Hari ini, ketika Anda sedang mempertimbangkan mengenai mahar dari suamimu, marilah kita mendengarkan nasehat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Dalam sebuah khotbahnya, Rasulullah menjanjikan, “Jangan mempermahal nilai maskawin. Sesungguhnya kalau laki-laki itu mulia didunia dan takwa di sisi Allah, maka Rasulullah sendiri yang akan menjadi wali pernikahannya. (HR Ash-habus Sunan).
Kalau Rasulullah menjadi wali pernikahan, Allah akan melimpahkan barakah-Nya. Mudah-mudahan pernikahan itu penuh barakah sampai ke anak-cucu. Mudah-mudahan dari pernikahan itu lahir anak-anak yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaha illaLlah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan mempersulit wanita-wanita yang dalam perwalianmu dengan mahar yang tinggi. Mudahkanlah, niscaya akan kamu dapati barakahnya. Karena dengan meringankan mahar mereka dan memberi jalan mudah untuk pernikahannya akan memperindah akhlak wanita itu. Namun sebaliknya, adalah kemalangan yang akan menimpa wanita (yang dalam perwalian)mu jika kamu memberatkan maharnya dan mempersulit pernikahannya dan itu dapat menyebabkan akhlaknya menjadi buruk.”
Peringatan Penting
Setiap yang berlebihan adalah ketidakwajaran. Setiap ketidakwajaran bisa mendatangkan keburukan (madharat) dan kerusakan (mafsadat). Mahar yang berlebihan bisa menimbulkan permusuhan. Permusuhan antara suami dan istri maupun permusuhan antar keluarga. Tetapi mahar yang terlalu sedikit bisa menyebabkan wanita merasa tidak dihormati dan dihargai. Sehingga ia tidak merasa hormat kepada suami.
Karena itu, mudah-mudahan kita bisa mencapai kemaslahatan dalam urusan mahar ini. Seperti wanita dari kaum Fuzarah, Anda bisa menanyakan kerelaannya jika Anda hendak memberikan mahar sederhana. Jika suku calon istri berbeda, menanyakan kerelaannya juga dimaksudkan agar istri tidak merasa kurang dihargai. Barangkali mahar dari Anda di luar kelaziman masyarakat setempat.
Wallahul Musta’an.
Jalinan Perasaan yang Barakah
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bilamana seorang wanita menyedekahkan maharnya kepada suaminya sebelum si suami menggaulinya, maka Allah menulis (kebaikan) baginya untuk setiap satu dinar dengan pahala membebaskan budak.”
Kemudian sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Lalu bagaimana jika hal itu diberikan setelah berhubungan?”
Beliau menjawab, “Hal itu termasuk kecintaan (mawaddah) dan keharmonisan.”
Menyedekahkan mahar kepada suami setelah merasakan hubungan intim, insya Allah akan menumbuhkan cinta dan keharmonisan. Mereka merasakan suasana rumahtangga yang diliputi oleh kerinduan dan kehangatan cinta-kasih. Bagi mereka sakinah (ketenteraman), mawaddah dan rahmah. Syaratnya, istri menyedekahkan dengan senang hati.
Dalam kitab suci Al Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan masalah maskawin (shadaq), antara lain: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS An-Nisa’ [04]: 4).
Jika Anda ingin menyerahkan sebagian mahar Anda kepada suami dengan senang hati dan penuh kerelaan, sampaikanlah dengan cara yang sebaik-baiknya. Sampaikan dengan perkataan yang menyejukkan dan lemah lembut, sehingga tidak membuat suami merasa pemberiannya kurang berarti. Ingatlah perkataan Ummu Sulaim kepada Abu Thalhah ketika hendak menikahinya. Mudah-mudahan mahar yang Anda sedekahkan kepada suami dapat menjadi pemberian yang sedap lagi baik akibatnya. Mudah-mudahan Allah melimpahkan kebarakahan yang berlimpah.
—
Tuntutan psikis yang tinggi
menjadikan apa yang dipandang selalu kurang.
Kalau Anda memakai kacamata gelap,
matahari yang terang pun kelihatan redup!
—
Peringatan bagi Suami
Allah dan Rasul-Nya membolehkan wanita menyerahkan maharnya kepada suami dengan penuh kerelaan. Di dalamnya, insya-Allah akan didapatkan keindahan dan akibat yang baik.
Tetapi, ini tidak bisa menjadi alasan bagi suami untuk mendesak istri agar menyerahkan mahar yang telah dibayarkan. Tidak. Sama sekali tidak bisa. Sebab, syarat penyerahan mahar adalah kerelaan dengan senang hati. Bisa jadi istri menyerahkan mahar yang telah diterima karena desakan suami, tetapi ia masih berharap akan memperoleh kembali sekalipun ia tidak mengatakan. Yang demikian ini termasuk beratnya hati. Bukan kerelaan. Bukan tindakan dengan senang hati.
Istri yang menyerahkan dengan senang hati, bisa jadi mempunyai harapan akan mempunyai perhiasan. Tetapi bentuk pengharapannya berbeda. Ia mengharap karena ada rasa yakin. Kalau suami dilapangkan rezekinya, ia akan dengan senang hati memberikan perhiasan seperti yang dikehendaki.
Jadi, jangan sekali-kali mendesak istri untuk menyerahkan maharnya sebagai pemberian kepada suami. Ingatlah peringatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang disampaikan di hari-hari terakhir menjelang wafatnya.
Kata Rasulullah, “Barangsiapa menikahi seorang perempuan dengan harta yang halal, tetapi menginginkan kemegahan dan kesombongan, Allah tidak akan memberinya bekal kecuali kehinaan dan kerendahan. Sesuai dengan kadar kesenangannya, Allah akan menyuruhnya berdiri di tepian jahannam dan kemudian jatuh ke dalamnya sejauh tujuh puluh kharif (ukuran panjang). Siapa yang merampas mahar istrinya (atau tidak membayarnya) di sisi Allah ia menjadi pezina. Allah akan berkata kepadanya di hari kiamat, “Aku menikahkan kamu kepada hamba-Ku dengan perjanjian-Ku. Engkau tidak memenuhi perjanjian itu.” Allah akan menagih hak istrinya dan bila ia tidak sanggup membayar dengan seluruh kebaikannya, ia dilemparkan ke neraka.”
Betapa sedikit perolehannya. Betapa pedihnya neraka. Tak ada kesempatan untuk bertemu dan melihat keramahan Rasulullah di yaumil-mahsyar bagi mereka yang merampas mahar istrinya. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga kita terhindar dari halhal yang demikian.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingatkan, “Siapa saja laki-laki mengawini seorang wanita dengan mahar sedikit atau banyak, tetapi di dalam hatinya bermaksud tidak akan menunaikan apa yang menjadi haknya itu kepadanya, berarti ia mengecohnya. Bila ia mati sebelum menunaikan hak perempuan itu, maka kelak pada hari kiamat ia akan bertemu dengan Allah sebagai orang yang berzina. (HR Thabrani).
Seorang suami terlarang mencari-cari alasan untuk menyudutkan istrinya sehingga ia mendapat kesempatan untuk tidak memberi maskawin. Suami juga tidak boleh menarik kembali maharnya dengan alasan apapun. Istri boleh menyedekahkan sebagian maharnya kepada suami. Meskipun demikian, itu harus merupakan pemberian yang penuh kerelaan dan senang hati. Memberi dengan penuh kerelaan.
Bukan atas desakan-desakan suami yang dapat menyebabkan istri terbebani secara psikis, karena dalam hati ia merasa tidak rela.
Ini tidak boleh terjadi. Ini justru bisa menjadikan istri tidak hormat pada suami. Sekaligus merupakan bibit nusyuz (pembangkangan) istri kelak di kemudian hari. Alhasil, keluarga jauh dari barakah dan sakinah. Na’udzubillahi min dzalik. Sekali lagi, suami tidak boleh menimbulkan situasi yang membuat istrinya merasa sungkan atau tidak enak kalau tidak memberikan maharnya. Mari kita perhatikan nasehat Abdul Hamid Kisyik, “…. Dengan kata lain berikanlah mahar kepada wanita yang telah kamu pilih sebagai pemberian penuh kerelaan tanpa tendensi dan pamrih. Kemudian jika mereka memberikan sebagian dari mahar itu kepadamu setelah mereka miliki tanpa paksaan sedikit pun ataupun merasa malu dan tertipu maka terima dan ambillah itu sebagai anugerah bukan dianggap sebagai suatu hal yang menyedihkan atau suatu kesalahan.
“Apabila seorang istri memberikan hartanya kepada suaminya karena merasa sungkan, takut atau terpaksa maka tidak halal bagi suami untuk mengambilnya, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? (QS An-Nisa’:20). Bagaimana kamu akan dapat mengambilnya kembali padahal kamu telah menggaulinya sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil darimu perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalizha). (QS An-Nisa’: 21).”
Mahar adalah hadiah. Sedangkan hadiah dapat menumbuhkan dan menguatkan perasaan sayang dan cinta-kasih, seperti yang disinyalir oleh sebuah hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Berikanlah hadiah, itu akan menumbuhkan dan memperkuat rasa cinta.”
Hak Atas Mahar
Sekalipun pembahasan ini kurang relevan, tapi saya harus membicarakannya agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami pembicaraan saya sebelumnya. Di awal sub bab Berlebihan Menuntut Mahar saya telah mengatakan, “Padahal mahar merupakan hak penuh wanita yang menikah. Ia yang memiliki mahar itu dan baginya mahar yang dibayarkan suaminya. Bukan bagi keluarga maupun orangtuanya.”
Maksud pembicaraan ini, ketika berlangsung pernikahan wanitalah yang berhak atas mahar itu, termasuk kerelaan atas sedikitnya banyaknya jumlah mahar yang diterima. Hak ini ada pada wanita yang akan menikah dan baginya mahar tersebut. Bukan keluarganya.
Tetapi setelah menjadi hak penuh wanita, ia boleh memberikan kepada sebagian keluarganya. Atau, ia menyimpan sendiri.
Mudah-mudahan pembicaraan singkat ini memberi kejelasan, sehingga tidak ada jalan bagi mereka yang ingin memberat-beratkan mahar melalui anak gadisnya.
Mari kita ingat peringatan ‘Abdul Hamid Kisyik, seorang ulama Mesir yang memiliki pena tajam. Beliau berkata, “Jika mahar dibuat mahal, akhirnya menyebabkan kerusakan dan keresahan di muka bumi. Hal ini tidak lagi maslahat untuk ummat. Karena itu, wanita yang paling sedikit maharnya justru memiliki keagungan dan akan mendapat kebarakahan yang amat besar.”