Di Bawah Naungan Al Qur’an: Sebuah Pengantar (2)

Di bawah naungan Al Qur’an ini saya mendapat pelajaran bahwa tidak ada tempat di alam wujud ini bgi apa yang disebut kebetulan semata-mata, atau terjadi secara acak:

“Sesungguhnya Kami ciptakan segala sesuatu dengan ukuran-ukuran pasti.” (Al Qamar (54): 2)

“…Dia menciptakan segala sesuatu lalu Dia menetukan kejadiannya dengan tepat.” (Al Furqan (25): 2)

Segala sesuatu diciptakan untuk suatu hikmah, tetapi hikmah ghaib yang demikian dalam kadang tidak dapat terungkap oleh pengamatan manusia yang terbatas:

“…Bisa jadi kamu tidak menyukai sesuatu tapi di dalamnya Allah jadikan kebaikan yang banyak,” (An Nisa’ [6]: 19)

“…Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik untukmu dan bisa jadi pula kamu menyenangi sesuatu padahal ia buruk untukmu, Allahlah yang tahu, sedangkan kamu tidak mengetahui,” (Al Baqarah [2]: 216)

Beberapa sebab (usaha) yang dikenal manusia terkadang bisa mendatangkan hasil dan terkadang pula tidak membuahkan apa-apa. Berbagai hipotesa yang dianggap pasti oleh manusia. Kadang terbukti hasilnya dan terkadang pula tidak. Hal itu karena sebab-sebab dan hipotesa-hipotesa tersebut bukanlah yang memberikan hasil, akan tetapi kehendak mutlak Allah semata-semata yang memberikan hasil itu, sebagaimana kehendak mutlak-Nya pula yang menentukan sebab-sebab dan hipotesa-hipotesa tersebut.

“…Kamu tidak tahu, mungkin saja Allah menjadikan di balik itu semua perkara yang lain.” (Ath Thalaq [65]: 1)

“…Dan kalian tidak dapat mewujudkan kehendak kecuali jika Allah memang menghendakinya…” (Al Insan [76]: 30)

Seorang Mukmin harus melakukan berbagai sebab (usaha), karena ia diperintahkan untuk melakukannya, tetapi Allah-lah yang menetukan hasilnya. Karena itu, merasa tenang terhadap rahmat, keadilan, kebijaksanaan dan pengetahuan-Nya adalah merupakan satu-satunya tempat berlindung yang aman dan selamat dari segala macam guncangan dan godaan:

“Seten itu menjanjikan kefakiran dan memerintahkan kamu kepada perbuatan keji, sedangkan Allah menjanjikan kamu ampunan dari-Nya dan keutamaan. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah [2]: 28)

Oleh sebab itu, saya hidup –di bawah naungan Al Qur’an- dengan jiwa yang tenang, dengan perasaan yang damai, dan hati yang tentram.. Saya hidup menyaksika tangan Allah dalam setiap peristiwa dan dalam segala hal. Saya hidup dalam rengkuhan Allah dan pemeliharaan-Nya. Saya hidup merasakan betapa positif dan aktifnya sifat-sifat Allah.

“Atau siapakah yang memperkenankan do’a orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepadanya dan menghilangkan kesusahannya?” (An Naml [27]: 62)

“Dialah yang Maha Kuasa atas hamba-hamba-Nya dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (Al An’am [6]:18)

“…Allah berkuasa penuh atas segala urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Yusuf [12]: 21)

“…Ketahuilah,sesungguhnya Allah menghalangi atara manusia dan hatinya…” (Al Afal [8]: 24)

“…Dia Maha berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.” (Al Buruj [85]: 16)

“…Barang siapa bertaqwa kepada Allah maka Dia aka menjadikan jalan keluar baginya. Dan Dia akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Siapa yang bertawakal kepada Allah maka Dia akan mencukupkan kebutuhannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah menjadikan segala sesuatu meurut ukuranya.” (Ath Thalaq [65]: 2-3)

“…Tidak ada suatu pun yang melata, kecuali Allah memegang ubun-ubunnya…” (Hud [11]: 56)

“Bukakah Allah cukup sebagai pelindung bagi hamba-Nya, walaupun mereka menakut-nakuti dengan yang selain-Nya…” (Az Zumar  [39]: 36)

“…Siapa yang dihinakan Allah, maka tidak ada siapa pun yang dapat memuliakannya…” (Al Hajj [22]: 18)

“…Siapa yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang dapat memberiya petunjuk.” (Ar Ra’d [22]: 33)

Sesungguhnya awal wujud ini tidak diserahkan begitu saja kepada hukum-hukum yang berjalan secara otomatis, bisu, dan tuli. Tetapi dibalik hukum-hukum itu selalu ada kehendak (iradah) yang mengatur dan keinginan (masyi’ah) yang mutlak. Allah menciptakan da memilih apa saja yang dikehendaki-Nya.

Demikian pula saya mendapatkan pelajaran bahwa tangan Allah itu bekerja, tetapi bekerja dengan cara-Nya yang khas. Demikian pula saya mendapatkan pelajaran bahwa kita tidak punya hak untuk mendesak dan mengusulkan sesuatu kepada Allah. Karena, manhaj Ilahi  -seperti tampak jelas dibawah aungan Al Qur’an- dibuat untuk diaplikasikan dalam setiap ligkungan, dalam setiap fase perkembangan manusia, dan dlam setiap kondisi kejiwaan manusia yang baku. Manhaj Ilahi  itu dibuat untuk manusia yang hidup di muka bumi ini, dengan mempertimbangkan fitrah, potensi, berbagai kesiapan, kekuatan, dan kelemahan manusia, disamping memperhatikan berbagai perubahan keadaan mansuia yang mungkin dialaminya. Sesungguhnya ia tidak boleh berprasangka buruk terhadap mahkluk manusia ini lalu meremehkan perannya di muka bumi ini, atau ia menghancurkan nilai kemanusiann dalam salah satu bentuk kehidupannya, baik sebagai individu atau sebagai anggota suatu komunitas. Demikian pula, ia tidak boleh memperturutkan khayalan lalu mengangkat mahkluk ini diatas statusnya, diatas kemampuannya, dan diatas missi yang diberikan kepada Allah ketika Dia menciptakannya. Dalam kedua keadaan tersebut ia tidak boleh menganggap bahwa pilar-pilar fitrahnya sangat dangkal (sederhana), bisa tumbuh dengan suatu undang-undang atau terkuak denga goresan pena (tanpa sengaja)… Manusia adalah makhluk hidup dengan segenap fitrah, kecenderungan, dan kesiapan-kesiapannya tersebut. Manhaj Ilahi menuntunnya agar bisa semaksimal mungkin naik kederajat kesempurnaan yang telah digariskan untuknya sesuai dengan penciptaan dan fungsinya. Manhaj Ilahi, dalam menuntun manusia di jalan kesempurnaan menuju Allah ini, tetap menghargai diri manusia, fitrah, dan semua pilar penopangnya. Oleh sebab itu, manhaj Ilahi, dibuat untuk jangka panjang-yang diketahui oleh Pencipta yang menciptakan manusia itu sendiri dan menurunkan Al Qur’an-sehingga ia tidak boleh menyimpang dan terburu-buru dalam merealisasikan tujuan-tujuannya yang mulia dari manhaj Ilahi ini. Sesungguhnya rentang waktu terbentang demikian panjang dihadapannya, tidak bisa dibatasi oleh umur seseorang dan tidak pula bisa digesah oleh keinginan yang fana. Dikhawatirkan maut akan segera merenggutnya sebelum Ia berhasil merealisasikan tujuan jangka panjangnya, sebagaimana dialami oleh para penganut aliran-aliran keduniaan yang menjejalkan segala persoalan dalam satu generasi dan mengacak-acak fitrah yang seharusnya berjalan seimbang, karena mereka tidak bisa bersabar dengan langkah-langkah yang seimbang dan serasi itu. Karena itu, dalam perjalanan menyimpang yang mereka lakukan itu terjadilah berbagai pembantaian, pertumpahan fdarah, penggusuran nilai-nilai dan kekacaubalauan segala persoalan. Dan akhirnya mereka hancur dan hancur pula aliran-aliran pemikiran mereka yang palsu itu dibawah gempuran palu godam fitrah yang tidak mampu dihadapi aliran-aliran pemikiran yang menyimpang tersebut.

Sedangkan islam berjalan secara perlahan-lahan dan lembutseiring dengan fitrah, mendorongnya dari satu sisi dan menariknya dari sisi yang lain. Meluruskannya ketika terjadi kebengkokan, tetapi tidak sampai mematahkan dan menghancurkannya. Islam bersabar menghadapi fitrah seperti kesabaran orang yang sangat mengetahui dan percaya kepada tujuan yang telah digariskan. Apa yang tidak dapat disempurnakan di fase pertama, bisa diselesaikan difase kedua, ketiga, kesepuluh, keseratus, atau keseribu. Waktu tempuh masih lama, tujuan sangat jelas, dan jalan menuju sasaran besar pun sangat panjang, ibarat pohon yangg menjulang tinggi, akarnya terhujam ke dalam tanah, cabang dan rantingnya saling berjalin dan berkelindan. Demikain pula Islam tumbuh dan berkembang secara perlahan, bertahap dan tenang. Akhirnya apa yang dikehendaki Allah pasti senantiasa terwujudkan. Tanaman terkadang tertimbun pasir, terkadang sebagiannya dimakan hama, terkadang hangus karena kekeringan, dan terkadang tergenang oleh air. Tetapi petani yang cerdas mengetahui bahwa ia adalah tanaman jangka panjang dan berkembang, karena itu ia harus mampu mengatasi segala bentuk penyakit dalam waktu yang panjang, sehingga ia tidak boleh melakukan penyimpangan dan merasa cemas, juga tidak boleh mencoba mempercepat kematangganyadengan berbagai sarana yang tidak sesuai dengan fitrah yang tenang, stabil, luwes dan penuh kasih sayang. Itulah manhaj Ilahi dalam segenap alam wujud ini.

“…Dan tidak akan kamu temui sunnatullah itu mengalami perubahan.” (Al Ahzab [33]: 62)

Kebenaran dalam manhaj Allah adalah merupakan dasar dalam membangun alam wujud ini, bukan dibangun secara acak dan tidak pula atas dasar kebetulan tanpa tujuan. Sesungguhnya Allah adalah Al Haq (Maha Benar). Dari wujud-Nya yang Maha Tinggi bersumber segala yang ada (maujud):

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah al Haq, dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain-Nya adalah batil. Dan sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan  Maha Besar.” (Luqman [31]: 30)

Sesungguhnya Allah telah menciptakan ala mini denganhaq (prinsip kebenaran), tidak tercampur aduk dengan penciptaan-Nya akan kebatilan.

“…Allah tidak menciptakan semua itu kecuali dengan haq…” (Yunus [10]: 5)

‘…Wahai Tuhan kami! Tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan batil…” (Ali Imran [3]: 191)

Jadi, kebenaran (al haq) merupakan pilar penopangalam wujud ini. Bila menyimpang darinya maka alam wujud ini pasti rusak dan hancur:

“Andaikan kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya akan hancurlah langit dan bumi ini dengan segala isinya…” (Al Mukminun [23]: 71)

Oleh karena itu, kebenaran ini harus menang dan kebatilan harus lenyap. Apa pun realita yang muncul tidak selaras dengan kebenaran ini maka akibatnya sangat jelas:

“Bahkan Kami lontarkan kebenaran kepada kebatilan lalu kebenaran itu menghancurkannya dan tiba-tiba kebatilan itu pasti lenyap…” (Al Anbiya [21]: 18)

Kebaikan, kesalehan dan ihsan adalah juga dasar utama, sebagaimana kebenaran, ia bersifat abadi selagi bumi ini masih ada:

“Dia telah menurunkan air dari langit, maka mengalirlah air itu di lembah-lembah sesuai dengan ukurannya. Arus air itu membawa buih. Dan apa-apa yang mereka bakar diatas untuk mendapatkan perhiasan dan alat-alat adalah semisal buih itu juga. Demikianlah Allah membuat perumpamaan kebenaran dan kebatilan, adapun buih itu akan lenyap karena tidak ada nilainya, sedangkan yang memberi manfaat pada manusia akan tetap tinggal dibumi. Demikianlah cara Allah membuat berbagai perumpamaan.” (Ar Ra’d [13]: 17)

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan tentang kalimat yang baik dengan pohon yang baik. Akarnya kokoh dan cabangnya menjulang ke langit.”

“Pohon itu memberikan buahnya pada waktu-waktu tertentu dengan izin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan itu kepada manusia supaya mereka selalu ingat.”

“Dan Perumpamaan untuk kalimat yang jelek adalah seperti pohon yang jelek, akar-akarnya telah tercabut dari tanah,tidak pernah kokoh.”

“ Allah meneguhkan orang yang beriman dengan ucapan yang teguh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah akan menyesatkan orang-orang yang zalim. Dan Allah Maha berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.” (Ibrahim [14]: 24-27)

Ketenangan apakah yang ditumbuhkan oleh tashawwur (konsep) ini? Kedamaian apakah yang dilimpahkan ke dalam hati oleh tashawwur ini? Keyakinan tentang kebenaran, kebaikan dan kesalehan macam apakah yang ditanamkan oleh tashawwur ini? Kekuatan dan superioritas terhadap alam kecil apakah yang dihujamkan kedalam hati oleh tashawwur ini?