Fiqih Khitan

A. Pengertian

Secara bahasa, kata khitan itu berasal dari kata khatnun ( خَتْنٌ ), yang berarti: Memotong kulfah (kulit penutup depan) dari penis dan nawah dari perempuan.

B. Masyru’iyah

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.”(QS An-Nahl: 123)

Ayat ini memerintahkan umat nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengikuti tata cara ritual Nabi Ibrahim alaihissalam,  dan salah satunya adalah berkhitan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits Bukhari.

Nabi Ibrahim berkhitan ketika berusia 80 tahun menggunakan kapak.” (HR. Bukhari)

Dari Abu Hurairah adhiyallahu ‘Anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Lima dari fitrah: memotong bulu kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku.” (HR. Jama’ah)

Sesungguhnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mngkhitan Hasan dan Husein  pada hari ke tujuh dari kelahirannya (HR. Al Hakim dan Baihaqi)

Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah! (HR Ahmad an Abu Daud)

Khitan merupakan sunnah (yang harus diikuti) bagi laki-laki dan perbuatan mulia bagi wanita.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)

Rasulullah bersabda kepada para tukang khitan perempuan di Madinah: “Pendekkanlah sedikit dan jangan berlebih-lebihan sebab hal tersebut lebih menceriakan wajah dan disukai suami.” (HR. Abu Daud, Bazzar, Thabrani, Hakim dan Baihaqi)

C. Hukum Mengkhitan

Khitan atau sirkumsisi (Inggris: circumcision) telah dilakukan sejak zaman prasejarah, diamati dari gambargambar di gua yang berasal dari Zaman Batu dan makam Mesir purba.

Dalam pandangan syariat Islam, para ulama berbeda pendapat dalam memandang hukum khitan ini menjadi beberapa pendapat:

1. Sunnah

Khitan Hukumnya sunnah bukan wajib. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi.[1]

Menurut pandangan mereka khitan itu hukumnya hanya sunnah bukan wajib, namun merupakan fithrah dan syiar Islam. Bila seandainya seluruh penduduk negeri sepakat untuk tidak melakukan khitan, maka negara berhak untuk memerangi mereka sebagaimana hukumnya bila seluruh penduduk negeri tidak melaksanakan azan dalam shalat.

Khusus masalah mengkhitan anak wanita, mereka memandang bahwa hukumnya mandub (sunnah), yaitu menurut mazhab Maliki, mazhab Hanafi dan Hanbali.

Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Ibnu Abbas marfu` kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita.” (HR Ahmad dan Baihaqi).

Selain itu mereka juga berdalil bahwa khitan itu hukumnya sunnah bukan wajib karena disebutkan dalam hadits bahwa khitan itu bagian dari fithrah dan disejajarkan dengan istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak. Padahal semua itu hukumnya sunnah, karena itu khitan pun sunnah pula hukumnya.

2. Wajib

Khitan itu hukumnya wajib bukan sunnah, pendapat ini didukung oleh mazhab Syafi`i.[2]

Mereka mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib baik baik laki-laki maupun bagi wanita. Dalil yang mereka gunakan adalah ayat Al Quran dan sunnah:

`Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus` (QS An-Nahl: 123).

Dan hadits dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, `Nabi Ibrahim alaihis salam berkhitan saat berusia 80 dengan kapak`. (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Kita diperintah untuk mengikuti millah ‘Alaihis Salam karena merupakan bagian dari syariat kita juga`. Dan juga hadits yang berbunyi,

`Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah` (HR. As- Syafi`i dalam kitab Al Umm yang aslinya dri hadits Aisyah riwayat Muslim).

3. Wajib Buat Laki-laki Mulia Buat Perempuan

Wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita. Pendapat ini dipengang oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni, yaitu khitan itu wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita tapi tidak wajib.[3]

Di antara dalil tentang khitan bagi wanita adalah sebuah hadits meski tidak sampai derajat shahih bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyuruh seorang perempuan yang berprofesi sebagai pengkhitan anak wanita. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda `Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami.

Jadi untuk wanita dianjurkan hanya memotong sedikit saja dan tidak sampai kepada pangkalnya. Namun tidak seperti laki-laki yang memang memiliki alasan yang jelas untuk berkhitan dari sisi kesucian dan kebersihan, khitan bagi wanita lebih kepada sifat pemuliaan semata. Hadits yang kita miliki pun tidak secara tegas memerintahkan untuk melakukannya, hanya mengakui adanya budaya seperti itu dan memberikan petunjuk tentang cara yang dianjurkan dalam mengkhitan wanita.

Sehingga para ulama pun berpendapat bahwa hal itu sebaiknya diserahkan kepada budaya tiap negeri, apakah mereka memang melakukan khitan pada wanita atau tidak.

Bila budaya di negeri itu biasa melakukannya, maka ada baiknya untuk mengikutinya. Namun biasanya khitan wanitaitu dilakukan saat mereka masih kecil.

Sedangkan khitan untuk wanita yang sudah dewasa, akan menjadi masalah tersendiri karena sejak awal tidak ada alasan yang terlalu kuat untuk melakukanya. Berbeda dengan laki-laki yang menjalankan khitan karena ada alasan masalah kesucian dari sisa air kencing yang merupakan najis.

Sehingga sudah dewasa, khitan menjadi penting untuk dilakukan.

D. Usia Anak Dikhitan

1. Hari Ketujuh Kelahiran

Mazhab As Syafi’iyah dan Al Hanabilah yang mewajibkan hukum khitan menyebutkan bahwa khitan itu maksimal dilakukan pada saat seorang anak laki-laki mencapai baligh. Dasarnya, karena sebelum baligh belum ada kewajiban untuk berthaharah.

Namun dalam pandangan mazhab Asy Syafi’iyah, bila dilakukan sebelum baligh, hukumnya mustahab (disukai). Yang secara resmi difatwakan sebenarnya adalah pada hari ketujuh dari kelahiran, dengan merujuk pada tindakan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mengkhitan Hasan dan Husain di hari ketujuh dari kelahiran.

Sesungguhnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengkhitan Hasan dan Husein pada hari ke tujuh dari kelahirannya (HR. Al Hakim dan Baihaqi)

Namun mazhab Al Hanafiyah, Al Malikiyah dan Al Hanabilah menganggap khitan di usia seperti itu kurang disukai, lantaran mirip dengan kebiasaan orang-orang Yahudi.

2. Usia 7 – 10 tahun

Sedangkan dalam mazhab Al Malikiyah dan Al  Hanabilah menganjurkan usia khitan buat anak adalah antara usia 7 hingga 10 tahun.

Dasarnya karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mensyariatkan kepada para orang tua untuk mulai memerintahkan anak-anak di usia 7 tahun untuk shalat, dan bila telah usia 10 tahun boleh dipukul. Maka di usia itulah idealnya seorang anak laki-laki dikhitan.

E. Manfaat Khitan

1. Bagi laki-Laki

Manfaat khitan atau sirkumsis bagi laki-laki adalahmenghilangkan kotoran beserta tempat kotoran itu berada yang biasanya terletak dibagian dalam dari kulit terluar penis. Serta untuk menandakan bahwa seorang muslim telah memasuki kondisi dewasa.

2. Bagi wanita

Cukup banyak masyarakat meyakini bahwa sirkumsisi pada wanita bisa menurunkan hasrat dan menjauhkannya dari perzinaan. Namun, pada kasus nyatanya, tidak ada hal tersebut yang terbukti benar, karena pada dasarnya hal tersebut diatas hanya merupakan karangan semata.

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, hampir semua dokter menyatakan bahwa wanita tidak boleh melakukan sirkumsisi apapun alasannya.

Namun, praktek sirkumsisi pada wanita telah ada pada Islam seperti yang diterangkan pada hadith Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti yang telah dijelaskan di hadith berikut ini. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada ahli khitan wanita Ummu ‘Athiyyah, yang artinya:

“Janganlah kau potong habis, karena (tidak dipotong habis) itu lebih menguntungkan bagi perempuan dan lebih disenangi suami.” (HR: Abu Dawud).

Yang membedakan antara khitan pria dan wanita, secara umum yaitu dari segi pembelajarn di bidang kedokteran terdapat materi tentang tekhnik khitan pria. Namun, tidak demikian untuk khitan wanita.

Sementara di sisi lain, bila juru khitannya adalah seorang ahli bedah atau profesional medis, diharapkan tidak akan ada kesulitan untuk melakukan kedua khitan, baik pada pria maupun pada wanita.

E. Khitan dan Khitanan

Mengkhitan anak berbeda pengertiannya dengan mengadakan acara khitanan.

Mengkhitan anak hukumnya sunnah, sedangkan merayakan hajatan khitanan anak, hukumnya terpulangkepada kondisi dan keadaan. Sehingga bisa saja sunnah hukumnya, atau mubah, atau malah bisa jadi makruh bahkan haram. Semua kembali kepada detail kondisinya.

1. Sunnah Khitan

Umumnya para ulama mengatakan bahwa khitan adalah sunnah yang perlu dilakukan kepada anak. Sebagian lagi mengatakan hukumnya mubah. Bahkan ada yang mengatakan hukumnya wajib.

2. Perayaan Khitanan Sebagai Sebuah Hajatan

Ada kalanya bisa berhukum sunnah, bila memang ada manfaatnya yang bisa secara langsung dirasakan. Misalnya,khitanan massal untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu yang kita gelar secara gratis.

Kebiasaan ini sangat baik, apalagi dengan diiringi pemberian hadiah dan bantuan kepada mereka yang kurang mampu. Selain sebagai syiar Islam, kita pun dapat meraih pahala yang banyak.

Atau dalam rangka mengumpulkan keluarga besar agar terjalin ziarah dan silaturrahim di antara mereka, lalu dibarengkan dengan acara mengkhitan anak. Tentu hal-hal baik seperti ini tidak bisa dilarang, karena tujuannya mulia. Bahkan sangat bermanfaat bila momen seperti itu bisa ditambahkan dengan sedikit pengajian dari seorang ustadz. Boleh jadi ada banyak pesan-pesan kebaikan yang bisa dimanfaatkan di sana.

Namun kalau menggelar khitanan hanya sekedar untuk berhura-hura, menghamburkan harta, menyombongkan kekayaan kepada orang miskin, atau sekedar menaikkan gengsi dan status sosial, maka hukumnya makruh bahkan haram, karena telah melakukan tabzir.

Kalau sekedar untuk mengkhitan anak harus menggelar pertunjukan wayang tujuh hari tujuh malam dengan biaya dua milyar, panggung dangdut, arena maksiat serta pestapesta yang tidak jelas juntrungannya, rasanya sudah sampai kepada haram hukumnya.

Lebih baik uangnya digunakan untuk membangun sekolah gratis, perpusatakaan, lahan pertanian yang menyerap tenaga kerja, laboratorium ilmiyah milik umat atau hal-hal lain yang lebih positif.

3. Tidak Ada Doa Khusus

Kita tidak menemukan contoh doa khusus dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terkait dengan urusan mengkhitan anak.  Juga upacara hajatan dan sejenisnya.

Perkara ini dalam pandangan kami, berada di luar ibadah ritual peribadatan. Masuk ke dalam masalah muamalah yang hukumnya berbeda dengan ritual ibadah. Prinsipnya, meski tidak ada contoh dari nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, asalkan tidak ada batas-batas larangan yang secara eksplisit disebutkan oleh nash, maka hukumnya dasarnya boleh-boleh saja. Sampai muncul nanti hal-hal yang diharamkan, seperti masalah pemborosan, maksiat, syirik dan seterusnya.