Menegakkan wajah dan mempertahankan kehormatan pribadi di atas kemiskinan yang panjang, bukanlah perkara gampang. Tapi bertahan dalam kemiskinan yang panjang di tengah gemerlap dunia materi dengan tetap mempertahankan tingkat produktivitas ilmiah yang tinggi, tentu saja jauh lebih sulit.
Tapi itulah inti semua tantangan yang dihadapi para ulama pewaris nabi. Itu akan menjadi lebih rumit bila mereka hidup pada suatu masa di mana para penguasa bersikap anti ulama, meremehkan peranan ilmu pengetahuan, dan suka merendahkan ulama. Kemiskinan adalah pilihan hidup mereka, tapi kehormatan adalah tameng mereka.
Masalahnya adalah bahwa sebagian dari kehormatan itu harus dipertahankan dengan materi atau harta. Harta itu sendiri tidak secara langsung berhubungan dengan produktivitas dalam dunia mereka. Tapi itulah masalahnya: harta, kata Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, adalah sumber kebanggaan manusia dalam hidup. Maka, perintah menjadi kaya beralasan di sini: agar kita juga memiliki kebanggaan itu, agar kita dihormati dalam pergaulan masyarakat.
Bisnis adalah jalannya. Itu sebabnya kita menemukan para ulama besar yang juga pebisnis. Abu Hanifah, misalnya, adalah pengusaha garmen. Beliau bahkan membiayai hidup sebagian besar murid-muridnya. Itu membuat beliau terhormat di mata para penguasa, relatif untoucheble.
Tapi itu juga memberikan beliau kedalaman dalam fiqih, khususnya dalam bidang muamalah. Beberapa literatur awal dalam masalah keuangan regara kemudian lahir dari tangan inurid beliau. Misalnya, Kitab Al Kharaj yang ditulis Abu Yusuf. Untuk sebagiannya, pemikiran ekonomi Islam pada mulanya diwarisi dari fiqih Abu Hanifah.
Walaupun begitu, popularitas mereka tidak datang dari kekayaan mereka yang melimpah ruah. Sebab, bisnis tidak boleh mengganggu ‘bisnis’ mereka yang lain.
Sebab, mereka hanya ingin menjadi orang bebas dengan bisnis itu. Sebab, mereka hanya ingin mempertahankan kehormatan mereka dengan bisnis itu. Itu berarti bahwa mereka harus mampu mengelola bisnis paruh waktu dengan sukses.
Demikianlah kejadiannya. Suatu saat Abdullah Ibnul Mubarak, maha guru para ahli zuhud, ulama dan perawi hadits yang tsiqah, jago panah dan petarung sejati, ditanya tentang mengapa beliau masih berbisnis. Beliau yang terlibat dalam sebagian besar pertempuran di masa hidupnya, menulis beberapa buku monumental seperti Kitab Al Zuhd, memang dikenal sebagai seorang pebisnis yang sukses. Namun, beliau hanya menjawab dengan enteng.
“Aku berbisnis untuk menjaga kehormatan para ulama agar mereka tidak terbeli oleh para penguasa.“