Di Alun-Alun Madinah Munawarah (Bagian 1)[1]

Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, juga untuk segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.

Wahai Ikhwan yang mulia. Saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari sisi Allah yang baik dan diberkati: assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Amma ba’du. Alangkah bahagianya saya bisa berjumpa dengan Anda semua di alun-alun Madinah Munawarah, karena keutamaan Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam. Tanah Madinah adalah berkah, udaranya berkah, langitnya berkah, dan semua yang ada di dalamnya adalah berkah. Bahkan, Madinah adalah sumber berkah, kebaikan, dan cahaya.

Ikhwan sekalian, saya datang untuk berkenalan dengan Anda semua dan untuk menyatukan kata sebagaimana yang diserukan oleh Al-Qur’anul Karim. Saya ingin mengarahkan perhatian Anda, bahwa agama yang hanif ini telah menyelamatkan kita dari gelap kebodohan kepada cahaya petunjuk dan pengetahuan.

“Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al- Maidah: 15-16)

Dunia ketika itu dalam keadaan bingung. Dunia tumbuh di atas kerusakan aqidah, gelapnya kebodohan, sehingga ia dibangun tanpa fondasi, bekerja tanpa petunjuk. Kemudian Islam datang menerangkan jalan yang lurus kepadanya.

“Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan(Nya) itu yang baik ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke neraka Jahanam?” (QS. At-Taubah: 109)

Islam datang dengan beberapa fondasi yang dijadikannya sebagai azas bagi bangunan Islam. Jumlahnya ada tujuh fondasi, dan saya akan menjelaskannya kepada Anda semua.

Fondasi pertama, iman.

Apabila iman kita kuat, kita pun menjadi kuat dan kemenangan akan senantiasa menyertai kita.

“Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (QS. Ar-Rum: 47)

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.’ Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.” (QS. Al-Anfal: 12)

“Sungguh Allah telah menolong kalian dalam peperangan Badar, padahal kalian adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertaqwalah kepada Allah, supaya kalian mensyukuri-Nya. (Ingatlah) ketika kalian mengatakan kepada orang mukmin, ‘Apakah tidak cukup bagi kalian Allah membantu kalian dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?’ Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap siaga, dan mereka datang menyerang kalian dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kalian dengan lima ribu malaikat yang diturunkan (dari langit).” (QS. Ali-lmran: 123-125)

Jika keimanan yang kuat menancap di hati kita, maka segala kesulitan terasa ringan. Musa alayhissalaam pernah keluar bersama kaumnya yang berjumlah sedikit dan hampir terkejar oleh Fir’aun dan bala tentaranya.

“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikutpengikut Musa, ‘Sesungguhnya kita akan benar-benar tersusul.'” (QS. Asy- Syu’ara: 61)

Tetapi, Musa yang hatinya telah dipenuhi dengan keimanan, mengatakan, “Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’ara: 62)

Ikhwan sekalian, demikian halnya rasul kita shalallahu ‘alayhi wa sallam ketika berada di dalam gua, sedangkan Abu Bakar Shidiq radhliyallahu ‘anhu telah mengkhawatirkan keselamatan beliau. Sebagai perwujudan sempurna dari keimanan yang kuat, Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan, “Bagaimana pendapatmu, Abu Bakar, tentang dua orang, yang Allah adalah yang ketiganya?”

“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At-Taubah: 40)

Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan pelajaran yang agung. “Jikalau kalian tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kalian tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah: 40)

Sekarang ada orang-orang yang mengatakan, “Mereka adalah para nabi, tentu saja kita tidak sama dengan mereka.” Saya jawab, “Sesungguhnya, selain memuliakan para Rasul, Allah subhanahu wa ta’ala juga memuliakan pengikut-pengikut para rasul itu dan siapa saja yang mengikuti jejak mereka. Para sahabat ketika berhadapan dengan orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka,’ maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.'” (QS. Ali-lmran: 173)

Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala telah memberlakukan hal demikian itu secara umum.

“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orangorang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari Kiamat).” (QS. Al-Mukmin: 51)

Fondasi kedua, ilmu.

Ilmu bisa membawa manusia kepada kebahagiaan dan ketinggian.Tidak ada kebangkitan pada suatu umat tanpa ilmu. Orang-orang kafirtidak bisa berkuasa kecuali karena ilmu. Dan kita tidak mengalamikemunduran kecuali karena kebodohan. Ilmu dan kebodohan adalahdua hal yang tidak sama.

“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9)

Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda, “Siapakah di antara kalian yang suka pergi ke Bathan atau ke Atiq, lantas menemukan unta yang gemuk, kemudian dibolehkan membawanya tanpa dianggap berdosa atau bersalah?” Maka para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami semua suka.” Maka beliau bersabda, “Sungguh, salah seorang dari kalian pergi ke masjid, belajar satu ayat dari kitab Allah, itu lebih baik daripada seekor unta. Dua ayat lebih baik daripada dua ekor unta, tiga ayat lebih baik daripada tiga ekor unta, demikian seterusnya dengan hitungan yang lebih baik daripada unta.”

Ikhwan sekalian, yang saya maksudkan ilmu di sini adalah dengan kedua macamnya, yaitu ilmu dien (agama) dan ilmu duniawi. Bahkan, apabila umat membutuhkan ilmu duniawi, maka mencarinya merupakan kewajiban kifayah bagi umat tersebut. Al-Qur’anul Karim mengisyaratkan hal itu di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Tidakkah kalian melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan diantara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula)di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 27-28)

Fondasi ketiga, harta.

Harta adalah perhiasan kehidupan di dunia. Ia merupakan urat nadi kehidupan dan bekal bangsa-bangsa.

“Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasan kalian) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (QS. An-Nisa: 5)

Maka setiap individu dan bangsa wajib berusaha mencukupi kebutuhan dirinya dengan cara bekerja. Seorang mukmin tidak selayaknya menggantungkan kehidupannya kepada orang lain, meminta-minta kepada orang lain, karena tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan untuk bekerja.

“Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kalian (kembali setelah) dibangkitkan.”(QS. Al-Mulk: 15)

Para sahabat radhliyallahu ‘anhum adalah orang-orang yang semula fakir, lantas Allah menjadikan mereka kaya dan membukakan perbendaharaan Kisra (Persia) dan Kaisar (Romawi) untuk mereka. Zuhud bukan berarti Anda meninggalkan dunia dan membiarkannya dikelola dan dinikmati oleh orang-orang kafir, sedangkan Anda tidak memperolehnya dengan beralasan kepada sabda Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, “Ketahuilah, sesungguhnya dunia adalah terkutuk dan segala yang ada di dalamnya adalah terkutuk.”

Juga sabda beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam, “Andaikata berat dunia itu di sisi Allah setara dengan berat sayap nyamuk, niscaya Allah tak akan memberi minum orang kafir walaupun hanya setetes air.”

Hakikat zuhud, wahai Akhi, adalah hendaklah Anda memiliki dunia sehingga bagi Anda sama saja antara emas dan tanah, lantas menginfakkan harta Anda di jalan Allah dalam keadaan lapang tanpa merasa sayang terhadap apa yang telah Anda infakkan itu dan tanpa berlebih-lebihan, dengan syarat hendaklah hasil kerja Anda didapat dari jalan yang halal.

Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda kepada Amru bin Ash, “Amr, sebaik-baik harta halal adalah harta yang dimiliki orang shalih.”

Suatu ketika Abdurahman bin Auf datang kepada Aisyah, Ummul Mukminin radhliyallahu ‘anha, Aisyah berkata dengan nada bercanda, “Abdurrahman, menurutku kamu akan masuk surga dengan merangkak dan tertinggal dari sahabat-sahabatmu karena banyaknya harta dan hisabmu.” Maka Abdurahman menjawab, “Demi Allah, jika engkau mau, aku akan memasukinya dengan berlari.” Aisyah bertanya, “Bagaimana?” Abdurahman balik bertanya, “Apakah engkau pernah mendengar katilah Mesir?”Aisyah menjawab, “Ya.” Abdurrahman berkata, “Semua saya sedekahkan kepada orang-orang fakir dan miskin.” Aisyah berkata, “Jika demikian, engkau akan memasukinya dengan berlari.”

Disebutkan dalam hikayat bahwa seseorang membekali anaknya dengan sejumlah uang agar digunakannya untuk berdagang. Hal itu dimaksudkan untuk menyiapkan anaknya menghadapi masa depannya. Dalam perjalanan, anak itu melihat seekor serigala yang lemah dan sudah tidak bisa mencari makan. Ia berpikir, dari mana serigala itu makan? Tiba-tiba ia melihat singa membawa binatang mangsanya. Ia memakan mangsanya sampai kenyang, kemudian melemparkan sisanya kepada serigala itu. Serigala itu pun memakannya. Maka, pemuda itu berkata dalam hatinya, “Buat apa saya menyusahkan diri sendiri, sedangkan Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya?” Ketika kembali kepada ayahnya tanpa membawa hasil apa pun sesuai kehendak ayahnya, pemuda itu menceritakan apa yang dilihatnya. Maka sang ayah berkata, “Aku ingin agar kamu menjadi singa yang bisa memberi makan banyak serigala, bukan serigala yang memakan sisa-sisa makanan singa.”

Wahai Akhi, jangan lantaran zuhud Anda meninggalkan dunia dan membiarkannya dinikmati orang-orang kafir dan digunakannya untuk memerangimu.

Fondasi keempat, kesehatan.

Kesehatan ibarat mahkota yang Anda kenakan di kepala dan hanyabisa dilihat oleh orang yang tidak memilikinya. Kekuatan dan kesehatanmerupakan hiasan bagi manusia. Karena itu, hendaklah Anda memperhatikannya,karena Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam telah menganjurkannya kepada kita danmembuat aturan untuk itu, “Sesungguhnya, badanmu mempunyai hak atas dirimu.” Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam adalah penghulu dari orang-orang yang sehatdan kuat. Beliau pernah bergulat melawan sepuluh orang dan berhasilmengalahkan mereka semua.

Al-Qur’anul Karim telah mengisyaratkantentang kekuatan pada firman Allah, “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” (QS. Al-Baqarah: 247)

Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam biasa memohon kepada Allah kesehatan, baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu doa beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam adalah: ‘Ya Allah, anugerahilah aku kesehatan badan, anugerahilah aku kesehatan pendengaran, dan anugerahilah aku kesehatan penglihatan.”

Beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekhawatiran dan kesedihan, aku berlindung kepadamu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari kepengecutan dan kebakhilan, dan aku berlindung kepada-Mu dari hutang yang menumpuk dan paksaan orang. “

Beliau telah menjelaskan kepada umat Islam, bagaimana memelihara kesehatan dan kekuatan.

Fondasi kelima, kekuatan jihad.

Hakikat kaidah ini adalah persiapan dan kesiapan untuk menghadapi musuh. Allah telah mewajibkan jihad kepada kita dan menjadikannya sebagai puncak ajaran Islam.

“Dan berjihadlah kalian di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj: 78)

Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda dalam rangka menanamkan motivasi berjihad, “Ku ingin kiranya aku terbunuh, kemudian hidup, kemudian dibunuh lagi.” Beliau bersabda demikian, tiga kali.

Beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda kepada Jabir bin Abdullah —setelah ayahnya terbunuh sebagai syahid—, “Jabir, apakah yang telah dilakukan Allah terhadap ayahmu?” Jabir menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda, “Allah mendirikannya di hadapan-Nya, lantas ia memohon kepada Allah agar dikembalikan ke dunia supaya bisa berjihad dan dibunuh kembali, lantaran kemuliaan yang dilihatnya.”

Ikhwan sekalian, jihad merupakan cita-cita yang dirindukan dan terus tersimpan dalam diri mereka sampai mereka bisa mencapainya. Untuk meraihnya mereka rela mengorbankan apa pun yang sangat mereka cintai. Dalam bidang fiqih, para fuqaha membuat bab khusus tentang jihad yang mereka namakan “Bab Jihad”. Para ahli mengatakan, “Barangsiapa yang memegang kunci-kunci laut, maka kemenangan akan selalu menyertainya.” Demikianlah keadaan para salaf pendahulu kita. Mereka menguasai Gibraltar, Suez, Singapura, Ghalambuli, Babul Mandab, dan selat-selat yang lain.

Fondasi keenam, harga diri dan kemuliaan.

Kemuliaan merupakan sifat khas orang beriman. Dengan kemuliaan itu, orang-orang beriman menjadi umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memberikan kerendahan dirinya dengan sukarela, tanpa dipaksa, ia bukan dari golonganku.” Rasul shalallahu ‘alayhi wa sallam senang apabila umatnya mempunyai kemuliaan dan harga diri.

Fondasi ketujuh, keadilan.

Keadilan artinya, hendaklah dada Anda lapang, sehingga bersikap adil terhadap diri sendiri, saudara-saudara Anda, dan semua orang.

Inilah, Ikhwan sekalian, jalan lurus. Saya kagum dengan perkataan sebagian orang bahwa manusia itu dibagi menjadi tiga. Pertama, orang-orang yang mencari kebenaran, kemudian mengetahuinya tetapi lantas menyimpang darinya. Kedua, orang-orang yang mencari kebenaran, tetapi tidak berhasil mengetahuinya. Ketiga, orang-orang yang mencari kebenaran, kemudian mendapatkannya dan mereka konsisten melaksanakannya. Golongan pertama akan binasa. Golongan kedua dimaafkan. Sedangkan yang ketiga adalah yang selamat atas izin Allah.

Saya cukupkan di sini, saya memohon ampunan kepada Allah untuk diri saya dan Anda semua. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Sayidina Muhammad, juga kepada segenap keluarga dan sahabatnya.



[1] Tema ini disampaikan Imam Syahid Hasan Al-Banna di hadapan kaum muslimin saat musim haji di Madinah Munawarah, di suatu event yang dibuat oleh Ikhwanul Muslimin. Pertemuan serupa ini sering dilaksanakan.