Di Ruang Belajar

Studi di Darul ‘Ulum ketika itu tidak berbentuk studi spesifik, namun untuk segala umur, baik para siswa maupun para pengajarnya sekaligus. Darul ‘Ulum juga diperuntukan bagi semua jenjang studi yang sedang ditempuh oleh mahasiswa. Kami sendiri sering masuk ke berbagai ruang kuliah dan meneria berbagai materi umum, termasuk masalah politik dan sosia, bahkan sampai pada detail-detail masalah yang khusus mengenai para siswa dan guru.

Dnamika kegiatan politik di Mesir ketika itu sangat dominan, berkait dengan adanya dua kubu politik besar, yakni kubu Wafdiyin (dari Partai Wafd) dan kubu Ahrar Ad-Dusturiyin (dari Partai Ahrar ad-Dusturiyah). Berbagai gesekan yang menimbulkan ketidakharmonisan dan perselisihan sering terjadi antara dua kelompok ini. Kadang membawa keberhasilan namun sering juga melahirkan kegagalan. Semua ini menjadi bahan perbincangan para mahasiswa dan dosen, selain juga menjadi objek yang menarik untuk dikomentari. Para dosen ada juga yang bersemangat untuk menyampaikan pendapat-pendapatnya sedara vokal kepada mahasiswa.

Ada juga berbagai perpedaan pendapat mengenai persoalan agama, antara para mahasiswa dan dosennya. Perbedaan pendapat ini menjadi bahan diskusi dan perdebatan secara bebas, namun tetap berpegang teguh pada etika. Kami masih ingat bagaimana kami tetap menghargai dan menghormati para dosen itu, sampai-sampai kami pernah menghindari jalan yang berada di depan ruang pertemuan mereka, padahal tempat itu merupakan jalan menuju ruang belajar kami. Semua ini dipraktekan dengan penuh kebebasan, dengan muamalah yang baik, dan tetap menjaga hubungan ruhiyah yang kuat antara kami dengan mereka.

Kadang-kadang kami juga menanyakan tentang hal-hal yang bersifat pribadi kepada sebagian dari mereka untuk sekedar bercanda di sela-sela pelajaran, sehingga muncul suasana segar dan santai. Saya sebutkan sebuah contoh perbincangan santai dengan salah seorang dari mereka di kelas. Salah seorang teman bertanya, “Maaf Ustadz, apakah Anda sudah menikah?” “Belum!” jawabnya. Lalu ditanya lagi, “Mengapa Ustadz, padahal Anda sudah cukup usia?” “Nanti sajalah kalau gajiku sudah banyak dan bisa mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga anak-anak kelak bisa terdidik secara baik,” jawab ustadz itu. Sang penanya tampaknya belum puas. Ia mencecarnya lagi, “Tetapi jika Andi masih saja mengulur waktu, tidak juga dapat menjamin untuk bisa hidup berkecukupan dan mendidik anak-anak dengan baik kelak. Rezeki dan ajal itu di tangan Allah, Ustadz.” Ustadz sudah mulai terpojok lalu balik bertanya, “Apakah kamu sendiri sudah menikah?” Diluar dugaan ia menjawab, “Sudah. Setiap hari anakku berangkat bersamaku ke Madrasatul Banin Al-Ibtida’iyah (madrasah ibtida’iyah khusus laki-laki). Saya masuk kuliah, ia masuk sekolahnya.” Akhirnya perdebatan pun usai dengan disambut gelak tawa teman-teman.