Di Bawah Naungan Al Qur’an: Sebuah Pengantar (1)

Hidup di bawah Al Qur’an merupakan suatu kenikmatan. Kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang pernah mereguknya. Kenikmatan yang mengangkat, memberkati, dan mensucikan umur kehidupan.

Segala puji bagi Allah, yang telah mengaruniaku kehidupan di bawah naungan Al Qur’an, beberapa kurun waktu. Pada saat-saat itulah saya telah mereguk kenikmatan hidup di bawah naungan Al Qur’an, suatu kenikmatan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Saya merasakan betapa kenikmatan yang telah meningkatkan, memberkati, dan mensucikan kehidupan itu.

Saya hidup mendengarkan Allah -Maha suci Dia- berbicara kepadaku dengan Al Qur’an ini, meski aku adalah seorang hamba yang kecil dan kerdil. Kemuliaan apa yang dapat menandingi kemuliaan yang dilimpahkan oleh Tuhan yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia ini? Adakah peningkatan martabat kehidupan yang lebih baik dari apa yang telah ditingkatkan oleh Al Qur’an ini? Adakah kedudukan (maqam) manusia lebih utama ketimbang kedudukan yang telah dianugerahkan Tuhan Penciptanya yang Maha Mulia?

Saya hidup –di bawah naungan Al Qur’an- memandang dari atas ke arah jahiliyah yang bergejolak di muka bumi dan berbagai pusat orang-orang jahiliyah yang remeh temeh. Saya melihat kekaguman orang-orang jahiliyah itu tertuju kepada pengetahuan yang tak lebih dari pengetahuan kanak-kanak, persepsi balita, dan perhatian anak-anak kecil, tak ubahnya orang dewasa menyaksikan permainan dan senda gurau anak-anak.  Saya heran…, mengapa manusia sampai demikian? Mengapa mereka mau menistakan diri dalam kehidupan yang rendah dan tidak mau mendengarkan seruan yang tingi lagi mulia, seruan yang meninggikan, memberkati, dan mensucikan kehidupan.

Saya hidup –di bawah naungan Al Qur’an- dengan mencermati dan menikmati konsep tentang wujud yang demikian sempurna, lengkap, tinggi, dan jernih. Tentang tujuan semua wujud, tujuan eksistensi manusia. Saya bandingkan dengan persepsi jahiliyah yang dijalani manusia baik di timur, barat, utara ataupun selatan.. Saya bertanya…, bagaimana manusia mau hidup dalam kubangan busuk, di lapisan bawah yang nista, dalam ruang kegelapan yang amat pekat, padahal mereka memiliki ruangan yang bersih, punya tangga yang tinggi, dan cahaya yang terang benderang??

Saya hidup -dibawah naungan Al Qur’an- merasakan keharmonisan yang amat indah antara gerak kehidupan manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah dan gerak alam semesta yang diciptakan-Nya. Kemudian saya memandang kehidupan jahiliyah, lalu saya saksikan kekacaubalauan yang dialami manusia akibat melakukan penyimpangan dari berbagai sunnah kauniyah, akibat terjadinya benturan antara berbagai ajaran yang rusak lagi jahat yang dipaksakan kepadanya dengan fitrahnya yang telah ditetapkan Allah pada dirinya. Saya berkata dalam hati: Gerangan setan celaka manakah yang telah menyeret langkah manusia ke arah jahannam ini?

Alangkah ruginya manusia!!!

Saya hidup –di bawah naungan Al Qur’an- menyaksikan wujud ini jauh lebih besar ketimbang tampak luarnya yang tersaksikan. Lebih besar dalam hakekatnya. Lebih besar dalam berbagai aspeknya. Ia adalah alam ghaib dan alam nyata, bukan alam nyata belaka. Ia adalah dunia dan akhirat, bukan dunia semata-mata. Kehadiran manusia tak lain hanyalah merupakan kelanjutan dalam hamparan perjalanan yang amat panjang. Kematian bukanlah akhir perjalanan tetapi merupakan fase dalam perjalanan itu. Apa yang dicapai manusia di muka bumi ini bukanlah keseluruhan perolehannya, tetapi hanya bagian kecil darinya. Balasan yang luput dari dirinya di sini, tak akan luput di alam sana. Karena tidak ada lagi kezaliman, tidak ada lagi yang dirugikan dan tidak ada lagi yang disia-siakan. Hanya saja perlu disadari bahwa fase yang dilalui manusia di atas planet ini tidak lain hanyalah merupakan perjalanan di suatu jagat raya yang hidup dan menyenangkan, alam yang bersahabat dan akrab, alam yang punya ruh yang memberi dan merespon, alam yang menuju kepada Pencipta yang Maha Esa yang menjadi arah dan tujuan roh seorang Mukmin:

“…kepada Allah-lah sujud (patuh) apa yang ada di langit dan di bumi, suka atau tak suka, berikut bayang-bayangnya, tiap pagi dan petang.” (Ar Ra’d(13): 15)

“Kepada-Nya bertasbih tujuh langit dan bumi dengan segala isinya, tidak satu pun yang tidak bertasbih memuji-Nya…” (Al Isra’(17): 44)

Kepuasan mana, keleluasaan mana, sukacita mana, dan kepercayaan mana yang bisa dirasakan hati secara melimpah lebih dari yang dilimpahkan oleh konsep yang sempurna, lengkap, lapang, dan benar?

Saya hidup –di bawah naungan Al Qur’an- melihat manusia jauh lebih mulia dari semua penghargaan yang pernah diberikan oleh manusia kepada manusia, sepanjang sejarahnya. Sesungguhnya ia adalah manusia dengan tiupan ruh dari Allah.

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Al Hijr (15) :29)

Dengan tiupan ruh ini, manusia menjadi khalifah di muka bumi.

“Dan ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat: Sesungguhnya Aku akan menciptakan khalifah di bumi..” (Al Baqarah (2): 30)

Semua yang ada di bumi ditundukkan untuknya.

Dia persiapkan untuk kamu sekalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi seluruhnya..” (Al Jatsiyah(45) :13)

Karena limpahan kemuliaan dan ketinggian ini diberikan kepada manusia ini maka Allah menjadikan ikatan yang bisa menghimpun manusia adalah ikatan yang bersumber dari tiupan ilahiyah yang mulia itu, Dia menjadikannya sebagai ikatan ‘aqidah fillah. Aqidah inilah yang menjadi tanah air, kebangsaan dan keluarga seorang mukmin. Karena itu, atas dasar aqidah ini saja manusia bisa bersatu, tidak seperti binatang ternak yang berhimpun atas dasar rumput, padang gembalaan, dan kawanan.

Seorang mukmin memiliki mata rantai keturunan yang panjang dan berakar lintas zaman. Sesungguhnya ia adalah bagian dari parade mulia yang dipandu oleh para pemimpin yang mulia: Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Musa, Isa, Muhammad, ‘alaihimus shalatu was salam.

“Sesungguhnya inilah umatmu, umat yang satu, dan Aku-lah Rabb-mu, oleh sebab itu beribadahlah kepada-Ku.” (Al Anbiya’ (21): 92)

‘Parade’ mulia lintas zaman ini, sejak dahulu kala, menghadapi –sebagaimana tampak jelas di bawah naungan Al Qur’an- berbagai sikap, persoalan dan pengalaman yang sama sepanjang masa dan di setiap waktu, meskipun berlainan tempat da beragam bangsa. Di setiap waktu dan tempat, ia menghadapi kesesatan, kebutaan (hati dan pikiran), kesewenang-wenangan, hawa nafsu, penindasan, penyimpangan, teror, dan pengusiran. Tetapi ia tetap berjalan di jalurnya yang benar dan langkah yang teguh, dengan hati yang tenang, penuh keyakinan akan pertolongan Allah, penuh harap kepada-Nya, dan senantiasa membenarkan janji Allah yang pasti benar dan pasti terjadi.

“Orang-orang kafir berkata kepada rasul mereka: Kami benar-benar akan mengusirmu dari negeri kami, atau kamu kembali kepada agama kami. Lalu Tuhan mereka mewahyukan kepada mereka: Pasti Kami hancurkan orang-orang yang zhalim, dan Kami akan menempatkan kamu di negeri ini sesudah mereka. Semua itu diperuntukan bagi orang-orang yang takut kepada keagungan kedudukan-Ku dan takut kepada ancaman-Ku.”(Ibrahim (14): 13-14)

Satu sikap, satu pengalaman, satu ancaman, dan satu keyakinan. Satu janji untuk ‘periode yang mulia’ dan hasil akhir yang dinantikan orang-orang Mukmin diakhir putaran pertarungan, seraya terus bersabar menghadapi segala bentuk penindasan, teror dan ancaman.