Bid’ah (Inovasi dalam Agama)

Sikap pemikiran yang perlu dipertegas adalah sikap Islam tentang inovasi (ibda’) sebab sebagian orang –dikarenakan berbaik sangka dan juga boleh jadi berburuk sangka terhadap Islam– memandang secara salah terhadap visi Islam tentang inovasi. Sangat disayangkan, pandangan salah ini, baik secara fanatik kepada Islam maupun fanatik memusuhinya, berangkat dari pemahaman yang salah dalam menafsiri hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya sebenar-benar pembicaraan adalah Kitab Allah; sesungguhnya petunjuk yang paling mulia adalah petunjuk Nabi Muhammad; seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru yang dibuat (perkara agama yang tidak diajarkan). Padahal setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah suatu kesesatan dan setiap kesesatan (tempatnya) di neraka.” (Muslim, An Nasai, Abu Daud, Ad Darami, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad)

Bertolak dari hadits ini, sebagian orang mengira bahwa Islam mengharamkan setiap bentuk inovasi, setiap hal yang baru, dan setiap hal yang diciptakan tanpa membedakan antara inovasi yang bertentangan dan menyalahi Kitab dan Sunnah, yaitu bid’ah yang bertentangan dengan apa yang harus diikuti dan inovasi yang mendapat pujian dalam olah nalar manusia serta kreativitas pembangunan ‘umran, bahkan inovasi dalam masalah-masalah keutamaan agama yang tidak menyalahi ajaran yang terkandung dalam hadits dan Kitab Allah, bahkan lebih dari itu, tidak disadari bahwa cakupan Kitab Allah dan sunnah rasul-Nya atas semua itu tidak menafikan keutamaan semua yang belum dijelaskan dalam kedua sumber pokok agama ini.

Karena masalah ini merupakan salah satu persoalan besar dan persoalan dalam pemikiran Muslim modern, maka polemik sekitar masalah inipun kian bertambah seru. Oleh sebab itu, ia membutuhkan penegasan dan penjelasan yang diawali dengan langkah-langkah dari pokok-pokok dan akar-akarnya.

lbda’ sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama dan pakar Al Quran adalah membuat karya baru tanpa meniru dan mengikuti (yang lain). Definisi ini dapat ditemukan dalam kamus-kamus Bahasa Arab. Kata: Bada’a asy-syai’, yabda’uhu bad’an wa ibtada’ahu berarti mengadakan dan memulai sesuatu, menemukan sesuatu yang tidak ada pendahulunya, tanpa contoh. Jadi, kata ibda’ berarti mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada pendahulunya dan rekayasa yang tidak ada contoh sebelumnya, baik itu rekayasa pemikiran maupun rekayasa produk karya sesuatu.

Akan tetapi para pakar terminologi dalam peradaban kita, membedakan ibda’ ini antara bid’ah (mengadakan sesuatu) dalam agama dan pengadaan dan penemuan dalam pemikiran manusia yang tidak seorangpun mengatakan tertutup pintu-pintu ibda’ di dalamnya, karena pemikiran adalah buah wujud kreativitas yang senantiasa ada dan senantiasa berubah-ubah. Sedangkan pemikiran adalah ciptaan manusia yang muncul sebagai buah berpikir. Sementara agama adalah wahyu Ilahi bukan buah dan fikiran sehingga agama tidak dinamakan suatu “pemikiran” melainkan “ilmu Ilahi”, bukan pemikiran manusia. Betapa jauh perbedaan antara ‘ilmu Ilahi’ yang merupakan sebab bagi keberadaan alam wujud ini dan “pemikiran manusia” yang merupakan musabab dari alam wujud ini, yang bersifat berubah-ubah, berkembang dengan perubahan dan perkembangan alam wujud ini. Para pakar terminologi linguistik dan teknis membedakan antara inovasi pemikiran dan bid’ah dalam agama, ketika mereka mendefinisikan bahwa bid’ah ini bersifat baru dan merupakan sesuatu yang diadakan dalam urusan agama setelah sempurna.

Jika tajdid adalah salah satu hukum sosial agama dan sistem pemikiran Islam, dan senantiasa aktif sepanjang masa dan di segala tempat, tidak ada penggantian dan tidak ada pemindahan bagi hukum ini, yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika bersabda:  “Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbarui urusan agamanya.” (Abu Daud)

Maka tajdid tidak mungkin terjadi kecuali merupakan buah dari ibda’. Jika ijtihad adalah satu ketentuan Islam, yang erat kaitannya dengan kelangsungan dasar-dasar syari’ah dapat senantiasa memberi dan membuahkan pembedaan persoalan-persoalan yang menyertai perkembangan dan perubahan baru sepanjang jaman dan di segala tempat, maka ijtihad ini; yang berbeda dari satu imam ke imam yang lain; dan satu madzhab ke madzhab yang lain; dan satu masa ke masa yang lain, tentulah merupakan hasil dari ibda’ dan mengandung unsur ibda’.

Antara ibda’ dalam pemikiran dan karya nyata, yakni dalam peradaban dan ilmu-ilmunya –baik hukum maupun sipil– di satu sisi dan bid’ah dalam agama, yakni dalam ketentuan-ketentuannya yang telah sempurna dengan berakhirnya wahyu dan kenabian, di sisi lain adalah dua hal yang jelas perbedaannya, tidak seorang ulama pun yang memperdebatkan. Bahkan para imam umat Islam beserta para fuqahanya –dari semua madzhab yang ada– membedakan antara bid’ah dalam agama yang bertentangan dengan Kitab dan sunnah yang merupakan satu bid’ah sesat, yang dilarang pengadaannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam agama; dan bid’ah al-huda yang tidak bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh Kitab dan Sunnah. Jika tidak diajarkan secara terperinci oleh Al Quran atau hadits dan di dalamnya masuk keutamaan-keutamaan dan berbagai jenis amal yang ma’ruf yang diadakan oleh manusia, meskipun tidak digariskan oleh Al Quran maupun hadits, lalu dengan keutamaan berbagai jenis perbuatan ma’ruf itu tercapai tujuan-tujuan agama meskipun tidak diajarkan secara terperinci oleh Al Quran dan sunnah Nabi, maka itu adalah suatu ibda’ yang mewujudkan tujuan-tujuan agama. Di sinilah letak perbedaan antara bid’ah yang sesat dan bid’ah yang terpuji (mahmudah). Imam Asy Syafi’i (767-820) mengatakan: “Bid’ah adalah sesuatu yang diadakan dan bertentangan dengan Kitab atau sunnah atau ijma’ ulama atau atsar. Bid’ah ini adalah bid’ah dhallah (sesat). Sedangkan sesuatu yang diadakan berupa kebaikan dan tidak bertentangan sama sekali dengan itu semua maka ia adalah bid’ah mahmudah (terpuji). Jadi bid’ah yang merupakan suatu kesesatan dan (sanksinya) di neraka, bukanlah mengadakan hal-hal baru yang belum disebutkan oleh wahyu dan belum dijelaskan oleh sunnah, melainkan ia adalah yang bertentangan dengan apa yang dibawa oleh Al Quran dan sunnah. Sebab wahyu ilahi dan sunnah Nabi tidak memberi batasan –secara tekstual umum maupun terperinci– segala sesuatu yang terpuji. Oleh sebab itu, di sana terdapat pintu-pintu ibda’ untuk mengadakan hal-hal yang terpuji dan ibda’ yang dilarang yaitu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syari’ah dan hukum-hukum agama.”

Imam Syafi’i juga para imam Islam lainnya, tidak mengadakan pembedaan ini: antara bid’ah yang sesat dan bid’ah yang terpuji, melainkan pembedaan ini adalah satu jalan yang dikenal dalam ijtihad-ijtihad para sahabat dan merupakan penerimaan Khulafa ar-Rasyidin atas tujuan-tujuan yang disyari’atkan dalam beramal shalih yang tidak bertentangan dengan nash-nash serta aturan-aturan yang baku meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash-nash dan aturan-aturan ini.

Di antara yang diriwayatkan oleh para Imam dalam masalah ini adalah ibda’ Umar bin Khattab ra ketika ia mengumpulkan kaum Muslimin untuk melakukan shalat tarawih berjama’ah dan secara teratur, yang mana hal demikian belum pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sebab beliau kadang-kadang melakukan shalat tarawih dan kadang-kadang tidak. Kemudian beliau juga tidak mengumpulkan kaum Muslimin untuk shalat tarawih berjama’ah. Lalu Umar bin Khattab datang, menjadikannya sebagai ibadah ritual pada setiap malam Ramadhan dan mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih secara berjama’ah. Bahkan, ia menamakan apa yang ia lakukan ini bid’ah seraya berkata:

“Inilah sebaik-baik bid’ah!” (Bukhari dan Imam Malik dalam kitab Al Muwaththa’)

Para Imam meriwayatkan ini dan menjadikannya sebagai bukti tentang adanya bid’ah mahmudah yang berbeda dengan bid’ah dhalalah madzmumah (bid’ah sesat tercela); tentang keharusan membedakan antara bid’ah dan ibda’, hingga pada masalah-masalah agama sekalipun. Izzuddin Ibnu Al Atsir (1160-1233) umpamanya, berbicara tentang bid’ah dengan mengemukakan: “Bid’ah ada dua jenis, bid’ah huda dan bid’ah dhalalah. Maka bid’ah yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah bid’ah yang masuk kategori tercela dan ditolak. Sedangkan bid’ah yang berada di bawah keumuman apa yang diperintahkan dan dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka ia adalah bid’ah yang masuk kategori terpuji. Bid’ah yang belum ada contohnya (yaitu ibda’: mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya), seperti jenis kemurahan hati dan kedermawanan serta perbuatan-perbuatan terpuji, dan yang demikian itu tidak boleh bertentangan dengan apa yang ada dalam syara’. Sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menjadikan yang demikian itu satu pahala dengan sabdanya: “Barangsiapa membuat satu sunnah hasanah (yang baik) maka ia mendapat pahala (atas sunnah yang ia buat itu) dan juga pahala orang yang mengerjakannya.” Beliau juga bersabda: “Dan barangsiapa membuat satu sunnah sayyi’ah (yang buruk) maka ia mendapat beban balasan dan juga beban balasan orang yang mengerjakannya.” (Muslim, an-Nasai, dan Imam Ahmad). Yang demikian itu (sunnah sayyi’ah) apabila bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Selanjutnya Ibnu Al Atsir menegaskan pandangannya dengan landasan riwayat dari Umar bin Khattab, dengan mengemukakan: “Di antara jenis ini, ucapan Umar ra: Inilah sebaik-baik bid’ah!” Karena ini termasuk kategori layak mendapat pujian dan ia menamakannya bid’ah, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menggariskan itu kepada umatnya melainkan beliau melakukan shalat tarawih pada malam-malam Ramadhan tetapi kadang-kadang tidak melakukannya secara teratur dan tidak pula mengajak kaum Muslimin melaksanakan shalat ini secara berjama’ah, begitu pula di masa Abu Bakar ra. Hanya Umar bin Khattab yang mengajak mereka melakukannya secara berjama’ah serta mensunatkannya. Lalu dengan demikian itu ia menyebutnya bid’ah. Maka hadits yang mengatakan: “setiap hal baru yang diadakan adalah bid’ah,” dipahami sebagai bid’ah yang bertentangan dengan dasar-dasar syari’ah dan tidak sesuai dengan sunnah.”

Berdasarkan pada manhaj ini, dalam fiqih dibedakan –tentang bid’ah dalam agama– antara yang sesat dan tercela dan bid’ah huda yang terpuji yang merupakan ibda’ dan ibtida’ dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan Kitab maupun Sunnah. Berdasarkan pada manhaj ini, dalam fiqih dan pemahaman mendalam, para ulama memberlakukan kelima hukum: wajib, haram, sunat, makruh dan mubah terhadap setiap ibda’ dan ibtida’.

Merupakan suatu kewajiban mengadakan dan melakukan penemuan ilmu-ilmu yang mana melaksanakan tugas-tugas agama dan tugas-tugas kekhalifahan manusia di muka bumi tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan ilmu-ilmu tersebut, baik yang bersifat keagamaan maupun umum. Adalah diharamkan mengadakan hal-hal yang bertentangan dengan perintah-perintah syara’ serta larangan-larangannya. Dianjurkan mengadakan sesuatu yang disunahkan dan dipandang baik oleh agama dan yang bermanfaat. Adalah makruh mengadakan sesuatu yang mengakibatkan timbulnya hal-hal yang tidak disukai menurut agama maupun menurut pertimbangan keduniaan. Adalah mubah (boleh) mengadakan segala sesuatu yang masuk dalam kategori dibolehkan dalam agama dan pertimbangan keduniaan.[1]

Jika ibda’, hingga dalam kerangka agama sekalipun, terbuka bagi masalah-masalah yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama dan hukum-hukum syari’ah, maka lebih terbuka lagi dalam masalah-masalah siasat dunia dan urusan pemakmurannya. Yang menarik perhatian dan mengundang pemikiran, dalam hal ini, adalah bahwa yang demikian itu bukanlah suatu titik perselisihan di antara para fuqaha dan madzhab-madzhab Islam. Bahkan para ulama “aliran atsar” sekalipun –yang sebagian besar merasa keberatan menggunakan qiyas, pendapat, dan ta’wil sebagai jalan pengamatan, pembenaran dan perumusan kesimpulan hukum– membuka pintu untuk ibda’ dalam masalah-masalah politik. Lebih dari itu, mereka juga menjadikan politik yang dihasilkan oleh penalaran akal manusia sebagai bagian dari siyasah syar’iyyah (politik hukum syari’ah) meskipun tidak tertulis dalam Kitab ataupun sunnah, selama tidak bertentangan dengan apa yang terkandung dalam kedua sumber pokok Islam tersebut. Mereka menganjurkan ibda’ yang sejalan dengan semangat syari’ah, tidak cukup hanya dengan apa yang dikatakan oleh syara’.

Suatu saat pernah terjadi debat antara Imam Salafi Abu al-Wafa Ali bin Aqil Muhammad bin Aqil al-Baghdadi (1040-1119 M) dengan salah seorang ahli fiqih madzhab syafi’i. Ibnu Aqil mengemukakan dalam penjelasannya mengenai pengertian yang benar atas ucapan kata-kata ahli fiqih madzhab syafi’i ini: “tidak ada politik selain yang berkesesuaian dengan syara’.”

“Politik, adalah perbuatan yang mana manusia dengan perbuatan ini menjadi lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak pula oleh wahyu. Jika yang Anda maksud dengan kata-kata Anda itu: ‘tidak ada politik selain yang berkesesuaian dengan syara’ adalah yang tidak bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh syara’ maka kata-kata Anda itu benar. Akan tetapi jika yang Anda maksud adalah tidak ada politik selain yang dikatakan oleh syara’ maka kata-kata Anda itu salah dan menganggap para sahabat salah. Sebab Khulafa’ ar-Rasyidin pernah menganut suatu pendapat yang didasarkan pada kemaslahatan yang tidak dibicarakan oleh syara’.”

Ibnu Al Qayyim (1292-1350 M) memberi analisis terhadap arti penting masalah ini serta bahaya pengaruh yang diakibatkan perselisihan di dalamnya, dengan mengatakan: “Ini pendapat yang menggelincirkan pijakan kaki, yang menyesatkan pemahaman, dan adalah tempat sempit di titik sulit yang di dalamnya sekelompok orang melakukan kesalahan dengan meniadakan batas-batas, menyia-nyiakan hak-hak, dan orang-orang jahat nekad melakukan kerusakan, mereka menjadikan syari’at terbatas tidak berfungsi untuk kemaslahatan manusia, mereka menutup jalan-jalan mereka sendiri yang benar yang membedakan antara yang haq dan yang bathil. Mereka meniadakan itu semua, padahal mereka mengetahui dan orang-orang pun mengetahui bahwa itu adalah dalil-dalil yang benar karena mereka menyangka bahwa itu bertentangan dengan qaidah-qaidah syara’. Hal yang menyebabkan mereka bersikap demikian adalah karena kurangnya pemahaman akan hakekat syari’ah dan penerapannya antara realitas dan aturan syari’ah. Sesungguhnya Allah telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar manusia menegakkan keseimbangan langit dan bumi. Apabila telah tampak tanda-tanda kebenaran, bukti-bukti keadilan telah berdiri dan fajarnya pun telah menyingsing, maka itulah syari’at Allah, agama-Nya, keridhaan-Nya, dan urusan-Nya. Allah tidak membatasi jalan-jalan keadilan, bukti-buktinya dan tanda-tandanya pada satu jenis jalan dan meniadakan jalan-jalan lainnya yang lebih kuat dan lebih nyata, melainkan Dia menjelaskan jalan-jalan yang telah digariskan dengan tujuan menegakkan kebenaran dan keadilan di samping agar manusia melaksanakannya dengan adil. Maka jalan manapun yang membuahkan kebenaran dan memberi pengetahuan tentang keadilan wajib ditempuh. Jalan-jalan ini adalah sarana dan prasarana yang tidak dimaksudkan untuk jalan itu sendiri melainkan yang dimaksud adalah ujung akhirnya yang merupakan tujuan. Akan tetapi Allah mengingatkan dengan jalan-jalan yang telah digariskan itu kepada jalan-jalan lainnya. Dan tidak akan ditemukan satu jalanpun yang menetapkan kebenaran kecuali ia merupakan jalan yang menunjukkan kearah sana. Apakah dapat dibayangkan bahwa syari’ah yang sempurna ini menunjukkan sebaliknya?!”

Tidak dapat dikatakan bahwa politik yang adil bertentangan dengan syari’ah, tetapi ia adalah bagian dari syari’ah dan salah satu pintunya. Sedangkan penamaannya dengan istilah “politik” hanyalah sekedar sebuah istilah. Jika politik itu adil maka ia adalah bagian dari syari’ah. Sebab itu ada dua jenis: politik zalim yang diharamkan oleh syari’ah dan politik yang adil yang mengeluarkan kebenaran dari orang yang zalim dan jahat, ia merupakan bagian syari’ah, diketahui oleh orang yang mengetahui dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahui. Inilah salah satu dasar pokok yang paling penting dan paling bermanfaat.”[2]

Inovasi Islam di bidang politik tidak hanya dibutuhkan melainkan juga –bilamana dapat mewujudkan keadilan– bagian dari syari’ah yang sempurna dan salah satu pintunya hingga meskipun tidak terdapat dalam Al Quran maupun sunnah. Jika inovasi ini bertentangan dengan apa yang digariskan oleh Allah atau Rasul-Nya maka yang demikian adalah bid’ah yang sesat dan tercela di mata Islam. Sedangkan inovasi yang berada di bawah keumuman apa yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka ia masuk kategori terpuji, begitu pula jika tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya, hingga meskipun tidak terdapat wahyu ataupun hadits.

Jika memakmurkan bumi adalah tujuan besar di balik pemberian tugas kekhalifahan (istikhlaf) manusia dari Allah, maka rekayasa manusia dalam berbagai bidang kehidupan dan peradaban manusia masuk kedalam jalan-jalan dan perangkat-perangkat yang bersifat niscaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan istikhlaf ini dengan syarat inovasi ini tidak bertentangan dengan prinsip baku agama dalam Al Quran maupun sunnah.

Karena umat Islam telah sepakat dalam membolehkan memberi atribut “ilmu” dan “alim” kepada manusia padahal keduanya termasuk sifat Allah yang laitsa kamitslihi syai’ (tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya): tidak pada dzat dan tidak pula pada sifat. Yang demikian itu berangkat dari satu kesadaran dari mereka pada kandungan dan pengertian dalam sifat ini, ketika sifat ini dinisbahkan kepada Allah dan ketika dinisbahkan kepada manusia. Sebab ilmu Allah bersifat universal mutlak, menyeluruh dan menjadi penyebab adanya segala yang ada. Sedangkan ilmu manusia bersifat parsial, nisbi, diketahui, perolehan akibat dari alam wujud.

Karena kaum Muslimin melakukan demikian tanpa keengganan, maka para ulama diketahui membedakan antara ibda’ Ilahi: — “Allah adalah pencipta langit dan bumi” (al-Baqarah: 117)– dan ibda’ manusia, dengan mengatakan: “sesungguhnya ibda’ apabila dikenakan pada Allah maka berarti mengadakan sesuatu tanpa alat, tanpa materi, tanpa waktu, dan tanpa ruang. Hak yang demikian itu hanya milik Allah.”[3] Sedangkan manusia menggunakan alat, materi dan dia terikat oleh ruang dan waktu.

Demikianlah keistimewaan visi Islam dalam masalah ini dengan keberanian dan ketelitian, bila tidak terikat dengan batas-batas terminologi, melainkan pada inti perbedaan-perbedaan dalam kandungan istilah serta pengertiannya. Lalu menjaga, pada tingkat tertinggi, terhadap pelepasan atribut atau membuang sifat-sifat dzat ilahiah. Pada saat yang sama Islam membuka pintu selebar-lebarnya bagi semua manusia Muslim untuk melakukan ibda’ dalam bidang-bidang yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum yang ditegaskan oleh Al Quran maupun sunnah.



[1] Lihat ar-Raghib al-Ishfahani, dalam al-Mufradat fi Gharib al-Quran, entry: badi’a, Kairo 1991, dan at-Tahawuni, dalam Kasysyaf isthilahat al-Funun, India 1891, juga Ibnu Manzhur dalam Lisan al-Arab, Dar al-Ma’arif, Kairo t.t.

[2] Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muqi’in, juz 4, hal: 372, 375, Beirut 1973, juga ath-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar iyyah, hal: 17-19, ed: DR. Jamil Ghazi, Kairo 1977.

[3] Al-Mufradat fi Gharib al-Qur an. Op cit .