Doa Sultan Murad dan Hikmah Tauhid

Doa penuh kekhusu’an yang dipanjatkan Sultan Murad di atas (pada edisi sebelumnya), adalah menunjukkan tingkat makrifat Sultan Murad yang sangat tinggi terhadap Allah. Hal ini juga menunjukkan,bahwa dirinya telah mampu merealisasikan makna kalimat tauhid “Laa Ilaaha Ila Allah”. Semua syarat kemulian tauhid telah terhimpun dalam perilaku dan kehidupannya. Di sini kita akan mengkaji beberapa hikmah tauhid di balik doa Sultan Murad di atas, yaitu sebagai berikut:

a) Dia memahami makna kalimat “Laa Ilaaha Ila Allah” dari sisi penafian dan penetapan. Kalimat ini mensyaratkan ilmu  dan menafikan kebodohan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”(Muhammad:19)

“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az-Zukhruf:86)

Yang dimaksud dengan mengakui bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah”, mereka tahu dan meyakini dengan hati mereka terhadap apa yang mereka ungkapkan dengan mulut mereka.

Dalam kalimat tauhid itu juga terkandung makna keyakinan dan menafikkan keraguan. Sultan Murad begitu yakin akan indikasi yang ada dalam kalimat tauhid ini, sebentuk keimanan kokoh yang mendatangkan ilmul yaqin; bukan sekedar iman yang mengira-ngira dan praduga.[1]

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.”(Al-Hujurat:15)

b) Dia menerima semua konsekuensi dari kalimat tauhid dengan hati dan lisannya dengan kepatuhan terhadap perintah dan tuntuan kalimat ini, serta menjauhi larangan-larangannya. Dalm Al Qur’an dissebutkan:

“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.”(Luqman:22)

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”(An-Nisaa’:65)

Sultan Murad I sudah merealiasikan ayat-ayat ini dalam sikap, perbuatan, dan kehidupannya. Seperti sudah menjadi aksioma yang sangat kuat, bahwa siapa saja yang telah menyempurnakan syarat-syaratnya, dia akan mendapat apa yang diimpikannya. Begitulah, manakala Sultan Murad sudah memenuhi syaratnya kepada Allah, maka sangat mudah bagi-Nya untuk memberikan karunia besar. Alhamdulillah.

c) Dia jujur terhadap Tuhannya dan memiliki keikhlasan yang membersihkan semua noda-noda kemusyrikan dari dirinya. Dalam Al Qur’an disebutkan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”(Al-Bayyinah:5)

d) Dia menjalankan amal-amal secara ikhlas karena Allah dan selalu siap mengorbankan jiwa raganya di jalan-Nya.

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”(Al-Baqarah:165)

“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.”(Al-Maidah:54)

Dalam sebuah hadits dissebutkan, “Tiga perkara jika seseorang berada di dalamnya, dia akan mencicipi manisnya iman, yaitu (1) Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain Allah dan Rasul-Nya; (2) Hendaknya seseorang tidak mencintai sesuatu, kecuali kecintaan itu karena Allah; dan (3) Hendaknya dia tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dirinya, sebagaimana dia tidak mau dimasukkan ke dalam api neraka.”[2]

Sultan Murad I sangat memahami hakikat iman dan kalimat tauhid ini. Dia telah menikmati pengaruhnya dalam kehidupan yang dijalaninya. Maka dalam dirinya tumbuh rasa percaya diri dan kebanggaan yang dia reguk dari keimanan suci kepada Allah. Maka dia pun yakin bahwa tidak ada seorang pun yang akan memberi manfaat kecuali Allah. Dia-lah Dzat Yang Menghidupkan dan Mematikan. Dia adalah pemilik hukum, kedaulatan, dan kekuasaan. Oleh sebab itu, tercabutlah dari hatinya rasa takut kepada siapapun, kecuali rasa takutnya kepada Allah.

Dia tidak pernah menundukkan kepalanya di depan makhluk apa pun, dan tidak pernah merendahkan diri di hadapannya. Dia tidak pernah gentar di hadapan kebesaran dan kekuasaan seseorang. Sebab dia yakin bahwa Allah-lah Yang Mahakuasa dan Mahaagung. Keimanannya kepada Allah telah membawa memiliki kemauan keras, berani dan sabar, kokoh dan tawakal, dan selalu melakukan semua perkara dalam bentuk yang paling optimal dengan harapan mendapatkan ridha Allah. Oleh sebab itulah dalam setiap peperangan yang diterjuninya, dia selalu kokoh laksana gunung yang terpancang kuat. Dia demikian yakin bahwa Allah-lah Raja satu-satunya bagi diri dan hartanya. Dia tidak peduli untuk melakukan apa pun demi mencapai kerelaan Tuhan-nya dengan segala pengorbanan yang mahal ataupun murah. Dia rela berkorban segalanya menyempurnakan ibadahnya kepada Allah.

Sesungguhnya Sultan hidup di atas hakikat iman. Dia selalu tergerak untuk terjun ke medan jihad dan selalu siap mengorbankan segala yang dia miliki demi dakwah Islam. Sultan Murad telah memimpin pemerintahan Utsmani selama tiga puluh tahun dengan penuh hikmah kecerdikan yang tidak seorang pun dan pemimpin mampu menyamai di masanya. Sejarawan Inggris Halaco Nadeles melukiskan tentang Murad I,”Murad telah banyak melakukan hal penting dan besar. Dia terjun dalam 37 peperangan, baik di Anatolia ataupun di Balkan. Dan dia keluar sebagai pemenang. Dia memperlakukan rakyatnya dengan penuh kasih sayang tanpa melihat adanya perbedaan ras dan agama.”[3]

Sejarawan Perancis Keyrnard menyebutkan, “Murad adalah salah seorang penguasa imperium Utsmani terbesar. Jika kita melakukan klasifikasi maka akan kita dapatkan dia jauh berada di atas pemimpin-pemimpin Eropa di masanya”[4]

Murad I telah mewarissi sebuah kekuatan yang demikian besar dari bapaknya. Luasnya mencapai 95.000 Km perssegi. Pada saat syahid, putranya Bayazid menerima kekuasaan darinya wilayah seluas 500.000 km persegi. Itu berarti bahwa selama kekuasaannya yang berlangsung selama 29 tahun, dia telah berhasil memperluas lima kali lipat peninggalan ayahnya, Sultan Orkhan.[5]


[1] Ma’arij Al-Qabul, 2/419

[2] HR. Bukhari, dalm Bab Iman, pasal Manisnya Iman(1/11) pada hadits 16

[3] Al-Utsmaniyyun fit Tarikh Wal Hadharah, hlm.19

[4] Ibid:19

[5] Ibid:20