Esensi Hijrah

Momentum pergantian tahun hijriyah dari tahun 1435 ke tahun 1436, selalu mengingatkan kita ummat Islam pada peristiwa hijrah Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat muhajirin radhiyallahu ‘anhum dari kota Mekkan ke kota Madinah sekitar lima belas abad yang lalu. Peristiwa maha penting dalam sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah yang menjadi dasar pijakan dibalik pemilihan nama kalender Islam tersebut. Tentu bukan tanpa alasan ketika Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab bersama para sahabat radhiyallahu ‘anhum menetapkan peristiwa hijrah sebagai dasar perhitungan tahun dalam kalender kaum muslimin. Maka marilah kita menyambut – dan bukan merayakan – tahun baru 1436 Hijriyah dengan men-tajdid (memperbarui) semangat dan tekad dalam rangka menghijrahkan diri dan kehidupan kita secara total kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Didalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kata hijrah digandengkan dan disebutkan secara berurutan setelah iman dan sebelum jihad.

Misalnya dalam firman Allah (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al-Baqarah: 218).

Atau firman Allah (yang artinya): ”Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan” (QS At-Taubah: 20).

Penyebutan tiga terminologi tersebut secara berurutan seperti itu juga kita dapati dalam QS Al-Anfaal ayat: 72, 74 dan 75. Begitu pula dalam hadits-hadits, seperti hadits yang menyebutkan bahwa, syetan akan selalu menghadang manusia di tiga jalan, yakni di jalan menuju Islam (iman), lalu di jalan menuju hijrah dan kemudian menghadangnya sekali lagi di jalan menuju jihad (lihat HR. An-Nasa’i).

Hal itu karena memang ada keterkaitan yang sangat erat antara ketiga terminologi Islam tersebut. Iman harus dibuktikan dengan hijrah lalu dengan jihad. Dan hijrah harus didahului dan didasarkan pada iman lalu dilanjutkan dengan jihad. Sedangkan jihad juga harus didasarkan dan didahului oleh iman lalu hijrah. Memang begitulah urutannya. Beriman lalu berhijrah lalu berjihad.

Hijrah berarti berpindah dengan meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain, atau berubah dengan meninggalkan suatu kondisi untuk menuju kondisi yang lain.

Dalam Islam, hijrah memang ada dua macam:

Pertama adalah hijrah hissiyyah (hijrah fisik dengan berpindah tempat) baik dari darul khauf (negeri/tempat yang tidak aman dan tidak kondusif) menuju darul amn (negeri/tempat yang relatif aman dan kondusif) seperti hijrah dari kota Mekkah ke Habasyah (Ethiopia) pada tahun kelima kenabian, maupun hijrah dari darul harb (negeri kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin) menuju darul Islam (negeri yang bersistem imamah islamiyah) seperti hijrah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dari kota Mekkah ke kota Medinah pada tahun keempat belas kenabian.

Kedua adalah hijrah ma’nawiyyah (hijrah nilai) dengan meninggalkan nilai-nilai atau kondisi-kondisi jahiliyah untuk berubah menuju nilai-nilai atau kondisi-kondisi islami. Dan hal ini baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq, pemikiran dan pola pikir, muamalah, pergaulan, cara hidup, kehidupan berkeluarga, etos kerja, manajemen diri, manajemen waktu, manajemen dakwah, perjuangan, pengorbanan maupun aspek-aspek diri dan kehidupan lainnya sesuai dengan tuntutan keimanan dan konsekuensi keislaman.

Jika hijrah hissiyyah bersifat kondisional dan situasional serta harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu, maka hijrah ma’nawiyyah bersifat mutlak dan permanen, serta sekaligus merupakan syarat dan landasan bagi pelaksananan hijrah hissiyyah. Sehingga dengan demikian hijrah ma’nawiyyah inilah yang sebenarnya merupakan hakekat dan esensi dari perintah hijrah itu, dimana kuncinya ada pada kata perubahan!

Ya, seseorang ketika telah berikrar syahadat dan menyatakan diri telah beriman dan berislam maka ia harus langsung ber-hijrah ma’nawiyyah ke arah perubahan total – tentu tetap mengikuti prinsip tadarruj (pentahapan) – sesuai shibghah rabbaniyah (lihat QS Al-Baqarah: 138) dan memenuhi tuntutan berislam secara kaffah (lihat QS Al-Baqarah: 208).

Maka dalam rangka menyambut – dan bukan memperingati – tahun baru 1436 Hijriyah, kita harus melakukan muhasabah dan introspeksi diri dengan bertanya, sejauh mana perubahan, peningkatan dan perbaikan islami telah terjadi dalam diri dan kehidupan kita selama ini, baik dalam skala individu, kelompok, jamaah, masyarakat, bangsa (yang notabene mayoritas muslim) maupun dalam skala ummat Islam secara keseluruhan? Dan apakah perubahan itu telah sesuai dengan usia keislaman dan keimanan masing-masing? Semoga demikian!

Akhirnya marilah kita jadikan momentum pergantian tahun Islam hijriyah ini sebagai faktor pemotivasi semangat dan pembaharu tekad untuk senantiasa menghijrahkan diri dan kehidupan menuju totalitas Islam sebagai syarat dan dasar dalam mengemban amanah dakwah dan menegakkan kewajiban jihad fi sabilillah untuk memenangkan dinullah dan menggapai surga serta ridha Allah. Dan semoga tahun baru 1436 Hijriyah mendatang ini akan menjadi tahun kemenangan dan kemuliaan bagi Islam, dakwah Islam dan kaum muslimin, serta menjadi tahun solusi dan perlepasan bagi ummat dan bangsa dari berbagai bencana serta krisis multidimensi yang selama ini terjadi dan mendera. Aamiin!