“Suatu hari yang lain,” begitu cerita seorang akhwat dalam suratnya, “Allah mempertemukan saya dengan seorang akhwat yang sedih dengan setumpuk masalahnya. Dengan sedih ia berkata, ‘Alangkah enaknya kalau saat ini ada suami…’ Mengapa? Dan bagaimana suami dapat meringankan kesedihannya?” “Mengapa suami? Karena adanya keyakinan bahwa suami dapat membimbing untuk mencintai Allah. Dan karena pendekatan suami lebih dari hati ke hati, dengan kasih sayang, maka lebih menyentuh untuk dilakoni.”
“Masalahnya, bagaimana kriteria suami yang seperti itu?”
Saya kadang-kadang menerima pertanyaan tentang bagaimana memilih suami yang baik, suami yang dapat membimbing istri dalam menjalani kehidupan bersama sebagai satu keluarga yang saling mencintai. Pada suatu seminar, pertanyaan mengenai ini berkembang ke arah yang lebih mendasar lagi. Pertanyaan itu dikaitkan dengan janji Allah bahwa wanita yang baik adalah bagi laki-laki yang baik dan begitu pula sebaliknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan perempuan-perempuan yang keji adalah diperuntukkan bagi laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji juga diperuntukkan bagi perempuan yang keji, sedangkan perempuan-perempuan yang baik diperuntukkan bagi laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik juga diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yang baik…” (QS An-Nur:26).
Pembahasan tentang ini memerlukan ruang yang khusus. Pada kesempatan ini Insya Allah saya membahas sedikit saja sejauh yang saya mampu. Dan sesungguhnya, pengetahuan yang haq hanya di sisi Allah. Wallahul Musta’an.
Sekarang, ketika pinangan telah datang, apa yang perlu engkau perhatikan sebagai bahan pertimbangan.
Agama Calon Suami
Baik laki-laki maupun perempuan, diperingatkan agar memilih pendamping hidup atas dasar agama calonnya. Sebagian orang menempatkan peringatan ini dalam derajat yang paling ringan. Asal seagama, dianggap telah memenuhi ketentuan untuk memilih berdasarkan agama calonnya. Sebagian orang bertanya, “Kenapa agama?”
“Kadang-kadang, orang yang agamanya baik memperlakukan istri dengan cara yang buruk. Sikapnya kepada orang lain juga tidak menyenangkan. Padahal, ia rajin ke masjid, shalat, puasa, dan banyak mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan. Tetapi, mereka tidak memperlakukan istri dan anak-anaknya dengan baik.”
“Sebaliknya, orang-orang yang tidak begitu mengenal agama, sikapnya kepada istri justru sangat baik. Perhatiannya kepada istri, besar sekali. Kadang mereka malah bisa menjadi sahabat yang enak diajak bicara oleh istri dan anak-anaknya.”
Pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan beragama? Apakah mereka yang lebih utama agamanya adalah mereka yang luas pengetahuan agamanya? Jika ini yang dimaksud, sesungguhnya para orientalis memiliki pengetahuan agama yang lebih luas daripada kebanyakan kita saat ini. Penulis kamus bahasa Arab yang menjadi pegangan standar sekarang, Al-Munjid, adalah Louis Ma’luf, seorang orientalis.
Kalau begitu, bagaimana menentukan ukuran bahwa calon suami yang datang meminang termasuk laki-laki yang beragama? Wallahu A’lam bish Shawab. Agama meliputi tauhid yang merupakan intinya dan syari’at sebagai aturan-aturan baku yang lebih bersifat zhahir. Tauhid hidup dalam iman. Iman adalah perkara qalbiyyah (rahasia hati). Orang tidak dapat melihat derajat iman seseorang. Orang tidak bisa menilai aqidah-qalbiyyah (urusan keyakinan dalam hati) orang lain.
Tetapi, keyakinan hati mempengaruhi sikap dan perilaku. Keagamaan seeorang Insya Allah dapat dilihat melalui amal perbuatannya. Ada berbagai petunjuk As-Sunnah yang dapat dipakai untuk “menerka” agama dari laki-laki yang datang meminang Anda.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya.” (HR Ahmad dan Abu Daud).
Dalam hadis lain yang bersumber dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anh, dari Nabi dikatakan, “Sesungguhnya kelembutan tidak menghinggapi sesuatu kecuali memperindahnya dan tiada dicabut dari sesuatu melainkan memperburuknya.” (HR. Muslim).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba yang berakhlak baik akan mencapai derajat dan kedudukan yang tinggi di akhirat, walau ibadahnya sedikit.” (HR Thabrani dengan sanad baik).
Masih banyak hadis yang menunjukkan tanda-tanda keimanan melalui sikap, perilaku dan ketinggian moral. Tanda-tanda ini yang dapat engkau perhatikan ketika seorang pemuda meminangmu. Ada tanda lain yang dapat engkau perhatikan, terutama berkait dengan tanggungjawabnya kelak sebagai kepala rumah keluarga. Misal, bagaimana sikapnya terhadap upaya mencari nafkah pada saat ini, sedang ia masih menuntut ilmu di perguruan tinggi. Pembahasan lebih lanjut Insya Allah kita lakukan pada sub judul Kemandirian Ekonomi.
Seorang ulama mengatakan bahwa, tidak mungkin mengetahui keberagamaan seseorang melalui shalat dan puasa serta sebagian ritual agama. Keimanan dalam beragama, dapat diketahui melalui aspek-aspek akhlak, penjagaan hak-hak orang lain, dan sikap menghindarkan orang lain dari kezaliman-kezaliman dirinya. Adakalanya ketika seseorang berpuasa, sangat takut kemasukan air setetes sehingga tidak berani berkumur. Tetapi ia tidak takut melanggar hak-hak orang lain. Begitu KH. Abdurrahman Wahid pernah mencontohkan.
Peringatan Imam Abu ‘Abdillah dapat Anda pertimbangkan ketika menilai agama calon suami Anda. Beliau pernah berkata, “Janganlah kalian tertipu dengan shalat mereka dan puasa mereka. Sesungguhnya mungkin ada seseorang yang mengerjakan shalat dan puasa sampai-sampai seandainya ia meninggalkannya, ia merasa takut. Tetapi, amatilah mereka dalam kebenaran bicara dan penunaian amanat.”
Ada contoh yang ekstrem tentang masalah ini. Abu Said Al-Khudri, salah seorang sahabat terkenal, mengatakan bahwa Abu Bakar pernah bercerita di hadapan Nabi. Saat itu Abu Bakar menuturkan pengalamannya ketika melintasi padang pasir dan melihat seorang lelaki berwajah tampan sedang melakukan shalat dengan khusyuk.
“Pergi dan bunuhlah orang itu,” tukas Nabi.
Abu Bakar segera pergi menemukan lelaki yang itu masih dalam keadaan seperti semula, shalat dengan khusyuk. Abu Bakar jadi ragu untuk membunuhnya. Akhirnya ia kembali.
Nabi kemudian memanggil Umar bin Khaththab.
“Pergilah ke sana dan bunuhlah lelaki itu!” perintah Nabi kepada Umar.
Umar pun segera pergi ke sana. Umar melihat lelaki itu sedang larut dalam ibadah. Umar tidak sampai hati membunuhnya. Akhirnya ia pun kembali menghadap Nabi.
“Wahai Nabi, yang aku lihat adalah lelaki yang sedang shalat dengan sangat khusyuk. Aku tidak tega membunuhnya,” ujar Umar.
Nabi akhirnya menyuruh Ali untuk membunuhnya.
Ali segera pergi ke sana, tetapi ia tidak menemukan lelaki itu. Ali kembali menghadap Nabi, lalu memberitahukan hal itu kepada beliau. Nabi berkata, “Orang itu dan kawan-kawannya membawa Al-Qur’an hanya sampai tenggorokan. Mereka telah keluar dari agama bagai anak panah melesat dari busurnya. Bunuhlah mereka! Karena mereka adalah seburuk-buruk makhluk di muka bumi.” (Shahih Muslim).
Ketika mendapatkan pinangan, engkau juga bisa memperhatikan tanda-tanda membekasnya agama pada diri calon suami berkait dengan kewajiban-kewajibannya terhadapmu kelak.
Ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang hak istri, beliau bersabda: “Memberikan makanan kepadanya apabila engkau makan, memberikan pakaian apabila engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan mengatakan wajah engkau buruk, dan jangan menghukum (tidak menanyainya) kecuali di dalam rumah, yakni jangan memindahkannya ke rumah lain kemudian tidak ditanyainya di dalam rumah tersebut.” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban, dan dishahihkan oleh Al Hakim).
Penjelasan Al-Fakhrurrazi mengenai fazhzhan dan ghalizhal-qalbi ketika menjelaskan surat ‘Ali Imran ayat 159-160, menarik untuk kita simak. Asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat ini sebenarnya sama dengan ayat-ayat sebelumnya surat ini, yaitu berkenaan dengan perang Uhud. Tetapi, kali ini kita akan mengambil pelajaran dari Al-Fakhrurrazi mengenai fazhzhan dan ghalizhal-qalbi untuk mengetahui keberagamaan calon suami, orang yang akan memimpinmu jika engkau menerimanya.
Kata Al-Fakhurrazi, “Kalau kita belum paham perbedaan antara fazhzhan dan ghalizhal-qalbi, perhatikanlah contoh ini. Mungkin ada orang yang akhlaknya tidak jelek. Tidak pernah mengganggu orang lain. Lidahnya tidak pernah menyakiti orang lain. Hanya saja, dalam hatinya tidak pernah ada rasa kasihan kepada orang lain.
Orang ini tidak kasar, namun dalam hatinya tidak ada rasa kasih-sayang. Ia tidak fazhzhan, tetapi ghalizhal qalbi. Kedua sifat ini tidak boleh menempel pada diri seorang pemimpin. Dia tidak boleh berperilaku yang menganggu orang lain dan juga tidak boleh mempunyai hati yang keras. Karena itu, “Sekiranya kamu ini bertingkahlaku kasar dan hati kamu keras, maka orang-orang itu akan lari darimu.“
Seorang yang beragama, tidak bersifat fazhzhan. Juga tidak ghalizhal qalbi. Jika dua sifat ini tidak ada pada dirinya, Insya Allah dia akan memiliki akhlak yang lemah lembut. Meskipun begitu, ada perbedaan yang besar sekali antara sifat lemah lembut dengan menampakkan kelembutan. Mengenai hal ini, hatimu yang lebih tahu. Wallahu A’lam bish Shawab.
Insya Allah, engkau juga bisa melihatnya ketika meminang. Kalau ia meminangmu dalam rangka berpoligami, engkau dapat menilai alasannya dari alasannya berpoligami, sikapnya terhadap istri dan keseimbangannya antara harapan terhadapmu dan sikapnya terhadap istrinya terdahulu. Jika ia berpoligami karena menurutnya istri terdahulu tidak memiliki akhlak yang baik sebagai istri, engkau dapat menilainya dari bagaimana ia mengungkapkan hal itu kepadamu. Sebagian di antara caranya menceritakan, merupakan tanda apakah ia akan menjaga rahasiamu ataukah menunjukkan tidak ada rasa cemburu di hatinya kalau rahasia istrinya diketahui orang lain.
Tanda-tanda keberagamaan yang bersifat akhlaqi Insya Allah lebih utama, termasuk di dalamnya sikap dan semangatnya terhadap agama. Seorang yang bersemangat dan memiliki sikap yang baik, Insya Allah lebih mudah menyerap ilmu-ilmu agama yang belum ia punyai.
Akhir-akhir ini, sebagian orang telah menyempitkan batasan agama kepada yang dianggap sefikrah saja. Atau bahkan lebih sempit lagi se-harakah atau se-halaqah. Padahal, kesamaan harakah atau halaqah tidak menandakan tingkat kematangan dalam beragama. Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan. Saya sempat khawatir, pola interaksi pada sebagian kelompok cenderung mengarah kepada kerahiban.
Kemandirian Ekonomi
Seorang laki-laki seharusnya telah mampu membiayai hidupnya sendiri sejak memasuki masa taklif, yaitu usia 15 tahun menurut sistem penanggalan qamariyyah atau lunar system. Selambat-lambatnya usia 18 tahun, seharusnya ia sudah berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan hasil keringatnya sendiri, walaupun orangtua masih mampu membiayai dan sekaligus masih mau membiayai.
Ketika menikah, ia mempunyai kewajiban untuk menafkahi istrinya, termasuk di dalamnya makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal dengan cara yang baik. Setelah menikah, orangtua tidak mempunyai kewajiban memberi nafkah terhadap anak perempuannya. Kebutuhan ekonomi seorang wanita menjadi tanggungan suami.
Adapun kalau orangtua memberi, itu bersifat shadaqah. Tidak wajib.
Tetapi, marilah kita simak hadis berikut. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai kekuatan dengan sempurna.” (HR Tirmidzi).
Karena itu, seorang laki-laki hendaknya berusaha mandiri. Apalagi ketika ia telah mempunyai niat untuk menikah, bahkan telah meminang. Berusaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi diri sendiri dan keluarga adalah suatu kehormatan, sehingga seseorang lebih bisa menegakkan kepala ketika ada sesuatu yang harus disikapi. Ketergantungan secara ekonomi kepada keluarga, bisa melahirkan tekanan psikis dan konflik-konflik yang pelik manakala seseorang telah menikah.
Kemandirian ini perlu saya bahas di sini mengingat pentingnya masalah. Sebagian laki-laki berharap menikah, akan tetapi hendak menggantungkan kebutuhan ekonominya kepada keluarga. Di antara mereka bahkan ada yang bersikap agak apatis terhadap usaha mencari sendiri penghasilan yang halal, sebelum menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Ada pikiran untuk tetap meminta kiriman orangtua, dan mengharapkan agar orangtua istrinya juga tetap mengirimkan biaya hidup setiap bulannya.
Sikap ini melemahkan keberanian untuk bertanggungjawab terhadap istri yang dinikahinya. Tanggung jawab tidak hanya berkait dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, melainkan mencakup pula berbagai tanggung jawab lain yang juga bersifat penting dan mendasar bagi kehidupan bersama dalam rumah tangga.
Sikap ini potensial untuk menimbulkan konflik, terutama konflik psikis bagi istri. Harga diri dan rasa percaya diri sebagai keluarga sulit untuk ditegakkan. Dengan demikian ketergantungan secara ekonomi melahirkan ketidakberdayaan pada aspekaspek lain yang seharusnya dibangun berdua dalam rumah-tangga yang mesra.
Mereka mempunyai posisi yang lemah di hadapan orangtua, mertua, saudara, kerabat lain, dan bahkan mereka lemah di hadapan dirinya sendiri. Kepercayaan istri terhadap integritas pribadi suami juga kurang bisa terbangun.
Dampak dari keadaan ini sangat luas, khususnya terhadap pembentukan orientasi keluarga dan kesiapannya untuk memberikan pendidikan kepada anak menurut apa yang dipandang maslahat dan ideal. Kurang terbangunnya rasa percaya diri sekaligus harga diri sebagai keluarga, mempengaruhi citra mereka tentang keluarga mereka sendiri. Ini mempengaruhi mereka dalam memberi pengasuhan kepada anak, sehingga bisa melahirkan pola-pola sikap yang kurang sesuai dalam mengasuh anak. Sejak dari child-abuse (kekejaman terhadap anak), pengabaian anak sampai ketidakpekaan orangtua terhadap kebutuhan psikis anak. Kalau ditarik lagi, akan terdapat rentetan dampak psikis yang lain.
Lalu, bagaimana kalau orangtua berinisiatif untuk tetap membiayai anaknya masing-masing agar kuliahnya dapat diselesaikan dengan baik? Tidak masalah dan bahkan baik, sejauh suami tetap mempunyai keinginan untuk tidak menggantungkan diri sepenuhnya kepada kiriman orangtua. Sekalipun kenyataannya, hampir seratus persen masih tetap berasal dari orangtua masing-masing. Tetapi niat yang kuat untuk tidak menggantungkan sepenuhnya, merupakan bentuk adanya tanggung jawab. Inilah yang paling penting.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Terlaknatlah orang yang membebankan semua kebutuhannya kepada orang lain.”
Terkadang, inisiatif menikah berasal dari orangtua demi menyelamatkan anaknya dari kekejaman maksiat. Mereka menawarkan untuk tetap membiayai kuliah sampai selesai sekaligus memberi biaya hidup. Ini adalah sikap yang baik dan terpuji. Insya Allah, kelak mereka akan menjumpai upayanya sebagai kemuliaan di akhirat. Allahumma amin.
Tetapi, kesediaan orangtua tertentu –ada yang bahkan mengajukan inisiatif– untuk membiayai keluarga yang baru dibangun oleh anak mereka, tidak bisa menjadi ukuran agar orangtuanya juga memberi perlakuan yang sama terhadap keluarganya.
Kalau pun orangtua ternyata menjaminkan biaya hidup, mestinya ia juga tetap memiliki keinginan yang kuat untuk mencari nafkah yang halal dan thayyib agar yang masuk ke perut istri, kelak janin yang dikandung istrinya hingga saatnya lahir, adalah harta yang halal dan utama.
Islam menunjukkan sikap yang sangat menghargai kesungguhan seorang pemuda memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ibadah itu ada tujuh puluh bagian, yang paling utama adalah mencari (rezeki) yang halal.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda: “Mencari rezeki yang halal adalah kewajiban sesudah kewajiban shalat.”
Pada hadis yang lain, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak seorang pun makan makanan yang lebih baik daripada yang dihasilkan dari hasil kerja tangannya (sendiri).” (HR Bukhari).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda: “Orang yang minta-minta padahal tidak begitu menghajatkan, sama halnya dengan orang yang memungut bara api.” (HR Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya).
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis shahih, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Selalu minta-minta itu dilakukan oleh oleh seseorang di antara kamu, sehingga dia akan bertemu Allah, dan tidak ada di mukanya sepotong daging.” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menegaskan: “Barangsiapa merasa lelah karena bekerja sehari suntuk untuk mencari rezeki yang halal, niscaya diampuni segala dosanya.”
Ketika seseorang telah diampuni segala dosanya, maka Allah akan mencurahkan rahmat-Nya. Ia menjadi penjaga dan pelindung. Dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Kalau Allah yang memberi penjagaan, Insya Allah kelak akan lahir dari rahim istri anak-anak yang takwa lagi suci sebagaimana do’a suami ketika pertama kali memegang kening istrinya. Insya Allah mereka akan menjadi anak yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah. Sedang di akhirat mereka akan menjadi penolong bagi orangtuanya selagi orangtuanya tetap beriman, meski derajat amalnya tidak sebanding dengan derajat amal anaknya. Nanti, simaklah Ar Ra’d ayat 23.
Oleh karena itu, ketika datang pinangan, perhatikan apakah calon suami Anda telah mandiri. Kalau tidak, apakah calon suami Anda selama ini telah berusaha mandiri dan mempunyai iktikad untuk mandiri.
Barangkali ia belum mempunyai penghasilan yang memadai. Tetapi pilihan sikapnya untuk mandiri, Insya Allah menjadi petunjuk tentang kesiapannya memikul tanggung jawab sebagai suami dan kelak sebagai ayah. Seorang suami yang bertanggung jawab lebih berarti dan lebih dekat dengan keselamatan dunia-akhirat serta kemesraan keluarga. Insya Allah, kehadiran Anda kelak sebagai istri, memudahkan pertolongan Allah terhadap datangnya rezeki yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga. Mencukupi kebutuhannya yang besarnya barangkali tak terbayangkan dapat dipenuhinya ketika calon suami Anda belum menikah seperti sekarang ini. Allah akan menolong. Insya Allah.
Ada beberapa hadis yang menunjukkan hal ini.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Carilah oleh kalian rezeki dalam pernikahan (dalam kehidupan berkeluarga).” (HR Imam Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus).
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, Rasulullah bersabda, “Tiga orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala., seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah demi menjaga kehormatan dirinya.” (HR Thabrani).
Dalam hadis lain dengan derajat shahih, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tiga golongan orang yang pasti mendapat pertolongan Allah, yaitu budak mukatab yang bermaksud untuk melunasi perjanjiannya, orang yang menikah dengan maksud memelihara kehormatannya, dan yang orang berjihad di jalan Allah.” (HR Turmudzi, An-Nasa’i, Al-Hakim dan Daruquthni).
Di dalam Al-Qur’anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala. telah berfirman, “Dan kawinkanlah orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.” (QS An-Nur:32).
Berkenaan dengan ayat ini, Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anh berkata, “Taatlah kepada Allah dalam apa yang diperintahkan kepadamu yaitu perkawinan, maka Allah akan melestarikan janji-Nya kepadamu yaitu kekayaan. Allah telah berfirman; ‘jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya’“. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari Ad-Dur Al-Mantsur).
Ada perkataan dari Umar bin Khaththab yang dapat Anda renungkan. Beliau berkata, “Sungguh aku memaksakan diri bersetubuh dengan harapan Allah akan mengkaruniakan dariku makhluk yang akan bertasbih dan mengingat-Nya.” Dan Umar pun menganjurkan, “Perbanyaklah anak, karena kalian tidak tahu dari anak yang mana kalian mendapatkan rizki.”
Akhirnya, marilah kita menengok sebuah hadis Nabi. Luruskanlah niat dan tumbuhkan keyakinan. Mudah-mudahan dengan jernihnya pikiran dan bersihnya hati ketika mempertimbangkan pinangan seorang pemuda yang akhlaknya tidak engkau ragukan, sedangkan kemampuannya memenuhi ma’isyah saat ini masih belum mapan, mendekatkan pada pertolongan-Nya.
Mari kita simak hadis ini, mudah-mudahan Allah memasukkan keyakinan dan husnuzhan kepada-Nya.
Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam diriwayatkan berkata, “Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian di antara kamu, sesungguhnya Allah akan memperbaiki akhlak mereka, meluaskan rezeki mereka, dan menambah keluhuran mereka.”
Allah Maha Luas Pertolongan-Nya. Maha Luas.
Ada Ladang Amal Shalih
Pernikahan adalah keagungan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Di dalamnya ada keindahan dan ketenteraman. Di dalamnya ada rasa cinta kepada kekasih yang menemukan tamannya. Di dalamnya juga ada ladang amal shalih. Jodoh ada di tangan Tuhan. Kadang-kadang seorang wanita mendapatkan pendamping yang sekilas menurut pandangan mata zhahir manusia, tidak sepadan ilmu maupun ibadahnya. Wanitanya sangat khusyuk dalam beribadah, kuat menegakkan shalat malam –barangkali seperti Rabi’ah Asy-Syamiyah– dan tinggi ilmu agamanya. Sedangkan laki-laki yang menikahinya, ternyata tidak sebanding dalam hal ilmu maupun ibadah.
Sebaliknya juga bisa terjadi. Laki-lakinya sangat luas pengetahuannya mengenai kitab-kitab yang berisi ilmu-ilmu agama. Bekas shalatnya tampak di kening. Tetapiistrinya sekilas tidak mencapai kedudukan yang sederajat karena ilmu dan ibadahnya yang kurang.
Ada pertanyaan, mengapa demikian? Jawab saya sederhana, wallahu a’lam bish Shawab. Allah Maha Bijaksana. Ia mengetahui kebaikan-kebaikan besar yang tidak nampak dalam penglihatan mata akal kita. Sebagian dari pernikahan semacam itu adalah ujian, kecuali jika mereka memang memilih bukan atas dasar agama. Mereka menikahi laki-laki atau wanita yang tidak sepadan karena mengejar kemuliaan, harta, atau martabat. Tentang ini Rasulullah telah memperingatkan agar kita tidak terjerumus ke dalamnya.
Tetapi, adakalanya pernikahan semacam ini berlangsung tidak karena dorongandorongan rendah seperti itu. Pernikahan yang sepintas tidak seimbang itu, membuka ladang amal shalih yang tidak bisa dilakukan oleh mereka yang belum menikah.
Tugas suami memang memberi pendidikan dan pengarahan kepada istri. Tetapi ketika istri mempunyai pengetahuan agama yang lebih banyak, dia dapat mengajarkan kepada suaminya apa-apa yang belum diketahui suaminya, dengan niat berbakti kepada suami dalam rangka mencari ridha Allah. Insya Allah, pada pernikahan yang semacam ini Allah melimpahkan barakah dan kelak memberikan keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah.
Seorang istri yang mengajarkan beberapa pengetahuan agama kepada suaminya, perlu berhati-hati agar tidak terjatuh kepada sikap meninggikan diri di hadapan suami. Sehingga ia tidak mendengarkan kata-kata suaminya dan tidak menaati. Juga, seorang wanita shalihah perlu menjaga diri benar-benar agar sikapnya tidak menjauhkan suami dari ibunya sedemikian sehingga si suami lebih mendengar kata-kata istrinya dan mengabaikan nasehat ibunya.
Seorang suami yang memiliki ilmu agama yang lebih tinggi dari istri, dapat menjadi pegangan bagi istri untuk bertanya hal-hal yang tidak diketahuinya. Suami yang demikian ini perlu memiliki sifat yang penuh kasih-sayang, membimbing dan ridha ketika mendidik dan mengarahkan istrinya. Mudah-mudahan istri dapat belajar kepada suaminya bagaimana memberikan pengajaran dan pendidikan kepada anakanak yang lahir dari rahimnya, kelak ketika Allah telah menjadikan dia merelakanrasa sakitnya untuk melahirkan.
Setiap ilmu yang sampai kepada manusia dan diamalkan, maka Allah mengalirkan pahala kepada yang menyampaikan tanpa mengurangi pahala yang melaksanakan sedikit pun. Kalau amalan suami yang diridhai Allah berawal dari ilmu yang disampaikan istri, maka baginya pahala sebanyak yang dilakukan oleh suami tanpa terkurangi. Demikian juga sebaliknya, istri yang mengerjakan kebajikan setelah mendapatkan pendidikan dari suaminya, maka Allah akan mencatat kebaikan yang sama. Insya Allah, di sinilah ilmu akan barakah sampai anak-cucu.
Kalau suami-istri itu adalah ahli ibadah, Insya Allah mereka dapat saling membantu dalam ketakwaan. Kalau istri sudah menjadikan shalat malam sebagai perhiasan hidupnya, sedangkan suami masih belum terbiasa, istri dapat membiasakan suaminya untuk mulai menegakkan shalat malam. Demikian pula bagi seorang suami, ia dapat membimbing istri untuk melakukan shalat malam di rumah. Adapun kalau keduanya belum terbiasa untuk shalat malam, mereka dapat saling membantu.
Ada banyak hadis yang dapat kita renungkan, misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban di dalam shahihnya serta al-Hakim, bahwa Rasulu-llah bersabda, “Barangsiapa bangun malam dan membangunkan istrinya kemudian keduanya shalat dua raka’at –Nasa’i menambahkan, berjama’ah—maka keduanya ditulis di antara orang-orang lelaki dan orang-orang perempuan yang banyak berzikir”. (Al-Hakim berkata: shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim. Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan, hadis ini shahih).
Pembahasan lebih lanjut Insya Allah kita lakukan pada bab Keindahan Yang Lebih Besar, di bagian dua jendela kedua buku ini. Saat ini, yang penting adalah memeriksa sikap calon suami yang datang meminang Anda. Sikap dan semangat yang baik, Insya Allah lebih dapat mengantarkan suami-istri kepada jalan kebaikan. Betapa banyak orang yang mempunyai pengetahuan luas, tetapi kurang memiliki keyakinan.
Jadi, inilah jawaban saya atas pertanyaan sebagian akhwat mengenai (calon) suami yang ilmu agamanya kurang atau suami yang ilmu agamanya jauh lebih tinggi.
Di luar itu, saya ingin menambahkan. Kita tidak bisa mengukur tinggi tidaknya derajat ketakwaan seseorang. Ada kalanya seseorang mencapai derajat yang tinggi bukan karena banyaknya ibadah yang dilakukan maupun luasnya pengetahuan yang dimiliki. Ia mencapai derajat yang lebih tinggi karena kejujurannya dalam berdagang maupun hati yang tidak pernah memiliki prasangka buruk kepada saudaranya sesama Muslim, misalnya. Allahu A’lam bish Shawab wallahul musta’an.