Dulu kita kemukakan bahwa logika dan akal fikiran — sekarang juga demikian — menjadi bukti utama atas kebenaran Nabi Muhammad Rasulullah, ketika ia berkata “Sesungguhnya aku ini Rasulullah!” Tidaklah dapat diterima oleh logika dan akal yang sehat bahwa orang yang seperti itu kehidupannya dari awal hingga akhir, akan berbohong terhadap Allah!
Maka orang-orang Mu’min angkatan pertama yang segera menerima seruannya dan kita beroleh kehormatan mengenal sekelumit dari riwayat mereka pada lembaran-lembaran buku ini, setelah hidayat dan taufiq dari Allah Ta’ala, juga didorong oleh bukti logika dan akal fikiran ini!
Begitu keadaan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum diangkat menjadi Rasul! Begitu pula ia setelah diangkat! Demikian ketika ia dalam ayunan! Dan demikian pula ketika berada di ambang kematian! Apakah sepanjang hayat dan selama hidupnya itu ada sesuatu yang meragukan? Bahkan walau agak sedikit pun?
Sekarang marilah kita berdiri sejenak dekat tahun-tahun pertama dari kerasulannya! Tahun-tahun yang jarang kita jumpai bandingannya dalam sejarah mengenai keteguhan, kejujuran dan kebesaran…! Tahun-tahun itu lebih mengungkapkan dari tahun-tahun lainnya tentang Mahaguru dan Pembimbing kemanusiaan ini. Tahun-tahun yang merupakan suatu prakata dari sebuah buku yang hidup, yaitu buku kehidupan dan kepahlawan-annya, bahkan sebelum dan sesudah yang lain, merupakan pengantar bagi mu’jizat-mu’jizatnya…!
Selama tahun-tahun tersebut, di kala Rasulullah berada sebatang kara seorang diri, ditinggalkannya segala suasana santai, tenteram dan damai, lalu tampil ke hadapan manusia mengemukakan apa yang tidak mereka sukai, atau lebih tepat barang yang mereka benci! la tampil di hadapan mereka dengan menujukan ucapannya kepada otak dan fikiran mereka…. Dan alangkah sulitnya pekerjaan berdialog dengan fikiran massa dan bukan dengan perasaan mereka!
Dan Muhammad Rasulullah tidak hanya berbuat itu saja. Mungkin berdialog dengan fikiran manusia itu tidak begitu berat akibatnya, asal saja masih dalam batas lingkungan adat dan cita-cita yang dimiliki bersama. Tetapi bila Anda berbicara dengan mereka mengenai masa yang jauh berada di depan, masa yang dapat Anda lihat tapi mereka tidak melihatnya, yang dapat Anda rasakan tapi mereka tidak merasakannya, maka sungguh…, di kala Anda berbicara dengan fikiran mereka dan bermaksud hendak merubuhkan sendi-sendi dasar kehidupan mereka secara ikhlas dan jujur, tanpa mengharapkan keuntungan-keuntungan tertentu seperti kedudukan dan pengaruh, maka, di sini Anda menghadapi risiko dan bahaya yang tak dapat teratasi, kecuali oleh ulul ‘azmi, tokoh-tokoh berkemauan baja di antara Rasul-rasul dan para pahlawan…!
Maka sungguh, Rasulullah adalah pahlawan dari arena ini dan Mahaguru luar biasa! Waktu itu yang dikatakan ibadat adalah pemujaan berhala, sedang agama ialah upacara-upacaranya. Dan Rasulullah tidaklah memakai cara perdebatan bagaimana juga bentuknya.
Sulitnya jalan dan beratnya beban akan dapat teratasi seandainya ia menggunakan keccrdasan yang luar biasa untuk mempersiapkan jiwa manusia sebelum disodori kalimah tauhid secara tiba-tiba. Menjadi haknya dan termasuk dalam kemampuannya meratakan jalan lebih dulu untuk memisahkan masyarakat dari Tuhan-tuhan mereka, yang telah mereka warisi pemujaannya selama ratusan tahun. Maka seyogyanya dimulai dengan gerakan tolak angsur, dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari pertentangan secara terbuka yang diketahuinya sejak semula akan membangkitkan kebencian kaumnya kepadanya dan mempertajam senjata mereka terhadap dirinya….
Tetapi hal itu tidak dilakukannya…, suatu bukti bahwa ia adalah Rasul! Didengarnya dalam kalbunya suara langit berkata padanya: “Bangkitlah!”, maka ia pun bangkit, dan “Sampaikanlah!”, maka disampaikannya…, tanpa bermanis mulut atau mengundurkan diri…!
Dari saat pertama, dihadapinya mereka dengan inti risalat dan pokok persoalan:
Hai manusia! Aku ini utusan Allah kepadamu, dengan maksud agar kamu mengabdikan diri kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan apa pun juga! Sesungguhnya berhala-berhala itu kosong dan percuma, tidak dapat memberi mudlarat maupun manfa’at!
Dan dari awal mulanya, dihadapinya mereka dengan kata-kata tegas dan gamblang ini, dan dari mulanya pula dihadapinya peperangan sengit yang telah ditaqdirkan akan diterjuninya sampai ia berpisah dengan dunia…!
Apakah orang-orang Mu’min angkatan pertama memerlukan dorongan yang akan mendesak mereka untuk bai’at kepada Rasul ini? Tetapi hati nurani siapakah yang tidak akan tergerak ketika menyaksikan peristiwa luar biasa dan satu-satunya ini…? Peristiwa seorang laki-laki yang tidak dikenal manusia kecuali sebagai seorang yang sempurna akal dan luhur budi, berdiri seorang diri menghadapi kaumnya dengan da’wah, yang karena pengaruhnya yang dahsyat, gunung-gunung belah berserpihan, sementara kalimat-kalimat yang keluar dari mulut dan lubuk hatinya demikian lantang dan mengharukan, seolah-olah di sana berhimpun seluruh kekuatan masa depan, seluruh kehendak dan kemauan bajanya, seakan-akan ia suara taqdir yang memaklumkan keputusannya…!
Tetapi mungkin ini hanya merupakan cahaya kilat yang sekejap saat, dan setelah itu Nabi Muhammad akan pergi mengurus dirinya sendiri, mengabdikan diri kepada Allah sesuka hatinya, dan meninggalkan berhala-berhala kaumnya di temp at bercokolnya, serta membiarkan agama mereka sebagai sedia kala….
Seandainya kekhawatiran ini terbayang-bayang dalam otak sebagian orang di kala itu, maka Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam segera melenyapkannya. Secara gamblang ditegaskannya kepada manusia bahwa ia adalah utusan yang berkewajiban menyampaikan, dan tak dapat diam berpangku tangan atau menyembunyikan cahaya dan kebenaran yang telah diperolehnya. Bahkan seluruh kekuatan dunia dan alam ini takkan mampu untuk membungkam dan menghalanginya, karena yang menyuruh dan menggerakkannya berkata serta membimbing langkahnya, tiada lain dari Allah Ta’ala…!
Dan jawaban dari orang-orang Quraisy datang secara tepat, tak ubah bagai lambaian api tertiup angin kencang! Mulailah tekanan dan penderitaan mengalir menimpa dirinya, yang dari bermula sampai akhirnya hanya layak beroleh penghormatan tertinggi, tak ada lagi yang lebih tinggi dari itu…!
Dan laki-laki yang Rasulullah itu mengajarkan pelajaran pertamanya dengan kemampuan seni mendidik yang istimewa dan semangat berqurban yang luar biasa. Dan gambaran peristiwa itu memenuhi ruang dan waktu, meliputi halaman sejarah. Sementara orang-orang yang bersemangat dan hidup jiwanya di Mekah sama terpesona dan kagum lalu datang mendekat…. Kiranya mereka dapati seorang yang luhur dan tinggi; dan mereka tidak tahu, apakah kepalanya bertambah panjang hingga menjulang dan menyentuh iangit, ataukah langit yang turun ke bawah lalu meletakkan mahkota di atas kepalanya…!
Mereka lihat usaha mati-matian, keluhuran dan kebesaran…. Dan yang paling menyegarkan dari yang mereka lihat dan saksikan itu ialah suatu hari, ketika bangsawan-bangsawan Quraisy pergi mendapatkan Abu Thalib dan berkata: “Wahai Abu Thalib! Anda adalah seorang yang kami tuakan, kami hormati dan muliakan. Dan kami telah meminta Anda agar melarang keponakan Anda itu, tetapi rupanya tidak Anda indahkan! Sungguh, demi Allah, kami telah tak dapat menahan kesabaran kami lagi mendengar cemoohan terhadap nenek moyang kami, ejekan terhadap orang-orang cerdik pandai kami, peng-hinaan terhadap Tuhan-tuhan pujaan kami! Bila Anda masih belum hendak mencegah perbuatannya itu, marilah kita berperang tanding, biar salah satu di antara kita tewas atau celaka…!”
Abu Thalib pun segera menyuruh memanggil keponakannya itu, lalu katanya: “Wahai keponakanku! Kaummu telah mendatangiku dan membicarakan soalmu dengan daku. Maka jagalah dirimu dan tengganglah daku, dan janganlah daku diberi beban yang tak sanggup aku memikulnya…!”
Apa jawaban dan bagaimana pendirian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam waktu itu…? Rupanya orang satu-satunya yang berdiri di sampingnya selama ini hendak berlepas tangan daripadanya. Atau tampaknya ia tak hendak bersedia, atau tak mampu lagi menghadapi Qurasy yang telah unjuk gigi.
Tapi Rasulullah tidak ragu-ragu untuk menjawab serta semangatnya tak pernah kendor! Tidak, bahkan ia tak mencari-cari kalimat lebih dulu untuk memantapkan keyakinannya! Karena ketika itu keyakinannya bangkit tegak di atas singgasana keguruan dan mengajarkan kepada manusia pelajaran yang teramat penting serta membacakan prinsip-prinsipnya yang mendasar.
Demikianlah ia berbicara, dan kita tidak tahu apakah yang berkata itu manusia, ataukah seluruh wujud ini yang sedang berdendang:
“Wahai paman, Andainya mereka menaruh matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan pekerjaan ini, tiadalah aku hendak me-ninggalkannya, sampai aku berhasil, atau tewas dalam menunaikannya…!”
Salam atasmu wahai Nabi, rahmat Allah serta berkah-Nya !
Wahai pemimpin laki-laki, kata-katamu itu adalah kata-kata laki-laki!
Dengan segera Abu Thalib mengumpulkan kembali segala keberaniannya dan keberanian nenek moyangnya, lalu digenggamnya erat-erat tangan kanan keponakannya seraya katanya: “Katakanlah apa yang kamu sukai, dan demi Allah, saya takkan menyerahkanmu karena suatu apapun untuk selama-lamanya…!”
Tetapi ternyata, walaupun pamannya itu mempunyai kemampuan, tiadalah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam hendak memperoleh perlindungan dan keamanan daripadanya, bahkan sebaliknya Nabi Muhammadlah yang melimpahkan keamanan, keteguhan dan perlindungan itu kepada orang-orang sekelilingnya…!
Nah, manusia manakah di antara orang-orang yang berbudi, yang menyaksikan tontonan seperti ini, yang takkan tergugah hatinya dan lari mengejar Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam , demi cinta kasih, keimanan dan semangat pembelaan terhadap dirinya…?
Ketabahan hatinya membela kebenaran, keteguhannya mengandalkan risalat dan kesabarannya menghadapi bahaya di jalan Allah, bukan di jalan diri atau karena kepentingannya pribadi, semua itu sudah selayaknya akan mempesonakan akal yang cerdas dan membangkitkan fikiran dinamis, hingga ia akan mengikuti cahaya yang bersinar dan suara yang menghimbau, dan segera mendapatkan “orang jujur dan terpercaya” tadi yang sengaja datang untuk mensucikan dan memberinya petunjuk.
Orang-orang melihat ia terancam bahaya dari segenap pen-juru, sedang hiburan yang biasa diterima dari pamannya Abu Thalib dan isterinya Khadijah telah lenyap pula karena kedua mereka meninggal dunia pada hari-hari yang berdekatan…. Barangsiapa yang ingin hendak mengira-ngirakan sampai di mana penganiayaan dan betapa hebatnya permusuhan yang dilancarkan oleh orang-orang Quraisy terhadap Rasul yang sebatangkara itu, cukuplah bila diketahui bahwa Abu Lahab sendiri yang menjadi seteru dan musuhnya terbesar, pada suatu hari hatinya jadi pilu melihat apa yang dilihatnya, hingga ia memaklumkan akan melindungi dan membela Rasulullah serta akan menentang semua permusuhan terhadap dirinya…!
Tetapi Rasulullah menolak pembelaan Abu Lahab itu, hingga ia tetap tegak menyeruak, mati-matian membela pendirian dan bebas dari segala ikatan! Tidak seorang pun yang akan dapat menyingkirkan bahaya daripadanya, karena tak seorang pun yang mempunyai kemampuan berbuat demikian. Bahkan Abu Bakar, tokoh utama itu, tiada yang dapat dilakukan olehnya kecuali hanyalah menangis….
Pada suatu hari Rasulullah pergi ke Ka’bah, dan sementara beliau thawaf, tiba-tiba beberapa orang bangsawan Quraisy yang sedang mengintai kedatangannya melompat dan mengerumuninya, lalu kata mereka: “Kamukah yang mengatakan begini dan begitu terhadap Tuhan-tuhan kami…?” Maka dengan tenang dijawabnya: “Benar, akulah yang mengatakan-nya . . .”. Mereka pun mencengkram pangkal bajunya hendak membunuhnya, sementara Abu Bakar datang melihat kejadian itu meneteskan air mata sambil berkata: “Apakah kalian hendak membunuh seorang laki-laki, hanya karena ia mengatakan bahwa Tuhannya Allah…?”
Kemudian, barangsiapa yang menyaksikan peristiwa Rasul-ullah di Thaif, maka ia akan melihat bukti-bukti kebenaran dan pengurbanannya, suatu hal yang sudah wajar menjadi miliknya dan tak dapat digugat lagi! la menghadapkan tujuannya kepada kabilah Tsaqif menyeru mereka mengabdikan diri pada Allah Yang Maha Esa lagi perkasa….
Wahai, belum cukupkah kiranya apa yang diderita dari kaum dan keluarganya sendiri…? Tidakkah beliau takut akan mendapat siksaan yang jauh berlipat ganda dari kaum yang hendak didatanginya itu, yang antaranya dengan mereka tak ada pertalian darah dan hubungan keluarga…?
Tidak, karena rupanya risiko tidak masuk sekali-kali dalam perhitungannya! Bukankah Tuhannya Yang Maha Tinggi itu telah menitahkan kepadanya: “Hendaklah kamu sampaikan!” Beliau teringat akan suatu hari di kala ejekan dan celaan kaumnya kepadanya semakin meningkat. Maka kembalilah beliau ke rumah dan menyelimuti diri di tempat tidurnya dalam keada-an duka dan kecewa. Tiba-tiba suara langit mengetuk pintu hatinya dan wahyu pun segera datang, menyampaikan perintah yang telah disampaikan padanya di gua Hira dulu:
“Hai orang yang berselimut! Bangkitlah dan sampaikanlah peringatan…!”
Sadarlah beliau bahwa dirinya seorang muballigh dan juru nasihat! Dan kalau begitu beliau adalah seorang Rasul yang tak menghiraukan bahaya dan tak boleh berpangku tangan! Maka sekarang beliau harus pergi ke Thaif untuk menyampaikan kalimat Allah kepada penduduknya.
Ketika itu datanglah penduduk Thaif mengepungnya. Rupanya mereka lebih jahat lagi dari kawan-kawan mereka di Mekah! Mereka hasut anak-anak dan orang-orang bodoh dan tanggalkan sopan santun Arab yang dianggap keramat yaitu memuliakan tamu dan melindungi orang-orang yang teraniaya. Mereka lepas-kan orang-orang bodoh dan anak-anak itu mengejar Rasulullah dan melemparinya dengan batu.
Inilah dia orang yang mendapat tawaran dari orang-orang Quraisy dulu untuk menerima tumpukan harta hingga beliau akan menjadi seorang yang terkaya! Atau berupa kedudukan sehingga beliau akan menjadi pemimpin atau raja mereka! Tetapi tawaran itu ditolaknya serta katanya: “Aku ini hanyalah hamba Allah dan utusan-Nya!”
Dan sekarang beliau sedang berada di Thaif dan pergi ke sebuah kebun lalu melindungkan diri di balik pagar dari kejaran orang-orang bodoh tersebut…, tangan kanannya terhampar dan tertadah ke langit memohon kepada Allah, sementara tangan kirinya digunakannya sebagai tameng untuk melindungi wajahnya dari batu-batu lemparan. Beliau bermunajat kepada Pencipta dan Pelindungnya, katanya: “Asal Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli…, hanya keselamatan daripada-Mu akan lebih melapangkan dada ini. . .!”
Memang, beliau adalah Rasul yang tahu bagaimana caranya memohon kepada Allah tanpa mengabaikan tata tertib kesopanan! Sementara beliau menyatakan tidak peduli terhadap penderitaan di jalan Allah, dinyatakannya pula bahwa beliau amat memerlukan keselamatan yang akan dikaruniakan oleh Allah.
Dalam keadaannya seperti itu beliau tidak bangga dengan ketabahan dan keberaniannya, dan tidak merasa sombong, karena kesombongan dalam keadaan dan suasana seperti itu mungkin akan mengandung ma’na berjasa kepada Allah. Hal itu tidak luput dari fikiran Nabi Muhammad. Oleh sebab itu cara sebaik-baiknya untuk menyatakan ketabahan dan keberanian dalam situasi seperti demikian, ialah suara du’a dan kerendahan diri. . .! Demikianlah beliau melanjutkan do’a dan permohonan ampunnya kepada Allah, katanya:
“Ya Allah, kuadukan kepada-Mu kelemahan tenaga, kekurangan budi daya serta kerendahanku terhadap manusia…! Ya Allah, Yang Teramat Pengasih di antara yang pengasih! Engkaulah pelindung orang-orang yang lemah, dan Engkaulah Rabbi! Kepada siapakah daku Engkau serahkan…? Apakah kepada orang yang jauh yang akan menerimaku dengan wajah masam, ataukah kepada musuh yang akan berlaku leluasa dan bersifat kejam…? Tetapi asal saja Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli, hanya keselamatan dari-Mu akan lebih melapangkan hamba-Mu ini. . .! Aku berlindung dengan nur wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan menjamin kebaikan dunia akhirat, dari amarah-Mu yang akan menimpa diriku dan murka-Mu yang akan membinasakan daku. Kumohon ridla-Mu sampai kuperolehnya, dan tiada daya maupun tenaga kecuali dengan-Mu juga…!”
Kecintaan manakah yang mendorong Rasul memikul tugas da’wahnya…? Seorang diri sebatang kara . .., akan berhadapan dengan tipu daya manusia . ..! Tak satu pun dari sarana kehidupan duniawi yang dapat menyokong perjuangannya, tetapi ia tetap bertahan dengan kegigihan yang tak pernah kendor dan kecintaan yang tak pernah pudar.
Ketika kembali ke Mekah dari Thaif, beliau dilihat orang bukan terpukul atau putus asa, bahkan bertambah semangat dan meningkat gembira. Didatanginya suku-suku dan kabilah-kabilah, ditemuinya mereka di dusun-dusun dan kampung-kampung mereka. Suatu hari di suku Kindah, suatu hari pula di Bani Hanifah, hari yang lain di Bani ‘Amir. Demikian seterusnya suku demi suku, kabilah demi kabilah.
Kepada mereka semua dikatakannya: “Saya ini adalah utusan Allah kepadamu. Ia menyuruhmu beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, dan agar kamu meninggalkan penyembahan lain-Nya berupa berhala-berhala…!
Di perkampungan kabilah-kabilah yang dekat letaknya, Abu Lahab selalu mengikutinya seraya meneriakkan kepada orang-orang itu: “Jangan percaya kepadanya, ia hanya hendak membawa kalian kepada kesesatan…!”
Demikianlah dalam kedudukan sulit ini, ketika beliau dilihat orang hendak mencari orang-orang yang mau beriman dan menjadi pembela, kiranya yang dijumpainya ialah tentangan dan permusuhan!
Dan mereka lihat beliau menolak tawar-menawar, begitu pun menjual keimanan dengan harta dunia, apa lagi kalau hanya dengan sekedar janji akan member! imbalan kedudukan dan kekuasaan.
Di musim pancaroba itu beliau mendatangi Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah dan duduk membicarakan dengan mereka perihal Allah Subhanahu wa Ta’ala sambil membacakan ayat-ayat-Nya. Mereka bertanya kepadanya sebagai berikut: “Bagaimana pendapat Anda, seandainya kami bai’at kepada Anda mengenai urusan ini, kemudian Anda dimenangkan Allah atas musuh Anda, apakah kami berhak menguasai urusan dni nanti…?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menjawab: “Semua urusan itu kepunyaan Allah, akan diserahkan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya…!”
Mendengar itu mereka pun bubar, seraya kata mereka: “Tak perlu bagi kami urusan ini…!” Maka pergilah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan mereka untuk mencari orang-orang beriman yang tak hendak memperjual-belikan keimanan mereka dengan harga murah . . .
Orang-orang telah melihat usaha Nabi Muhammad, daji beberapa di antara mereka telah ada juga yang beriman. Walaupun jumlah mereka tidak banyak, tetapi pada mereka ditemukannya keakraban dan persahabatan. Tetapi Quraisy telah memutuskan agar masing-masing kabilah bertindak menertibkan orang-orang yang beriman di antara warganya.
Maka secara tiba-tiba, bagai angin puyuh yang bertiup kencang, adzab dan siksa menimpa Kaum Muslimin, hingga tiada satu macam kejahatan pun yang tidak dilakukan oleh orang-orang musyrik. Dan secara tiba-tiba pula terjadilah peristiwa yang tidak disangka-sangka, yaitu Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyu-ruh semua Kaum Muslimin hijrah ke Habsyi, hingga tinggallah beliau menghadapi penantangnya seorang diri. . .!
Nah, kenapa beliau tidak ikut berhijrah dan menyebarkan kalimat Allah di tempat yang lain? Bukankah Allah Tuhan semesta alam, dan bukan hanya untuk bangsa Quraisy semata…? Atau kenapa mereka tidak ditahan di sisinya, bukankah hal itu akan membawa manfa’at yang nyata…? Walaupun jumlah mereka tidak seberapa, tetapi beradanya mereka di Mekah akan menarik penduduk lainnya masuk Islam. Apalagi di kalangan mereka ada beberapa orang tokoh yang termasuk bangsawan tinggi Quraisy, orang-orang kuat dan gagah berani. Misalnya dari kalangan Bani Umayah ada Utsman bin ‘Affan, Amar Bin Sa’id bin Ash dan Khalid bin Sa’id bin ‘Ash. Dari Bani Asad terdapat Zubair bin Awwam, Aswad bin Naufal, Yazid bin Zam’ah dan Amar bin Umayah. Dari Bani Zuhrah tercatat pula nama-nama Abdurrahman bin ‘Auf, ‘Amir bin Abi Waqqash, Malik bin Ahyab dan Muthallib bin Azhar.
Pendeknya ada keluarga tokoh-tokoh yang telah tak shabar lagi menyaksikan penganiayaan dan penyiksaan terhadap mereka. Maka kenapa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menahan mereka di samping-nya agar dapat membela dirinya dan menjadi sumber kekuatan yang berada dalam tangannya…?
Di sini terlukislah dengan nyata kebesaran Muhammad Rasulullah…! Beliau tidak menginginkan timbulnya fitnah atau perang saudara, walau tidak mustahil beliau akan beroleh kemenangan, bahkan pada akhirnya pasti akan menang…! Dan di sini ternyatalah pula rasa belas kasih dan perikemanusiaannya…! Beliau tidak tega melihat orang-orang akan disiksa disebabkan dirinya, walau beliau tahu dan yakin bahwa pengurbanan itu merupakan akibat yang lumrah dari setiap perjuangan mulia dan da’wah besar! Baginya biarlah pengurbanan itu diberikan, jika tak ada jalan lain sebagai gantinya! Adapun sekarang, karena masih ada jalan untuk menghindarkan bencana, maka biarlah Kaum Muslimin menempuh jalan tersebut. . .!
Kemudian, kenapa beliau tidak ikut saja hijrah bersama mereka…? Jawabnya ialah karena beliau belum lagi dititah untuk pergi. . .! Karena tempatnya ialah di sini, yaitu di kandang berhala-berhala…! Beliau selalu mendengungkan Asma Allah Yang Maha Esa…, dan akan senantiasa menerima penyiksaan tanpa gelisah dan keluh kesah…, asal saja yang dianiaya itu dirinya pribadi, dan bukan golongan lemah yang beriman dan menjadi pengikutnya…, dan bukan pula golongan bangsawan yang juga telah beriman dan memasuki barisannya . . .
Nah, siapakah yang dapat mengemukakan kepada kita corak ketabahan, dan bentuk pengurbanan yang dapat menyamai itu…? Itulah suatu keagungan yang tak dapat dilakukan kecuali oleh ulul ‘azmi, orang-orarig yang berkemauan baja di antara para Rasul dan tokoh-tokoh pilihan…!
Sungguh, manusia dan Rasul bertemu dan berpadu satu pada diri Nabi Muhammad secara amat mengagumkan! Dan orang-orang yang meragukan kerasulannya, tidak akan bimbang tentang kebesarannya, begitupun tentang keluhuran jiwa dan kesucian kemanusiaannya. Dan Allah yang lebih mengetahui di mana la akan menempatkan kerasulannya itu, telah memilih seorang manusia yang dididik-Nya setinggi apa yang diinginkan manusia untuk mencapainya, berupa keagungan, keluhuran dan kepercayaan.
Orang-orang mendengar dan menyaksikan bagaimana beliau mencela setiap sikap berlebih-lebihan dalam memuliakan dirinya, bahkan juga terhadap sikap yang agak berlebih-lebihan itu. Dibentaknya mereka hanya karena mereka bangkit berdiri untuk menyambut kedatangannya, katanya:
“Janganlah kalian berdiri sebagaimana berdirinya orang asing, saling mendewakan sesamanya.”
Pada hari wafat puteranya (Ibrahim), terjadi gerhana sebagian dari matahari, hingga orang-orang memperkatakan bahwa gerhana matahari itu terjadi disebabkan berkabung atas kematian Ibrahim. Maka Rasul besar yang terpercaya itu segera mematahkan dan menyalahkan anggapan tersebut sebelum meningkat menjadi takhyul. Beliau berdiri berpidato di hadapan manusia antara lain katanya:
“Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua buah tanda dari tanda-tanda Allah. Kedua gerhana bukanlah karena meninggalnya salah seorang di antara kamu, dan bukan pula karena lahirnya….”
Ia menjadi kepercayaan bagi otak dan fikiran manusia, dan berdirinya dalam memenuhi tanggung jawab ini, baginya lebih baik dan lebih utama dari kemuliaan dan penghormatan sepenuh bumi!
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meyakini sepenuhnya bahwa kemunculannya dalam arena kehidupan manusia tiada lain hanyalah untuk merubahnya, dan bahwa beliau bukan hanya menjadi utusan bagi Quraisy, bahkan bukan hanya bagi bangsa Arab semata, tetapi adalah bagi ummat manusia umumnya…Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membukakan penglihatannya menembus jarak jauh yang akan dicapai oleh da’wahnya, yang akan dinaungi oleh bendera dan panji-panjinya. Maka telah disaksikannya dengan mata kepalanya masa depan Agama yang diberitakan kepadanya, serta keabadian mutlak yang akan dimilikinya, sampai bumi dan segala isinya kembali ke tangan Maha Penciptanya….
Namun semuanya itu, segala yang terdapat pada dirinya, begitupun pada Agamanya, serta keberhasilan yang belum pernah disaksikan dunia tolok bandingnya, menurun pandangannya tidak lebih dari sekeping batu bata pada sebuah bangunan…! Hal ini dinyatakan oleh orang besar itu dengan sejelas-jelasnya pada ucapannya:
Perumpamaan diriku dengan para Nabi sebelumku, adalah seperti seorang yang membangun sebuah gedung, hingga diselesaikannya dengan amat indah dan sempurna, kecuali suatu tempat sebesar batu bata di salah satu pojoknya.
Orang-orang berkeliling dan sama-sama heran menyaksikannya. Kata mereka: Kenapa tidak diselesaikan tempat sebesar batu bata ini?” Nah, akulah batu bata yang me-nutupi lobang kecil itu, dan akulah yang jadi penutup dari semua Nabi. . .!
Maka segala kehidupan yang dijalaninya…. Segala perjuangan dan kepahlawanannya…. Segala kebesaran dan keluhurannya….
Segala kemenangan yang telah dicapai oleh Agamanya di waktu hidupnya, dan segala kebahagiaan yang diketahuinya akan dicapai setelah wafatnya…. Semua itu baginya tidak lebih dari batu bata…, hanya sekeping batu bata pada sebuah bangunan antik dan raksasa…!
Beliau sendirilah yang memaklumkan hal ini, yang mengata-kan dan terus-menerus menguatkannya. Kemudian ucapan yang dikeluarkannya ini tidaklah dimaksudkannya untuk menutupi kehausannya akan kebesaran itu, tetapi dengan segala kerendah-an hati pendirian itu ditegaskannya sebagai suatu hal yang semestinya demikian, hingga tanggung jawab menyampaikan dan menyebarkannya merupakan sebagian dari esensi kerasulannya…!
Sebabnya ialah karena kerendahan hati itu, walaupun merupakan salah satu tabi’at di antara tabi’at-tabi’at Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah berurat berakar, bukanlah menjadi bukti yang memperkuat dan memperkukuh kebesarannya…! Kebesaran Rasulullah mencapai puncak yang tinggi dan dasar yang dalam, hingga menyebabkannya sebagai suatu bukti yang tangguh dan tak dapat digugat tentang dirinya…!
Nah, inilah dia Mahaguru manusia dan penutup segala Nabi itu! Inilah dia cahaya gemilang yang disaksikan ummat selagi hidup di kalangan mereka sebagai manusia, kemudian setelah kepergiannya disaksikan mereka sebagai suatu hakikat kenyataan yang takkan hilang dari kenangan…!
Dan kini, sewaktu kita pergi menjelang beberapa orang shahabatnya yang mulia di halaman-halaman berikut dari buku ini, di kala kita heran takjub menyaksikan keimanan dan pengurbanan mereka, dan keluhuran cita yang mereka bina dan tak ada taranya itu, maka kita akan dapat menangkap secara jelas sebab-sebab keluarbiasaan ini. Yaitu tiada lain dari cahaya yang menjadi ikutan dan pedoman mereka. Dan tiada lain dari Muhammad Rasulullah, yang dibekali Allah secara lengkap kemampuan melihat kebenaran dan kebesaran jiwa, menyebab-kan hidup ini jadi bernilai, dan jalan yang akan dilalui terang benderang….