Cabang Ikhwan di Gharbal dan Al Qubara

Salah seorang akh ternyata bekerja sebagai tukang catat di salah satu pabrik penggilingan gandum. Ia bernama Abdur Razzak Hamad. Semangat dan afiliasinya yang tinggi terhadap Jamaah Ikhwan mendorongnya untuk memasang sebuah spanduk di salah satu jendela rumahnya di komplek Gharbal, bertuliskan “Cabang Ikhwan di Gharbal”. Padahal, rumah yang ia tempati hanya terdiri dari satu kamar, sehingga kami cukup tahu diri untuk tidak menggunakan kediamannya sebagai ruang pertemuan. Oleh karena itu, kami mulai berpikir untuk menyewa sebuah rumah atau apartemen sederhana di komplek Al Bab Al Jadid, di salah satu perempatan jalan Umar bin Khaththab.

Tak berselang lama, kami berhasil menemukan tempat yang cukup sederhana dan terdiri dari dua kamar dengan lantai yang sudah disemen. Di dalamnya terdapat sebuah tangga yang menghubungkannya dengan lantai atas. Kami lalu membeli beberapa buah kursi dan sebuah meja sederhana.

Setelah semua persiapan selesai, kami lalu mengirim surat kepada Mursyid ‘Amm agar mengirim seorang wakilnya untuk membuka cabang baru yang telah kami persiapkan di Gharbal. Beliau lali mengirim Ustadz Abdul Hakim Abidin ̶ semoga Allah merahmatinya ̶ mantan mahasiswa di Fakultas Adab, Universitas Fuad.

Kami lalu menyebarkan undangan dan selebaran untuk menghadiri acara pembukaan cabang ini, dan akhirnya dihadiri lebih dari 30 orang undangan. Pada hari berikutnya, Organisasi Ahlus-Sunnah Al Muhammadiyah juga mengundang Ustadz Abidin untuk menyampaikan ceramahnya di salah satu rumah yang terletak di dekat Cabang Ikhwan yang baru. Acara itu kami mulai dengan melantunkan beberapa bait syair Ikhwan. Akan tetapi, salah seorang anggota perkumpulan itu keberatan dengan bait syair tersebut, karena dimulai dengan kalimat “Ya Rasulallah.” Ini bertentangan dengan pemahaman mereka terhadap prinsip-prinsip akidah Islam.

Sejak kedatangannya di Iskandariah, aku selalu menemui Ustadz Abdul Hakim Abidin dalam setiap kunjungan dan ceramahnya di beberapa masjid, di kota Iskandariah. Ia juga mampir sebagai tamu di rumahku dan menghadiahkan sebuah buku dari kumpulan syairnya Al–Bawakir.

Pagi hari setelah shalat subuh, aku keluar untuk membeli makanan buat sarapan, namun aku tidak menemukan satu warung pun milik seorang muslim atau penduduk pribumi Mesir yang telah siap melayani pelanggannya. Kebanyakan pedagang makanan saat itu adalah warga asing. Aku pun mengeluhkan masalah ini kepada Ustadz Abidin. Beliau berkata bahwa sudah selayaknya kita membeli setiap kebutuhan kita dari sesama muslim.

Ketika aku berkata bahwa kaum muslimin di sini tidak bersungguh-sungguh menjaga dan memperhatikan masalah kebersihan, ia berkata bahwa tugas kita adalah membimbing mereka agar memiliki sifat-sifat positif seperti ini sesuai dengan kemampuan kita. Karena kita tidak membeli dari mereka (pedagang muslim), hal tersebut akan menjadi penyebab mereka tetap berada dalam kondisi dan situasi seperti itu, terperangkap dalam kemiskinan dan kebodohan dalam pergaulan sosial. Dan, agama ini adalah nasihat untuk kaum muslimin.

Pada masa itu juga, Akh Mahmud As-Sa’duni menyewa sebuah sekolah swasta yang terletak di dekat masjid Al Qubara. Di sana, kami bertemu setiap sore, pada hari Kamis, dan seorang Akh tampil memimpin acara pertemuan tersebut. Satu hal yang kami lakukan dan dianggap aneh adalah memilih untuk berjalan kaki dari Muharram Bek ke sekretariat cabang di Qubara, dan pulang dengan cara yang sama. Namun demikian, kami merasa lebih berbahagia ketika berangkat dan pulang bersama-sama sambil berjalan kaki.

Kami merasa bahwa bekal kekuatan kami ketika itu adalah ceramah yang disampaikan seorang akh di cabang, rekreasi bersama, dan menanti kedatangan Majalah Al Ikhwan dengan kerinduan yang selalu membuncah di dada kami. Demikian pula dengan pelajaran yang disampaikan di Masjid Al Ardhi di Al Mansyiah yang tidak pernah kami lewatkan sekalipun, serta pertemuan hangat yang selalu kami rindukan bersama dengan saudara-saudara kami di rumah keluarga Asy-Syarbini di Ra’sit Tiin dan di cabang Al Bab Al Jadid.