Misalnya ada sekumpulan orang yang sedang berlibur di tepi pantai. Di kalangan mereka ada sekelompok orang yang mahir berenang. Tiba-tiba mereka melihat ada anak kecil yang hampir tenggelam dan dia menjerit minta tolong dan tidak ada seorang pun dari perenang itu yang menolongnya. Maka ketika seorang laki-laki yang pandai berenang akan menolong anak tersebut, tiba-tiba ayah laki-laki itu melarangnya untuk melakukan pertolongan. Apakah ada seorah ahli fiqih yang menyatakan bahwa perenang itu harus mentaati ayahnya dan membiarkan anak tersebut mati tenggelam? Dan ini adalah contoh keadaan di Afghanistan sekarang ini. Karena Afghanistan telah meminta tolong, di sana anak-anak kecil disembelih, tanah-tanahnya dirampas dan orang-orang baiknya dibunuh dan perburuan terhadap manusia tersebar di mana-mana.
Dan ketika beberapa pemuda yang mempunyai iman yang kuat ingin menolong kaum muslimin Afghanistan itu, tiba-tiba para pemuda itu dihadapkan kepada pertanyaan:“Bagaimanakah kamu berangkat jihad ke Afghanistan padahal kamu belum izin kepada kedua orang tuamu?”
Menyelamatkan anak yang akan tenggelam tadi adalah fardhu atas setiap perenang yang melihatnya. Dan sebelum seseorang dari mereka bergerak menolong anak tersebut, kewajiban itu tidak akan hilang atas semua dari mereka. Sehingga kalau anak tersebut tenggelam dan mati karena tidak ada yang berusaha menolongnya, segenap perenang tadi berdosa.
Ibnu Taimiyah menyatakan, “Bila musuh telah menyerang ke suatu negeri kaum muslimin, tidak ada khilaf di kalangan ulama, sesungguhnya mencegah bahaya musuh terhadap agama, jiwa dan kehormatan kaum muslimin adalah sesuatu yang wajib.”[1]
Adapun dalil keharusan meminta izin kepada kedua orang tua adalah ketika perang termasuk fardhu kifayah, ketika hokum turut berperang menjadi fardhu ‘ain tidak perlu ada izin orang tua, berdasarkan pemahaman kedua hadits berikut:
عن عبد الله بن عمرو قال: جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم يستأذنه في الجهاد فقال ألك والدان قال نعم قال ففيهما فجاهد
‘Dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a.: Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta izin daripadanya untuk berjihad. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepadanya: Apakah kedua orang tuanya masih hidup? Dijawab: Ya! Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Berbakti kepada keduanya adalah jihad.” (HR Bukhari)[2]
جاء رجل الى رسول الله ص فسأله عن أفضل الأعمال قال: الصلاة، قال: ثم مه قال: الجهاد، قال: فإن لي والدين، فقال: آمرك بوالديك خيرا ، فقال: والذي بعثك بالحق لأجاهدن وأتركهما، قال: فأنت أعلم
“Dari Abdullah bin Amr r.a.: Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian dia menanyakan kepada beliau tentang amal yang utama. Rasulullah menjawab: Shalat. Dia bertanya lagi: kemudian apa? Beliau menjawab: Jihad. Kemudian laki-laki itu menyatakan: Aku mempunyai dua orang tua. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: Aku menganjurkan kepadamu untuk berbuat baik kepada kedua orang tuamu. Lelaki itu menyatakan: Aku bersumpah demi yang mengutus engkau dengan benar, aku akan berjihad dan aku akan tinggalkan keduanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Engkau lebih tahu (urusanmu).” (HR Ibnu Hibban)[3]
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan bahwa bila kedua hadits tersebut dikompromikan maka mengandung kemungkinan jihad yang dimaksudkan dalam jihad yang fardhu ‘ain.[4]
[1] Al Fatawa Al Kubra, 4;607
[2] Hadits Shahih, diriwayatkan dari Abdullah bin Amru oleh Al Bukhari, Shahih, 3;1094, 4;2228, Muslim, Ash Shahih, 4;1975, Abu DAwud, As Sunan, 3;17, At Tirmidzi, As Sunan, 4;191, An Nasa’i, As Sunan, 6;10, Ahmad, Al Musnad, 2;65, 188, 193, 221,
[3] Hadits Hasan, diriwayatkan dari Abdullah bin Amru oleh Ibnu Hibban, Ash Shahih, 5;8, Mawarid adh-Dham’an, 1;87, Ahmad, Al Musnad, 2;172
[4] Fath Al Bari, 6;106