Kata dzimmah dalam bahasa Arab berarti perjanjian, kehormatan, keamanan, dan jaminan. Dalam Al Qur’an dikatakan:
“Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrik), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian (dzimmah).” (at Taubah: 8)
Istilah Ahlu Dzimmah –dalam fiqih dan sejarah Islam– mereka ialah para penganut non-Islam di antara warga Negara Islam yang mempunyai ikatan dan perjanjian dzimmah, yakni keamanan, kehormatan dan jaminan hubungan mereka dengan negara Islam dan kaum Muslimin. Masalah yang menuntut adanya sistem ini dalam masyarakat Islam adalah qaidah Islam yang menetapkan asas pluralitas dalam keyakinan, aturan-aturan dan agama di dalam negara Islam:
“Tidak ada paksaan dalam agama Islam.” (Al Baqarah: 259)
“Maka siapa yang ingin (beriman) maka hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) maka biarlah ia kafir. ” (Al Kahfi: 29)
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” (Al Kaafiruun: 6)
Maka kemajemukan (pluralitas) Islamlah yang membolehkan heterogenitas, lalu persoalannya menuntut satu sistem hubungan antar masyarakat yang heterogen ini.
Ikatan dzimmah meliputi semua warga Ahlul Kitab: Yahudi dan Nasrani, juga penganut agama yang mempunyai Kitab Suci lalu menghilang bersama perjalanan masa, lalu masuk ikatan Ahlu Dzimmah: Zoroaster (Majusi), Sabeanisme (Sabi’in) dan penganut agama-agama Timur selain agama samawi. Bahkan Madzhab Maliki –menurut pendapat mereka yang masyhur– memasukkan orang-orang musyrik dan animis, baik Arab maupun non-Arab kedalam jaminan dan akad dzimmah.
Karena adanya sebab heterogenitas yang mengantarkan pada akad dzimmah, menurut pendapat para ulama bukanlah karena perbedaan agama, melainkan karena kaum Muslimin –bukan selain mereka– melaksanakan tugas dan kewajiban jihad dan mengamankan manusia termasuk di antara mereka adalah Ahlu Dzimmah yang tidak dikenakan kewajiban jihad, disebabkan karena jihad adalah satu kewajiban dan aqidah Islam, dari satu sisi, dan karena tuntutan serta kegiatan penaklukan-penaklukan Islam di mana loyalitas warga non-Muslim terhadap Negara Islam tidak dapat dijamin hingga tingkat yang membuat mereka mengangkat senjata untuk mempertahankan Negara Islam.
Akad dzimmah merupakan salah satu akad abadi bagi Ahlu Dzimmah yang berdiam di Negara Islam untuk jangka waktu sementara dan terbatas seperti pedagang, para utusan asing dan pelancong. Bagi mereka itu, ditetapkan dan diberi jaminan keamanan sesuai dengan qaidah Islam yang berasas pada akad ini, yakni qaidah: “Mereka mempunyai hak seperti hak Muslim dan kewajiban seperti kewajiban Muslim.” Dalam sebuah atsar, dari Imam Ali bin Abu Thalib r.a. berkata: “Harta benda mereka seperti harta benda kita dan (kesucian) darah mereka seperti darah kita.” Maka Ahlu Dzimmah mempunyai hak keamanan, kehormatan, dan jaminan terhadap jiwa, keluarga, harta benda, keyakinan, simbol-simbol agama mereka serta tata cara peribadatan, rumah ibadat-rumah ibadat dan perlengkapAn Nya. Terdapat sejumlah hadits yang menegaskan dan anjuran agar menepati pelaksanaan akad dzimmah ini, seperti dalam sabdanya:
“Aku wasiatkan kepada kamu sekalian agar menepati dzimmah Allah dan dzimmah Nabimu.” (Bukhari)
Jizyah adalah imbalan sejumlah uang pajak darah, militer dan jihad untuk melindungi Negara Islam. Jumlah uang ini tidak besar dan dikenakan tidak kepada setiap Ahlul Kitab, melainkan kepada mereka yang mampu secara finansial dan fisik, usia layak angkat senjata; tidak kepada orang-orang lemah, lanjut usia, anak-anak, wanita, penyandang cacat, budak, rahib yang terus-menerus melakukan ibadat. Jizyah ini beragam besarnya sesuai dengan tingkat kemampuan finansial, berkisar sekitar 12 dirham, 24 dirham, dan 48 dirham dalam satu tahun berupa uang cash, atau hasil kerajinan.
Perdagangan yang melewati wilayah-wilayah Islam yang dilakukan oleh Ahlul Kitab, mereka membayar dalam satu tahun 1/20% dari perdagangannya, sedangkan bagi pedagang Muslim membayar 1/40% nya di samping zakat atas seluruh kekayaannya, yang mana zakat tidak dikenakan terhadap Ahlul Kitab. Lapangan pekerjaan dan pekerjaan kepegawainegerian terbuka bagi Ahlu Dzimmah, tidak terkecuali bagi mereka selain kedudukan-kedudukan yang mana Islam menjadi prasyarat bagi yang mendudukinya, dikarenakan karakter agama dalam tugas-tugas resminya seperti halnya dengan tugas-tugas yang mempunyai karakter agama dalam struktur kelompok-kelompok Ahlu Dzimmah yang terbatas hanya untuk penganut agama dan kelompoknya.
Di bidang pengadilan dan penanganan perkara hukum, Ahlu Dzimmah mempunyai hak untuk mencari keadilan pada para hakim dari kalangan mereka dalam masalah-masalah aturan agama yang mereka anut di samping juga mempunyai hak untuk mencari keadilan –bagi yang menghendaki — pada pengadilan Islam dan para hakimnya. Sedangkan selain perkara yang berhubungan dengan agama mereka, maka penanganan hukumnya dilakukan di pengadilan terpadu Negara Islam.
Sejarah masyarakat Islam telah menyaksikan masa-masa di mana Ahlu Dzimmah mengalami banyak penindasan dan masa-masa ini diwarnai penindasan umum yang mencakup Ahlu Dzimmah dan kelompok lainnya, sebagaimana yang terjadi pada masa Al Mutawakkil dari Dinasti Abbasiah (846-861 M), yang melakukan penindasan terhadap golongan Syi’ah dan Mu’tazilah lebih keras dari pada apa yang dialami Ahlul Kitab, masa pemerintahan Al Hakim bin Amrillah Al Fathimi (985-1021M) yang melakukan penindasan terhadap Ahli Sunnah, padahal dengan cepat ia meninjau kembali penindasannya terhadap Ahlul Kitab. Dan pada periode-periode serbuan dari luar serta konspirasi asing –dari negara-negara Kristen– terhadap negeri-negeri Muslim, golongan Ahlu Dzimmah mengalami berbagai penindasan dan tekanan, disebabkan adanya dukungan sebagian mereka –khususnya putra-putra Gereja– kepada pasukan penyerbu, atau karena kecurigaan adanya dukungan ini. Begitu pula periode-periode krisis antar golongan yang terjadi terakhir ini berkaitan dengan konspirasi penjajah Barat Modern.
Bersamaan dengan perkembangan dan meluasnya wilayah serta nilai-nilai kultural yang mempersatukan semua kelompok agama di bumi Islam dalam bahasa, etnis dan budaya peradaban Arab Islam menjadi tali pengikat dan pemersatu bagi semua, maka di negeri-negeri Muslim tumbuh dengan subur bangunan satu umat, satu dalam pengertian kultural dan nasional, loyalitasnya kepada satu negeri, lalu menyusutlah faktor-faktor pluralitas dan semuanya mempunyai tanggung jawab militer yang sama untuk melindungi Negara. Yaitu satu perkembangan yang menyebabkan penghapusan sistem jizyah dan penyelesaian bagi problem persamaan, dalam hak kewarganegaraan menggantikan sistem dzimmah. Berbagai ijtihad Islam telah menyambut dan mengikuti perkembangan yang dialami oleh realitas Islam modern.