kepada-Nya.

Sa’id bin Mussayib bertutur, “Awwab adalah orang yang berbuat dosa lalu bertaubat. Kemudian ia mungkin akan tergelincir dalam perbuatan dosa lagi dan ia terus memperbaharui taubatnya.’

Namun saudaraku,
Menjadi hamba ‘Awwab’ tentulah tidak semudah membalikkan telapak tangan kita. Perlu semangat baja untuk mendaki sampai ke puncak. Dibutuhkan nafas panjang dan teman setia dalam pendakian. Dan tentunya bekal yang memadai.

Pertama, bersungguh-sungguh berniat mengisi bulan suci dengan amal dan bakti.
Kesungguhan dan keseriusan dalam hal ini, yang menggerakan kedua tangan menengadah ke langit, memohon kepada Zat yang Maha kuat, Maha Kaya dan Maha sempurna dan Maha segala-galanya.

Muallah bin al-Fadhl berkata, “Salafus shalih, mereka berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon kepada-Nya sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba, agar dapat menjumpai bulan mulia ini dan memudahkan mereka untuk beribadah di dalamnya. Dan mereka berdo’a selama enam bulan setelah Ramadhan agar ibadah mereka selama di bulan suci ini diterima.”

Kedua, beristighfar dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kita diperintah untuk senantiasa bertaubat dan istighfar, karena tidak ada seorangpun di antara kita yang luput dari dosa-dosa dan maksiat. Apapun profesi, keadaan dan di mana pun kaki kita berpijak. Rasul s.a.w mengingatkan kita dengan sabdanya,

» كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ «

“Setiap keturunan Adam itu pastilah banyak melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi).

Saudaraku,
Dosa hanya akan mengasingkan seorang hamba dari taufiq Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga dia terhalang untuk beramal shalih. Ini merupakan salah satu dampak buruk yang tercipta dari dosa dan maksiat. Apabila ternyata hamba mau bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka prahara itu akan sirna dan Allah akan mengaruniakan taufiq kepadanya kembali.

Hakikat taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya adalah bertaubat kepada Allah dari seluruh jenis dosa, yang disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya ‘riyadhus shalihin’, taubat yang sempurna adalah taubat yang memenuhi empat syarat; meninggalkan maksiat, menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat, bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya. Dan seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia harus mengembalikan hak tersebut kepadanya, atau memohon maaf darinya.

Ketiga, memulatkan tekad untuk membentengi puasa Ramadhan kita dari segala hal yang dapat merusak pahala puasa.

Saudaraku,
Ada banyak factor, yang dapat menyebabkan pahala puasa kita menjadi rusak dan keutuhan pahalanya menjadi sirna tak berbekas. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini berkatagori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.

Rasulullah s.a.w mengingatkan kita dengan bahaya tersebut dalam sabdanya,

» مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ «

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, niscaya Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak membutuhkan puasanya).” (HR. Bukhari).

Orang yang menahan lisannya dari ghibah dan matanya dari memandang hal-hal yang haram ketika berpuasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih baik akibatnya daripada orang yang berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi.

Inilah realitas mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan kemaksiatan. Ibarat membangun sebuah kontrakan, tetapi ia hancurkan kembali sehingga menjadi puing-puing yang berserakan.

Oleh sebab itu para ulama merasa heran terhadap orang yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar melakukan tindakan yang terlarang dan mengandungi dosa.

Ibnu Rajab al-Hambali bertutur, Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan, minuman dan menyalurkan syahwat, ini sebenarnya hanya sekadar menahan diri dari hal-hal mubah yang diperbolehkan. Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya.

Di bulan suci ini tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya dibolehkan seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman; seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa. Allahul Musta’an.

Saudaraku,
Mari kita memohon kepada Allah, agar usia kita disampaikan kepada bulan Ramadhan yang hadir menyapa kita beberapa hari ke depan. Semoga kita mengisinya dengan ukiran amal shalih dan prestasi ubudiyah yang lebih baik serta waspada terhadap perkataan dan perbuatan yang dapat merusak pahala puasa kita. Amien. Wallahu a’lam bishawab.

Metro, 11 Juni 2015
Fir’adi Abu ja’far