A. Pengertian
1. Bahasa
Istilah Al hadats ( الحدث ) dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang baru ( الحدیث ), maksudnya sesuatu yang sebelumnya tidak ada kemudian menjadi ada.
2. Istilah
Sedangkan secara istilah, oleh banyak ulama hadats itu diberi definisi dengan beragam redaksi, diantaranya adalah:
Status hukum syar’i (hukmi) pada tubuh seseorang yang menghilangkan kesucian.[1]
Definisi Al Hanafiyah:
Keluarnya najis dari manusia baik lewat kedua lubang kemaluan atau lewat lubang lainnya, baik sengaja atau tidak sengaja.[2]
Definisi Al Hanabilah:
Segala yang mewajibkan wudhu atau mandi janabah.[3]
Intinya menurut hemat Penulis, hadats itu adalah sebuah keadaan dimana seseorang terlarang hukumnya melakukan beberapa ritual ibadah, dan dihilangkan atau diangkat hadats itu lewat wudhu’, mandi janabah atau tayammum.
Thaharah dari hadats ini disebut juga thaharah hukmi, karena sesungguhnya yang tidak suci itu bukan bendanya melainkan status hukumnya. Sehingga mensucikannya bersifat ritual hukum saja, tidak ada pembersihan atau penghilangan secara fisik atas noda atau najis.
Thaharah hukmi didapat dengan cara berwudhu’, mandi janabah atau tayammum.
B. Perbedaan Hadats dengan Najis
Hadats punya beberapa persamaan dengan najis, namun punya perbedaan. Di antaranya adalah:
1. Hadats Bukan Benda Tapi Status Hukum
Berbeda dengan najis yang merupakan benda yang bisa dilihat berdasarkan warnanya, baunya atau rasanya di lidah, hadats bukan berbentuk sebuah benda.
Hadats adalah status hukum seseorang karena melakukan suatu perbuatan atau mengalami suatu kejadian. Misalnya, seorang yang buang air kecil dan air besar, maka dia berstatus menanggung hadats kecil. Walau pun dia telah beristinja’ dan membersihkan semua najis yang melekat.
Dan wanita yang mendapat haidh, dia berstatus menanggung hadats besar. Walau pun haidhnya telah berhenti total dan sama sekali tidak keluar lagi. Namun selama di belum mandi janabah yang fungsinya mengangkat hadats besar, statusnya tetap dalam keadaan berhadats besar.
2. Hadats Disucikan Dengan Ritual
Seorang yang berhadats baik hadats kecil atau hadats besar, tetap akan berstatus berhadats meski dia telah menghilangkan najis yang ada pada badan atau pakaiannya.
Hadats hanya dapat diangkat atau dihilangkan dengan melakukan ritual ibadah tertentu, seperti berwudhu’, mandi janabah atau bertayammum.
Sedangkan hukum najis umumnya diangkat dengan cara dibersihkan, dicuci, atau upaya lainnya sehingga secara fisik najis itu telah hilang. Kecuali najis ringan dan najis berat, dimana keduanya dihilangkan dengan cara melakukan pembersihan yang bersifat ritual.
Najis air kencing bayi yang belum makan apapun kecuali air susu ibu, disucikan dengan cara dipercikkan saja dengan air, dan hukumnya telah suci, meski secara fisik najisnya masih ada.
Sedangkan bekas jilatan anjing dan babi tetap masih ada meski telah dicuci sebersih-bersihnya dengan sabun, selama belum dilakukan ritual pencucian dengan air sebanyak 7 kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.
3. Hadats dan Najis Menghalangi Ritual Ibadah
Meski hadats berbeda dengan najis, namun kedua punya punya persamaan, yaitu sama-sama menghalangi seseorang dari melakukan ibadah ritual seperti shalat, melafadzkan ayat Al Quran, tawaf dan sebagainya, sebagaimana nanti akan kita bahas bersama.
Seorang yang pada tubuh, pakaian atau tempatnya masih terkena najis, dia tidak sah bila melakukan shalat dan lainnya. Sebagaimana seorang yang masih dalam status berhadats kecil atau besar, dia dia juga tidak sah bila melakukan shalat dan ibadah lainnya.
C. Hadats Kecil
1. Penyebab Hadats Kecil
Hal-hal yang bisa mengakibatkan hadats kecil adalah ada beberapa hal, diantaranya adalah keluarnya sesuatu lewat lubang kemaluan, tidur, hilang akal, menyentuh kemaluan, dan menyentuh kulit lawan jenis.
Hal-hal yang membuat seseorang berhadats kecil dan bisa membatalkan wudhu’ ada beberapa hal. Sebagian disepakati para ulama dan sebagian lainnya masih menjadi khilaf atau perbedaan pendapat.
a. Keluarnya Sesuatu Lewat Kemaluan.
Yang dimaksud kemaluan itu termasuk bagian depan dan belakang. Dan yang keluar itu bisa apa saja termasuk benda cair seperti air kencing mani wadi mazi atau apapun yang cair. Juga berupa benda padat seperti kotoran batu ginjal cacing atau lainnya. Pendeknya apapun juga benda gas seperti kentut.
Kesemuanya itu bila keluar lewat dua lubang qubul dan dubur membuat wudhu’ yang bersangkutan menjadi batal. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikut ini:
Atau bila salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air. (QS Al Maidah: 6)
Juga berdasarkan hadits nabawi:
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersasabda,”Bila seseorang dari kalian mendapati sesuatu pada perutnya lalu dia merasa ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka tidak perlu dia keluar dari masjid,kecuali dia mendengar suara atau mencium baunya.” (HR.Muslim)
b. Tidur
Tidur yang bukan dalam posisi tamakkun (tetap) di atas bumi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu’ (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur dengan berbaring atau bersandar pada dinding.
Sedangkan tidur sambil duduk yang tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri tidak termasuk yang membatalkan wudhu’ sebagaimana hadits berikut:
Dari Anas Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa para shahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidur kemudian shalat tanpa berwudhu’ (HR. Muslim) – Abu Daud menambahkan: Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
c. Hilang Akal
Hilang akal baik karena mabuk atau sakit. Seorang yang minum khamar dan hilang akalnya karena mabuk maka wudhu’ nya batal. Demikian juga orang yang sempat pingsan tidak sadarkan diri juga batal wudhu’nya.
Demikian juga orang yang sempat kesurupan atau menderita penyakit ayan dimana kesadarannya sempat hilang beberapa waktu wudhu’nya batal. Kalau mau shalat harus mengulangi wudhu’nya.
d. Menyentuh Kemaluan
Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu (HR. Ahmad dan At-Tirmizy)[4]
Para ulama kemudian menetapkan dari hadits ini bahwa segala tindakan yang masuk dalam kriteria menyentuh kemaluan mengakibatkan batalnya wudhu. Baik menyentuh kemaluannya sendiri atau pun kemaluan orang lain. Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik kemaluan manusia yang masih hidup atau pun kemauan manusia yang telah mati (mayat). Baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para ulama memasukkan dubur sebagai bagian dari yang jika tersentuh membatalkan wudhu.
Namun para ulama mengecualikan bila menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak tangan dimana hal itu tidak membatalkan wudhu’.
e. Menyentuh Kulit Lawan Jenis
Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada lapisan atau penghalan, termasuk hal yang membatalkan wudhu menurut pendapat para ulama.
Di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu’. Namun hal ini memang sebuah bentuk khilaf di antara para ulama. Sebagian mereka tidak memandang demikian.
Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al Quran yaitu:
Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik. (QS An-Nisa: 43)
Sebagian ulama mengartikan kata ‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima’ (hubungan seksual).
Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit tidak membatalkan wuhu’.
Ulama kalangan As Syafi’iyah cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu’.
Menurut mereka bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan Imam Asy-Syafi’i nampaknya tidak menerima hadits Ma’bad bin Nabatah dalam masalah mencium. Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah, sebenarnya kita masih juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal wudhu’nya adalah yang sengaja menyentuh sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh maka tidak batal wudhu’nya.
Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri). Menurut sebagian mereka bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan wudhu’.
Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam arti fisik adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu’. Pendapat ini didukung oleh Al Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.
Sedangkan Al Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah) maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu’.
Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyentuh para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu’ lagi.
Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu.’” Lalu ditanya kepada Aisyah, ”Siapakah istri yang dimaksud kecuali anda?” Lalu Aisyah tertawa.(HR. Turmuzi Abu Daud An-Nasai Ibnu Majah dan Ahmad).
2. Larangan Saat Berhadats Kecil
a. Melakukan Shalat
Untuk melakukan shalat diwajibkan berwudhu’ baik untuk shalat wajib maupun shalat sunnah. Termasuk juga di dalamnya sujud tilawah. Dalilnya adalah ayat Al Quran Al Kariem berikut ini:
Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki… (QS Al Maidah: 6)
Juga hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada shalat kecuali dengan wudhu’. Dan tidak ada wudhu’ bagi yang tidak menyebut nama Allah. (HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)
Shalat kalian tidak akan diterima tanpa kesucian (berwudhu’) (HR. Bukhari dan Muslim)
b. Menyentuh Mushaf
Jumhur ulama umumnya menyatakan bahwa diharamkan menyentuh mushaf Al Quran bila seseorang dalam keadaan hadats kecil atau dalam kata lain bila tidak punya wudhu’.
Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa haram bagi orang yang dalam keadaan hadats kecil untuk menyentuh mushaf meski pun dengan alas atau batang lidi.
Sedangkan Al Hanafiyah meski mengharamkan sentuhan langsung namun bila dengan menggunakan alas atau batang lidi hukumnya boleh. Syaratnya alas atau batang lidi itu suci tidak mengandung najis.
Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci. (QS Al Waqi’ah: 79)
Serta hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
Dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada ‘Amr bin Hazm tertulis: Janganlah seseorang menyentuh Al Quran kecuali orang yang suci”.(HR. Malik).[5]
Keharaman menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil ini sudah menjadi ijma’ para ulama yang didukung 4 mazhab utama.[6]
Sedangkan pendapat yang mengatakan tidak haram yaitu pendapat mazhab Daud Ad-Dzahiri. Dalam pandangan mazhab ini yang diharamkan menyentuh mushaf hanyalah orang yang berhadats besar sedangkan yang berhadats kecil tidak diharamkan. Pendapat senada datang dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu.
c. Tawaf di Seputar Ka’bah
Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum berwudhu’ untuk tawaf di ka’bah adalah fardhu. Kecuali Al Hanafiyah.
Hal itu didasari oleh hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berbunyi:
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda’Tawaf di Ka’bah itu adalah shalat kecuali Allah telah membolehkannya untuk berbicara saat tawaf. Siapa yang mau bicara saat tawaf maka bicaralah yang baik-baik.(HR. Ibnu Hibban Al Hakim dan Tirmizy)
3. Berthaharah dari Hadats Kecil
Bertaharah dari hadats kecil dilakukan dengan dua cara, yaitu wudhu dan tayammum. Namun tayammum hanya dibolehkan manakala semua syarat wudhu sudah tidak ada lagi. Dan tayammum sebenarnya bukan hanya mengangkat hadats kecil saja tetapi juga termasuk hadats besar.
D. Hadats Besar
1. Penyebab Hadats Besar
2. Larangan Saat Berhadats Besar
3. Berthaharah dari Hadats Besar
E. Thaharah Dari Hadats
Dan hadats itu ada dua jenis, yaitu hadats kecil dan hadats besar.
1. Hadats Kecil
a. Pengertian
Hadats kecil adalah kondisi hukum dimana seseorang sedang tidak dalam keadaan berwudhu’. Entah memang karena asalnya belum berwudhu’ atau pun sudah berwudhu’ tetapi sudah batal lantaran melakukan hal-hal tertentu.
Misalnya, seorang yang tertidur pulas secara hukum telah batal wudhu’-nya, namun secara fisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Dalam hal ini dikatakan bahwa orang itu berhadats kecil. Dan untuk mensucikannya dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu’ atau bertayammum bila tidak ada air.
b. Penyebab Hadats Kecil
c. Mengangkat Hadats Kecil
Untuk mengangkat atau menghilangkan hadats kecil, ritual yang harus dijalankan adalah berwudhu’. Dan bila tidak ada air, maka sebagai gantinya bisa dilakukan dengan cara melakukan tayammum.
Penulis membuat bab tersendiri untuk membahas wudhu’ dan tayammum.
2. Hadats Besar
a. Pengertian
Hadats besar adalah kondisi hukum dimana seseorang sedang dalam keadaan janabah. Dan janabah itu adalah status hukum yang tidak berbentuk fisik. Maka janabah tidak identik dengan kotor.
Ada beberapa penyebab kenapa seseorang menyandang status sedang janabah, diantaranya adalah keluar mani.
Dalam hal ini. orang yang mengalami keluar mani, baik dengan sengaja atau tidak sengaja, meski dia telah mencuci maninya dengan bersih lalu mengganti bajunya dengan yang baru dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar hingga selesai dari mandi janabah.
b. Penyebab Hadats Besar
Hal-hal yang bisa mengakibatkan hadats besar antara lain adalah keluar mani, bertemunya dua kemaluan, meninggal dunia, mendapat haidh, nifas dan melahirkan bayi.
Ketiga penyebab pertama itu bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan, sedangkan tiga penyebab yang terakhir hanya terjadi pada diri perempuan.
Para ulama menetapkan paling tidak ada 6 hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi janabah. Tiga hal di antaranya dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Tiga lagi sisanya hanya terjadi pada perempuan.
- Keluar Mani
Keluarnya air mani menyebabkan seseorang mendapat janabah baik dengan cara sengaja (masturbasi) atau tidak.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
Dari Abi Said Al Khudhri Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”Sesungguhnya air itu (kewajiban mandi) dari sebab air (keluarnya sperma). (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun ada sedikit berbedaan pandangan dalam hal ini di antara para fuqaha’.
Mazhab Al Hanafiyah Al Malikiyah dan Al Hanabilah mensyaratkan keluarnya mani itu karena syahwat atau dorongan gejolak nafsu baik keluar dengan sengaja atau tidak sengaja. Yang penting ada dorongan syahwat seiring dengan keluarnya mani. Maka barulah diwajibkan mandi janabah.
Sedangkan mazhab Asy-syafi’iyah memutlakkan keluarnya mani baik karena syahwat atau pun karena sakit semuanya tetap mewajibkan mandi janabah.[7]
Sedangkan air mani laki-laki itu sendiri punya ciri khas yang membedakannya dengan wadi dan mazi:
- Dari aromanya air mani memiliki aroma seperti aroma ‘ajin (adonan roti). Dan seperti telur bila telah mengering.
- Keluarnya dengan cara memancar sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: من ماء دافق
- Rasa lezat ketika keluar dan setelah itu syahwat jadi mereda.
Mani Wanita
Dari Ummi Salamah radhiyallahu anha bahwa Ummu Sulaim istri Abu Thalhah bertanya”Ya Rasulullah sungguh Allah tidak mau dari kebenaran apakah wanita wajib mandi bila keluar mani? Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab”Ya bila dia melihat mani keluar”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa wanita pun mengalami keluar mani bukan hanya laki-laki.
- Bertemunya Dua Kemaluan
Yang dimaksud dengan bertemunya dua kemaluan adalah kemaluan laki-laki dan kemaluan wanita. Dan istilah ini disebutkan dengan maksud persetubuhan (jima’). Dan para ulama membuat batasan: dengan lenyapnya kemaluan (masuknya) ke dalam faraj wanita atau faraj apapun baik faraj hewan.
Termasuk juga bila dimasukkan ke dalam dubur baik dubur wanita ataupun dubur laki-laki baik orang dewasa atau anak kecil. Baik dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati. Semuanya mewajibkan mandi di luar larangan perilaku itu.
Hal yang sama berlaku juga untuk wanita dimana bila farajnya dimasuki oleh kemaluan laki-laki baik dewasa atau anak kecik baik kemaluan manusia maupun kemaluan hewan baik dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati termasuk juga bila yang dimasuki itu duburnya. Semuanya mewajibkan mandi di luar masalah larangan perilaku itu.
Semua yang disebutkan di atas termasuk hal-hal yang mewajibkan mandi meskipun tidak sampai keluar air mani. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan menyentuh kemaluan lainnya maka hal itu mewajibkan mandi janabah. Aku melakukannya bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kami mandi.”
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”Bila seseorang duduk di antara empat cabangnya kemudian bersungguh-sungguh (menyetubuhi) maka sudah wajib mandi. (HR. Muttafaqun ‘alaihi).
Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Meski pun tidak keluar mani”
- Meninggal
Seseorang yang meninggal maka wajib atas orang lain yang masih hidup untuk memandikan jenazahnya. Dalilnya adalah sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang orang yang sedang ihram tertimpa kematian:
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”Mandikanlah dengan air dan daun bidara’. (HR. Bukhari dan Muslim)
- Haidh
Haidh atau menstruasi adalah kejadian alamiyah yang wajar terjadi pada seorang wanita dan bersifat rutin bulanan.
Keluarnya darah haidh itu justru menunjukkan bahwa tubuh wanita itu sehat. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan juga sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS Al Baqarah: 222)
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda’Apabila haidh tiba tingalkan shalat apabila telah selesai (dari haidh) maka mandilah dan shalatlah. (HR Bukhari dan Muslim)
- Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita setelah melahirkan. Nifas itu mewajibkan mandi janabah meski bayi yang dilahirkannya itu dalam keadaan mati. Begitu berhenti dari keluarnya darah sesudah persalinan atau melahirkan maka wajib atas wanita itu untuk mandi janabah.
Hukum nifas dalam banyak hal lebih sering mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang yang nifas tidak boleh shalat puasa thawaf di baitullah masuk masjid membaca Al Quran menyentuhnya bersetubuh dan lain sebagainya.
- Melahirkan
Seorang wanita yang melahirkan anak meski anak itu dalam keadaan mati maka wajib atasnya untuk melakukan mandi janabah. Bahkan meski saat melahirkan itu tidak ada darah yang keluar. Artinya meski seorang wanita tidak mengalami nifas namun tetap wajib atasnya untuk mandi janabah lantaran persalinan yang dialaminya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ‘illat atas wajib mandinya wanita yang melahirkan adalah karena anak yang dilahirkan itu pada hakikatnya adalah mani juga meski sudah berubah wujud menjadi manusia.
Dengan dasar itu maka bila yang lahir bukan bayi tapi janin sekalipun tetap diwajibkan mandi lantaran janin itu pun asalnya dari mani.
c. Mengangkat Hadats Besar
Untuk mengangkat atau menghilangkan hadats besar, ritual yang harus dijalankan adalah mandi janabah. Penulis membuat bab tersendiri untuk membahas mandi janabah.
Dan dalam kondisi tidak ada air, mandi janabah bisa digantikan dengan tayammum yang sesungguhnya bukan hanya berfungsi sebagai pengganti wudhu, tetapi juga berfungsi sebagai pengganti dari mandi janabah.
Maka bila ada seseorang yang terkena janabah tidak perlu bergulingan di atas tanah. Cukup baginya untuk bertayammum saja. Karena tayammum bisa menggantikan dua hal sekaligus yaitu hadats kecil dan hadats besar.
Namun karena sifatnya yang sebagai pengganti sementara, maka bagi orang yang bersuci dari hadats besar dengan tayammum, tiap kali mengerjakan shalat, thawaf, i’tikaf dan lainnya, wajiblah atasnya untuk bertayammum lagi. Mengingat sifatnya yang hanya mengangkat hadats besar sementara.
Mengenai tayammum dengan segala ketentuannya, akan kita bahas dalam bab tersendiri setelah kita membahas bab tentang wudhu’ dan bab tentang mandi janabah.
[1] Nihayatul Muhtaj jilid 1 halaman 51-52
[2] Al Bada’i jilid 1 halaman 24
[3] Kasysyaf Al Qina’ jilid 1 halaman 28
[4] Al Bukhari mengomentari hadits ini sebagai hadits yang paling shahih dalam masalah ini. Dan Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih berdasarkan syarat dari Bukhari dan Muslim.
[5] Malik meriwayatkan hadits ini secara mursal, namun An-Nasa’i dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadits ini tersambung. Setidaknya hadits ini ma’lul (punya cacat)
[6] Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili, jilid 1 halaman 398
[7] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah jilid 16 halaman 49