Fitnah dan Pengkhianatan

Lebih dahsyat dari itu, kebohongan dalam halaman 127 terhadap Al Imam Hajar Al `Asqalani, sehingga menggambarkan seolah-seolah Al Hafizh Ibnu Hajar Al `Asqalani الحافظ ابن حجر العسقلاني (meninggal 852H) dalam Al Durar Al Kaminah الدرر الكامنة mempermasalahkan `aqidah Ibnu Taimiyah. Penulis Salafiyah Wahabiyah tersebut menyelewengkan terjemahan seperti berikut: “Para ulama telah menggelarkan Ibnu Taimiyah dengan tajsim berdasarkan apa yang telah beliau tulis, Ibnu Hajar menambah lagi: “Dia dihukum dengan munafiq karena perkataannya terhadap Sayidina `Ali.”

Saya tidak pasti, apakah beliau tidak dapat memahami bahasa `Arab, atau sengaja melakukan pengkhianatan. Sebenarnya, terjemahannya sepatut begini: “Orang banyak telah berbeda pendapat mengenainya kepada beberapa golongan, di kalangan mereka, ada yang mengaitkannya dengan tajsim…di kalangan ada yang mengaitkannya dengan nifaq ومنهم من ينسبه إلى النفاق.”.”

Kemudian Ibnu Hajar meneruskan ceritakan mengenaikan fitnah yang dikenakan kepada Ibnu Taimiyah itu, sehingga beliau menyebut: ”Ibnu Taimiyah terus dipenjara hingga kembali ke rahmat Allah. Kepada Allah juga kembali segala urusan. Dia memerhatikan mereka yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada. Hari kematian Ibnu Taimiyah itu menjadi bukti, manusia memenuhi jalan menyambut jenazahnya, orang Islam datang dari serata pelosok. Mereka mengambil keberkatan dengan menghadiri jenazahnya, pada hari yang ditegakkan bukti, mereka semua ingin memegang kerandanya sehingga patah kayunya.”[1]

Lihatlah niat buruk penulis untuk mengkhianati ulama dan menipu para pembaca yang tidak mengetahui bahasa Arab. Lain yang maksudkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al `Asqalani, yang pula yang digambarkannya. Orang yang berbohong seperti ini, tidak diterima penyaksiannya.

Penulis Salafiyah Wahabiyah, juga coba membohongi pembaca dengan menggambarkan seolah-olah Al Imam Azd Dzahabi (meninggal 848 hijrah), yang juga salah seorang murid utama Ibnu Taimiyah, mempermasalahkan Ibnu Taimiyah, demikian juga Al Imam As Subki yang hidup di zaman itu, yang menjadi murid dari Adz Dzahabi. Beliau menyembunyikan apa yang Al Hafizh Ibnu Hajar Al `Asqalani sebut dalam kitabnya di atas, Al Durar Al Kaminah. Sebenarnya Al Hafizh Ibnu Hajar Al `Asqalani, selepas mencerita sejarah kewafatan Ibnu Taimiyah, memetik ucapan Al Imam Adz Dzahabi yang memuji-muji gurunya Ibnu Taimiyah, sehingga kata Ibnu Hajar: “Adz Dzahabi telah menulis surat kepada As Subki, lantas memarahinya di atas perkataannya terhadap Ibnu Taimiyah.

As Subki menjawabnya, antara jawabannya: “Adapun apa yang Tuan katakan mengenai Asy Syaikh Taqiyuddin (Ibn Taimiyah), maka hamba ini (saya) telah pun pasti ketinggian kemampuannya, limpahan dan keluasan lautan ilmunya dalam naql (Al Quran dan As Sunnah) dan akal, kehebatan kebijaksanaan dan ijtihadnya, juga dia mencapai kesemuanya itu lebih dari yang disifatkan. Hamba ini (saya) sentiasa akan mengakuinya. Nilainya (Ibnu Taimiyah) pada diri ini, lebih besar dan mulia dari segalanya. Dengan apa yang telah Allah himpunkan padanya dari sifat zuhud, wara’, kuat beragama, membela dan menegakkan agama kebenaran semata-mata karena Allah. Dia melalui perjalanan ulama salaf dengan sepenuhnya, sangat asing orang sepertinya pada zaman ini bahkan di zaman apa pun.”

Hingga Ibnu Hajar menyebut: “Ibnu Taimiyah imam dari semua para imam, keberkatan umat, yang sangat alim di kalangan ulama, pewaris para anbiya..” hingga beliau menggelarinya sebagai “Syaikh Al Islam”.[2]

Bahkan Adz Dzahabi menyebutkan gurunya itu di dalam kitabnya Tadzkirah Al Huffazhh تذكرة الحفاظ yang dikhususkan untuk para hafizh dalam hadits. Beliau memuji Ibnu Taimiyah dengan pujian yang sangat hebat juga menggelarnya dengan gelaran Syaikh Al Islam, antara katanya: “Ibnu Taimiyah: seorang Syaikh, Imam, Al `Allamah (sangat alim), Al Hafizh (dalam hadits), seorang yang kritis, mujtahid, penafsir (Al Quran) yang mahir, beliau adalah Syaikh Al Islam….dari lautan ilmu, dari para cendikiawan yang terbilang, dari golongan zuhud yang sukar dicari, dari tokoh-tokoh yang berani dan pemurah lagi mulia, dipuji oleh penyokong dan penentang.”[3]

Demikian cara kebohongan dan penyembunyian fakta dalam buku Salafiyah Wahabiyah tersebut. Bahkan penulisnya meniru lagak gurunya, meremehkan siapa yang menamakan Ibnu Taimiyah dengan Syaikh Al Islam. Kemudian mengkhianati fakta dengan memutar belitkan tulisan-tulisan tokoh ulama. Perbuatan ini bukan sekadar memfitnah Ibnu Taimiyah, tetapi memfitnah sekalian ulama yang lain. Inilah suatu sikap yang diwarisi dari Syi`ah dan hal ini sangat buruk.

Lihat lagi dalam halaman 132 dan ke atas, buku penulis buku ini coba menggambarkan seolah-seolah, Asy Syaikh Muhammad Abu Zahrah Rahimahullah juga tidak menyukai Ibnu Taimiyah berdasarkan kitabnya Tarikh Al Mazahib Al Islamiyah تاريخ المذاهب الإسلامية. Sebenarnya siapa yang membaca buku tersebut akan melihat bagaimana Muhammad Abu Zahrah memuji dan membela Ibnu Taimiyah. Bahkan Muhammad Abu Zahrah menulis buku khas dengan judul “Al Imam Ibnu Taimiyah”, membela dan memuji sejarah perjuangannya. Maka jelas, ini adalah satu kebohongan terhadap Asy Syaikh Abu Zahrah, yang merupakan tokoh besar di zaman kita ini.

Lihatlah petikan sebenarnya dari kitab Tarikh Al Mazahib Al Islamiyah, kata Syaikh Muhammad Abu Zahrah ketika selesai menceritakan sejarah Ibnu Taimiyah:”Demikian itu kita lihat pendirian Ibnu Taimiyah terhadap An Nasir (pemerintah di zamannya) sama seperti pendirian (Al Imam) Izzu Al Din `Abd As Salam dan Muhyi Al Din An Nawawi (Al Imam Nawawi). Maka berlanjutlah rangkaian para ulama yang membela Islam. Bahkan Ibnu Taimiyah melebihi mereka berdua karena dia menghunuskan pedang di medan jihad. Dia telah diberi ujian dengan sebab pandangan-pandangannya dalam agama. Dia meninggal dalam keadaan Allah meridhainya, dalam penjara yang sempit, semoga Allah meridhai dan memuliakan tempat tinggalnya (surga) dan mengarunianya sebaik-baik balasan di atas sumbangannya kepada ilmu dan Islam.”[4]

Adapun Zahid Al Kautsari (meninggal 1371H), yang lahir di Istanbul, memang tidak menyukai Ibnu Taimiyah. Tetapi itu semua bukan satu hujah yang diterima sebagai bukti Ibnu Taimiyah tertolak. Apa lagi Zahid Al Kautsari terkenal sebagai seorang yang sangat ta’ashub kepada mazhab Hanafi, juga tidak amanah terhadap petikan-petikan ilmiah. Beliau pernah mempermasalahkan nasab Al Imam Asy Syafi`I, menuduh Al Imam Ahmad sebagai seorang yang tidak faqih, memfitnah Ibnu Hajar Al `Asqalani sebagai “kaki perempuan” dan berbagai tuduhan liar terhadap para ulama yang lain. Ahmad bin Muhammad As Siddiq Al Ghumari الصديق الغماري menghimpunkan penyelewengan-penyelewengan fakta dan cerca-cercaan ini di dalam kitabnya Radd Al Kautsari `ala Al Kautsari رد الكوثري على الكوثري. Maka tidaklah heran jika orang seperti ini menghina dan memfitnah Ibnu Taimiyah.

Asy Syaikh `Abd Al Fattah Abu Ghuddah Rahimahullah pernah menjadi murid Al Kautsari, beliau juga menolak cercaan Kautsari terhadap Ibnu Taimiyah, katanya.: “Bukti yang kuat (bahwa aku tidak membenci Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al Qayim) adalah aku telah penuhi kitab-kitabku dan ulasan-ulasanku dengan pendapat-pendapat Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah dan Al Imam Ibnu Qayim-semoga Allah merahmati keduanya-. Aku telah berkhidmat untuk kitab-kitab Al Imam Ibnu Al Qayim dengan menyebar dan mentahqiqkannya, -seperti yang telah disebutkan-. Aku juga telah menyokong dan membela mereka berdua. Aku menyebut mereka dengan penuh sanjungan dan hormat pada berpuluh-puluh tempat di dalam kitab-kitabku. Sebagaimana yang jelas sebelum ini tanpa sembarang keraguan lagi. Adapun Asy Syaikh Al Khautsari Rahimahullah, semoga Allah mengampuni kita dan juga dia, tidak menyukai kedua Imam ini. Itu adalah pandangan dan ijtihadnya. Sekiranya aku ini berpegang dengan setiap yang dia kata, tentu aku juga akan tidak menyukai kedua mereka (Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah dan Al Imam Ibnu Al Qayim) lalu mengikuti sikapnya terhadap mereka berdua –Allah rahmati keduanya-.Namun apa yang terjadi membuktikan sebaliknya….” Hingga katanya .”.Segala puji bagi Allah yang telah mengurniakanku dapat membedakan antara yang pendapat yang boleh diterima dan ditolak. Aku akan mengakui apa yang aku lihat benar berdasarkan pemahamanku, sekalipun ia datang dari seorang yang rendah kedudukannya. Aku akan tinggalkan apa yang aku dapati menjauhi kebenaran, sekalipun ianya datang dari tokoh yang lebih besar dari Al Kautsari, yang terdiri daripada para ulama yang masyhur. Sekalipun aku seorang pengikut, segala puji bagi Allah di atas karunianya, namun tiada seorang pun yang mengikut segala-galanya, melainkan dia seorang yang ta`ashub ataupun seorang yang bodoh.”[5]

Apa yang dinyatakan itu terbukti dalam banyak tempat di dalam penulisan Asy Syaikh `Abd Al Fattah Abu Ghuddah ini, antaranya, ketika mentahqiq (mengulas) kitab Qawa`id fi `Ulum Al Hadits قواعد في علوم الحديث oleh Zafar Ahmad Al Uthmani Ath Thahanawi التهانوي Jika beliau mendapati ada perkataan yang kurang tepat kepada Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syaikh Abu Ghuddah menulis surat kepada Ath Thahanawi, dan menegurnya. Ath Thahanawi menjawab surat itu dengan katanya: “Aku pernah menyuruh seorang sahabatku untuk menghapus ungkapan tersebut yang berkait dengan Al Imam Ibnu Tamiyah Rahimahullah, tetapi dia terlupa, dan syaitan melupakan aku untuk mengingatkannya. Kamu semua hapuskanlah ungkapan itu dan tulis pada nota kakinya: “Sesungguhnya penulis telah menarik balik ungkapan tersebut, itu adalah dari kegelinciran penanya, dia telah beristighfar dan bertaubat kepada Allah mengenai adab yang buruk terhadap para imam Islam, antaranya Al Imam Ibnu Taimiyah Al Harrani, Syaikh Al Islam, semoga Allah merahmatinya serta memasukkannya dan kita juga ke dalam Dar As Salam (surga).”[6]

Memang benar, adanya para ulama silam yang mempermasalahkan Ibnu Taimiyah di atas salah paham mereka. Namun bagi siapa yang mempelajari ilmu Al Jarh wa Al Ta’dil الجرح والتعديل (mempermasalahkan atau mengangkat kedudukan seseorang rawi) perkara seperti ini adalah fenomena biasa. Al Imam Al Bukhari Rahimahullah sendiri pada hayatnya dipermasalahkan akidahnya oleh gurunya sendiri, iaitu Muhammad bin Yahya Az Zuhli yang merupakan juga tokoh hadits dan ulama Naisabur sehingga Al Imam Al Bukhari terpaksa meninggalkan negeri Naisabur. Al Imam Al Bukhari dituduh bahwa beliau menyatakan Al Quran makhluk. Kita yakin bahwa tuduhan yang dikenakan kepada Al Imam Al Bukhari tidak benar dan itu hanyalah salah paham. Kisah ini disebut dengan banyak dalam kitab-kitab ilmu hadits. Untuk kemudahan, pembaca boleh merujuk kitab At Ta’rif bi Kutub As Sittah, oleh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah.

Al Imam Al Bukhari pula dalam hayatnya mempermasalahkan kedudukan Abu Hanifah Rahimahullah, imam mazhab Hanafi. Al Imam An Nasai juga menghukum Abu Hanifah sebagai dhaif. Tokoh ilmu rawi iaitu Al Yahya bin Ma`in pula mempermasalahkan kepribadian Al Imam Asy Syafi`i. Ini semua terjadi karena salah paham dan maklumat yang tidak tepat. Adapun kita ini, yakin kepada ketsiqahan (dipercayai) semua imam-imam tersebut. Kita tidak dapat menerima semua pertikaian itu, karena ini akan meyebabkan banyaknya para imam tertolak. Kalau kita hanya melihat kepada satu pandangan saja tanpa kajian, sekalipun pandangan itu datang dari tokoh yang besar seperti Al Bukhari dan Yahya bin Ma`in, tentu kita akan terkhilaf hukuman terhadap para imam yang lain. Para ulama hadits telah membincangkan persoalan seperti ini pada berbagai tempat di dalam kitab mereka. Antaranya, apa yang dibahaskan oleh Al Imam Anwar Shah Al Kasymiri dalam kitabnya Faidh Al Bari `ala Shahih Al Bukhari فيض الباري على صحيح البخاري dalam jilid pertama di dalam bab Al `Ilm Qabl Al Qaul wa Al `Amal (cetakan Deoband, India). As Subki menyebut dalam Thabaqat Asy Syafi`iyah: “Tiada seorang imam pun melainkan ada yang mencercanya.” Dengan itu maka para ulama hadits mensyaratkan tajrih (mempermasalahkan rawi) mestilah mufassar iaitu dinyatakan bukti kesalahan yang diterima.

Hal yang sama telah menimpa Ibnu Taimiyah, perkara ini bertambah buruk jika musuh-musuhnya dari kalangan Syi`ah dan golongan tarikat sufi yang ekstrem menabur fitnah yang begitu dahsyat. Dengan harapan, jatuhnya Ibnu Taimiyah, dapatlah bermaharajanya kesesatan. Maulana Abu Al Hasan `Ali An Nadwi, dalam bukunya tadi telah menceritakan bagaimana golongan yang sesat berusaha menyebabkan Ibnu Taimiyah dipenjarakan. Jika beliau dipenjarakan, maka mereka kembali berani untuk menyebarkan kesesatan mereka. Maka, para ulama pada zaman itu mulai sadar betapa besar dan pentingnya peranan Ibnu Taimiyah. Mereka mulai menulis surat, merayu dan membelanya di hadapan pemerintah, sehingga An Nadwi menyebut: “Ahli bid`ah dan hawa nafsu yang dahulu coba untuk menonjolkan diri sebagai bermazhab Ahlus Sunnah, untuk menipu para pemerintah dan hakim (agar menangkap Ibnu Taimiyah). Sebaik saja berhasil penipuan mereka, maka nampaklah kejahatan mereka pada orang banyak dan mulailah mereka menonjol dan tidak bersembunyi lagi.” (halaman 93-94).

Nampaknya sejarah tersebut, coba untuk ditimbulkan semula oleh golongan yang bertopengkan Ahlus Sunnah pada belakangan ini.

Jika kita perhatikan tokoh-tokoh umat pada zaman lalu dan kini, mereka banyak mengambil manfaat daripada khazanah Ibnu Taimiyah. Lihat An Nadwi yang saya sebutkan di atas. Demikian juga Asy Syaikh Yusuf Al Qaradawi pernah menyebut dalam bukunya Kaifa Nata`amul Ma`a As Sunnah: “Al Imam Ibnu Taimiyah adalah dari kalangan ulama umat yang aku sayangi, bahkan barangkali dadalah yang paling hatiku sayangi di kalangan mereka dan paling dekat kepada pemikiranku.” (halaman 170, cetakan: Dar Al Wafa, Mesir)

Sebenarnya, golongan yang ingin supaya orang banyak menghukum Ibnu Taimiyah sesat, kufur dan seumpamanya itu sadar, bahwa jika langkah ini berhasil maka sebahagian besar tokoh-tokoh umat dapat dileburkan, dan khazanah umat dapat dihancurkan. Antara murid terbesar Ibnu Taimiyah adalah Al Imam Ibnu Katsir, yang terkenal dengan Tafsir Al Quran Al ‘Azhim atau dikenali dengan Tafsir Ibnu Katsir. Bacalah buku At Tafsir wa Al Mufassirun, karangan Asy Syaikh Husain Adz Dzahabi, dalamnya diceritakan bagimana Ibnu Katsir begitu mencintai gurunya, Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah dan banyak berpegang dengan fatwanya. Kemunculan Al  Imam Ibnu Katsir, Al Imam Adz Dzahabi, Al Imam Ibnu Al Qayim dan lain-lain adalah antara sumbangan besar Ibnu Taimiyah dalam bidang kesarjanaan Islam. Musuh-musuh Ahlus Sunnah mengetahui hal ini, mereka berusaha merobohkan khazanah ini.

Para pembaca sebuah buku atau tulisan hendaklah mengambil sikap berhati-hati, apatah lagi jika dia bukan seorang pengkaji yang dapat menyemak apa yang ditulis. Berpeganglah kepada ajaran Allah dalam surah Al Hujurat ayat 6:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang seseorang fasik membawa berita, maka selidikilah, agar kamu tidak menimpakan (hukuman) kepada sesuatu kaum dengan secara jahil, lalu kamu akan menyesal.”

Saya tertarik dengan apa yang dipetik oleh Al Imam Ibnu Ash Shalah ( meninggal 643H) dalam kitabnya `Ulum Al Hadits: “Entah berapa banyak di kalangan ulama yang telah melangkah kaki mereka di dalam surga sejak seratus atau dua ratus tahun yang lalu, sedangkan kamu menyebut dan mengumpat mereka.” (halaman 390, cetakan: Dar Al Fikr, Beirut)

Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah pergi menemui Allah sejak tujuh ratus tahun lalu. Hidupnya dahulu dibaluti dengan perjuangan yang penuh ikhlas. Para ulama hadits dan mereka yang mengenalinya memuji dan menghormatinya, seperti yang telah saya nyatakan dalam tulisan ini, bahkan lebih dari itu. Siapa yang menghina dan mencerca Ibnu Taimiyah di zaman ini, akan berdiri bertanggungjawab di hadapan mahkamah Allah Yang Maha Adil di akhirat. Mereka mesti bertanggungjawab di atas segala perkataaan yang dilempar kepada tokoh ulama yang mulia itu, yang menyampaikan ilmu, menulis, berjihad dengan pedang menentang tentara kuffar Monggol dan berbagai jasanya yang tidak mampu dihitung. Semoga Allah memelihara kita semua dari kegelinciran dan disesatkan oleh golongan yang jahat.


[1] Ibn Hajar Al `Asqalani, Al Durar Al Kaminah, jilid1, halaman155, cetakan: Dar Al Turats Al `Arabi, Beirut

[2] ibid, jilid 1, halaman 158-159

[3] Al Imam Adz Dzahabi, Tazkirah Al Huffazh, jilid 4, halaman 1496, cetakan Haidar Abad, India.

[4] Abu Zahrah, Tarikh Al Mazahib Al Islamiyah, halaman 648, cetakan Dar Al Fikr Al `Arabi, Mesir

[5] Imdad Al Fattah, bi Asanid wa Marwiyat Asy Syaikh `Abd Al Fattah, halaman 657, cetakan: Maktabah Al Imam Asy Syafi’i, Riyadh

[6] Ath Thahanawi, Qawaid fi `Ulum Al Hadits, halaman 442, cetakan Dar As Salam, Kaherah.