Di Cabang Ikhwanul Muslimin Rasyid

Kesebelasan sepak bola mahasiswa di Rasyid kembali mengadakan kompetisi tahunan dan mengundang setiap pelajar serta mahasiswa Rasyid untuk ikut kompetisi. Kesebelasan ini juga mengundang organisasi Ikhwan untuk turut serta di dalamnya dan mengirim dua utusan mereka yang masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa.

Namun, undangan tersebut ditolak oleh Ustadz Syukri karena undangan itu hanya ditujukan kepada mahasiswa, sementara Ikhwan tidak mengenal adanya pemilahan seperti itu. Mahasiswa, pekerja atau pegawai, bagi Ikhwan sama saja. “Apabila kalian menerima syarat yang kami ajukan, mengutus mahasiswa atau bukan, maka kami siap memenuhi undangan kalian. Tapi, bila kalian menolak, kami juga takkan memenuhi undangan kalian,” kata Ustadz Syukri kepada klub olahraga tersebut. Akhirnya, syarat yang diajukan oleh Ikhwan diterima dengan baik, dan organisasi ini pun mengirim tiga utusannya. Yang terdiri dari mahasiswa, pekerja, dan pegawai.

Ini adalah sebuah contoh riil dan kemuliaan akhlak Ikhwan yang berhasil meruntuhkan tradisi-tradisi jahiliah dan menghancurkan sekat-sekat yang hanya mencerai-beraikan masyarakat Rasyid, antara mahasiswa dan pekerja, mahasiswa dan pegawai, dan sebagainya. Bukan sesuatu yang umum terjadi di Rasyid bahwa seorang mahasiswa berjalan bersama-sama dengan seorang pekerja atau pegawai, dan Ikhwan muncul menyingkirkan segala bentuk perbedaan status serta golongan melalui implementasi riil di tengah mereka.

Maka, ketika Anda memasuki kantor Ikhwan, Anda akan menemukan setiap orang yang saling menyayangi dan mengasihi satu sama lain. Dengan perasaan seperti itu, semangat seorang pekerja yang terlibat di dalam dakwah ini semakin kuat, dan menjadi salah satu elemen sukses dakwah Ikhwan pada masa-masa selanjutnya. Ikhwan juga membuka sekolah-sekolah sebagai tempat pendidikan bagi para penduduk yang masih buta huruf agar mereka dapat membaca dan menulis, sehingga kemampuan mereka juga dapat semakin berkembang mengikuti saudara-saudara mereka dari kalangan terpelajar. Dengan kemampuan ini juga, mereka dapat dengan mudah memahami akidah yang mereka anut dan risalah yang mereka emban, sehingga dapat menyebarkannya pada orang lain.

Ikhwan juga mulai mengajarkan kepada kami beberapa bait syair Islami.

“Ya Rasulallah, relakah Engkau tatkala kami menyatu dalam ikatan ukhuwah, bersama berjuang untuk agama ini

Kami rela singkirkan debu tidur dari sisi kami

Kami takkan takut pada kematian, bahkan kami merindukannya

Saat Allah saksikan kami berada di belantara pengorbanan”

Secara perlahan-lahan, aku mulai mengurangi kehadiranku di lapangan sepak bola karena kesibukanku yang semakin padat dalam berbagai kegiatan-kegiatan Ikhwan. Aku semakin menghabiskan waktuku dari pagi hingga malam hari dalam berbagai aktivitas Ikhwan yang seakan-akan tiada henti.

Salah seorang akh yang dikenal dengan tulisan tangannya yang indah, Muhammad Ulbah, secara sukarela menulis di atas spanduk yang cukup besar dan selebaran-selebaran berisis tentang prinsip-prinsip yang dianut oleh Ikhwan.

Allahu Ghayatuna (Allah Tujuan Kami)

Ar-Rasulu Za’imuna (Rasulullah Pemimpin Kami)

Al-Qur’anu Dusturuna (Al-Qur’an Undang-Undang Kami)

Al-Mautu fi Sabilillah Asma Amaaninaa (Mati di Jalan Allah Adalah Cita-Cita Kami yang Tertinggi)

Kami, para pemuda, kemudian menyebar dan menempelkan selebaran tersebut di tempat-tempat strategis.

Kami juga mulai berpikir untuk melakukan amal-amal kebajikan dan memberikan pelayanan sosial untuk masyarakat luas. Kami lalu mengumpulkan berbagai sumbangan yang berasal dari kantong kami sendiri dan dari para pemuda Rasyid, kemudian mengundang orang-orang fakir miskin untuk makan bersama di sekretariat Ikhwan. Gagasan ini ternyata menuai sukses dan memberikan pengaruh positif yang luar biasa. Selain itu, kami pun merasakan semangat, vitalitas, dan kebahagiaan dalam diri kami masing-masing.

Sesungguhnya, kami juga sangat berharap bila saja kami dapat berkunjung dan bertemu langsung dengan Hasan Al Banna, pendiri organisasi ini. Hati-hati kami semakin dibalut oleh rasa rindu untuk bersua dengannya. Maka, kedatangannya di Rasyid menjadi obat rindu bagi kami. Aku mendengar secara langsung susunan kata-katanya yang sangat indah dan menarik. Aku juga melihat kecerdasan dan daya ingatnya yang luar biasa. Hal-hal tersebut membuat hati-hati kami kian terpaut padanya. Semua itu meninggalkan kesan mendalam dalam jiwaku. Ada banyak ikhwah yang berbicara pada acara pertemuan itu, namun gaya bahasa Imam Hasan Al Banna memiliki keistimewaan tersendiri. Pertemuan itu diakhiri dengan pembaiatan beberapa ikhwah yang dilanjutkan dengan pertemuan khusus dengan mereka setelah acara itu berakhir.[1] Baiat itu berada dalam batasan: “Taat kepada Allah ta’ala dan menjauhkan diri dari kemaksiatan.”

Setelah berinteraksi cukup lama dengan dakwah Ikhwan dan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan yang ada di dalamnya, dalam diri kami mulai muncul perasaan peduli dan sensivitas terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang ada di sekeliling kami. Kami menyaksikan kelompok pekerja yang hidup serba kekurangan dan tampak cukup puas dengan apa yang mereka peroleh, berupa sisa-sisa makanan milik orang kaya, para juragan beras.

Kami juga menemukan kehidupan para petani yang terpaksa menjual hasil kebun mereka kepada para tengkulak dengan harga yang sangat murah, lalu diekspor ke negeri-negeri lain dengan harga yang sangat mahal. Demikian pula kehidupan para nelayan yang meninggalkan peraduan mereka sebelum fajar menyingsing dan cuaca yang sangat dingin, mengarungi sungai Nil untuk mencari ikan sebagai sumber penghidupan mereka. Jumlah mereka sangat banyak, bahkan mencapai ratusan orang, yang hanya mengandalkan musim ikan sarden. Sebab, pada saat itulah mereka akan mendapatkan hasil tangkapan yang cukup memadai. Untuk hidup pada tahun berikutnya, mereka hanya mengandalkan hasil pinjaman dari juragan mereka yang selanjutnya mereka bayar pada tahun berikutnya. Begitu seterusnya.

Kondisi mereka yang sangat memprihatinkan itu mulai mengguncang perasaan kami karena tidak hanya orang-orang yang dapat membela dan mengadvokasi hak-hak serta kepentingan mereka. Aku sendiri telah menyampaikan masalah ini kepada kawan sekelasku, Sayyid Abdul Muhsin Ad Dardiri, dan seorang akh dalam organisasi Ikhwan.

Kami merasa bahwa masalah ini sangat serius dan kami sepakat untuk membuat brosur dan menyebarkannya di tengah masyarakat. Brosur itu kami maksudkan sebagai bentuk seruan kepada orang-orang kaya dan para pedagang Rasyid agar memperlakukan para pekerja, nelayan, dan petani yang bekerja untuk mereka dengan baik. Sebab, para pekerja, nelayan, dan petani adalah komunitas terbesar dalam masyarakat Rasyid. Judul besar yang kami tulis dalam brosur tersebut adalah “Berbuat baiklah, sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu.”

Setelah dicetak dan diperbanyak, kami berdua segera berangkat dan menempelkannya di depan toko-toko milik para pedagang dan di sepanjang jalan yang kami lalui. Itu kami lakukan setelah shalat subuh sehingga pagi harinya orang-orang sudah dapat membacanya. Beberapa komentar mulai terdengar di telinga kami, sebagai ungkapan kekaguman yang luar biasa terhadap kepedulian dan kreativitas tersebut, yang menjadi tembakan mematikan untuk para pelaku.

Mereka juga bertanya-tanya, sesungguhnya, siapakah penyebar brosur yang begitu berani ini? Namun, secepat itu pula hartawan dan pedagang di Rasyid melaporkan hal ini ke Markas Kepolisian di Rasyid, mengingkari adanya gerakan ini sambil mewanti-wanti pihak kepolisian agar berhati-hati terhadap situasi keamanan di wilayah Rasyid.

Utusan Markas Kepolisian Rasyid segera memanggil Haji Mahmud Abdul Halim Al Kabir, Ketua Ikhwan Cabang Iskandariah ketika itu, mempertanyakan siapakah sesungguhnya, yang melakukan pekerjaan seperti ini. Namun, Haji Mahmud berusaha meyakinkan pihak kepolisian bahwa pekerjaan ini tidak mungkin dilakukan oleh anggota Ikhwan, dan utusan itu pun puas atas jawaban tersebut. Namun, ketika aku mengetahui adanya pemanggilan tersebut, aku segera membuang bahan-bahan cetakan dan sisa selebaran yang belum sempat disebar ke sungai Nil. Walaupun utusan dari kepolisian itu berusaha menjadikan brosur tersebut sebagai bahan untuk mengetahui pelakunya, namun tulisan-tulisan yang tercetak di sana telah terhapus oleh sinar matahari.

Kembali ke Iskandariah

Setelah masa liburan berakhir, aku kembali ke Iskandariah dan tinggal di jalan Firdaus, di rumah Al Jaziri Bek, yang terletak di samping masjid Hujjaj, di Muharram Bek.

Saat itu juga, aku menuju jalan Al Bushairi untuk bertemu dengan Akh Abdul Mun’im Muhammad Asy Syarbini. Setelah bertemu dengannya, aku serahkan kepadanya surat Mursyid Hasan Al Banna dan dia menyambutnya dengan penuh suka cita. Dari Akh Abdul Mun’im juga aku ketahui bahwa Ikhwan mengadakan pertemuan rutin, dua kali setiap minggu di rumahnya; hari Senin dan Kamis sore.

Di sana, mereka mempelajari Al Quran, sirah Nabawiyah, dan membaca Al Ma’tsurat. Pada waktu yang telah ditentukan itu, aku bersama dengan kawanku, Muhammad Al Basil, segera menuju ke tempat tersebut. Dari pertemuan itulah, aku dapat mengetahui nama-nama: Akh Darwis Al Barja, Akh Muhammad Sya’ban, Akh Muhammad Asy Syarbini, Akh Mahmud As Sa’duni, Akh Basin Zaban, Akh Abdul Fattah Asy Syarbini, dan almarhum Husain Aqqad.

Selanjutnya, aku dapat mengetahui bahwa Akh Abdul Mu’nim Asy-Syarbini dan saudaranya, Akh Abdul Fattah serta kedua orang tuanya, Haji Muhammad Asy-Syarbini berasal dari thariqat Hashafiyah, di mana Imam Hasan Al Banna sendiri pernah bergabung di dalamnya. Melalui hubungan tersebut, Imam Hasan Al Banna mampu menarik mereka ke dalam dakwah ini, dan pertemuan pekanan itu terus berlanjut di rumah Ustadz Abdul Mu’nim dalam waktu yang cukup lama.



[1] Lihat secara detil bahasannya pada buku Hasan Al-Banna, Mawaqif fid Da’wah wat Tarbiyah, hlm. 19-23.