Haji: Rincian Adab dan Amal-amal Batinnya

Haji

 [Allah berfirman:

“Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata kotor, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji…” (Al Baqarah: 197)

“Dan barangsiapa mengagungkan syi ‘ar-syi ‘ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (Al Hajj: 32)

Haji adalah pembiasaan jiwa untuk melakukan sejumlah nilai, seperti istislam, taslim, mengerahkan jerih’payah dan harta di jalan Allah, ta’awun, ta’aruf, dan melaksanakan syi’ar-syi’ar ‘ubudiyah kepada Allah. Semua itu memiliki pengaruh dalam tazkiyatun nafs , sebagaimana merupakan bukti telah merealisasikan kesucian jiwa.

Agar haji memberikan hasil-hasilnya secara utuh maka harus diperhatikan adab-adab dan amalan-amalan hati yang ada di dalamnya. Hal inilah yang menjadi tema utama buku ini. Marilah kita ikuti penjelasan Al Ghazali.

Rincian Adab dan Amal-amal Batin Ibadah Haji

1) Rincian Adab

(a) Finansialnya hendaknya halal, dan membebaskan tangan dari perniagaan yang menyibukkan hati dan mengacaukan perhatian sehingga perhatiannya hanyalah Allah semata, sedangkan hatinya merasa tenang dan terarah kepada dzikrullah dan mengagungkan syi’ar-syi’ar-Nya.

(b) Memperbanyak bekal dan ridha mengeluarkan-(bekal) dan berintaq ranpa pelit dan pemborosan, tetapi ekonomis. Pemborosan yang saya maksudkan ialah bersenang-senang dengan berbagai makanan dan bermegah-megahan dengan berbagai macam minuman sebagaimana kebiasaan orang-orang yang hidup megah. Adapun banyak berinlaq tidak termasuk pemborosan. Karena seperti dikatakan orang, “tidak ada kebaikan dalam pemborosan dan tidak ada pemborosan dalam kebaikan.” Sedangkan mengeluarkan bekal di jalan haji ialah nafkahnya di jalan Allah; satu dirham dilipatgandakan pahaianya menjadi tujuhratus dirham.

Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh berkata: Termasuk kedermawanan seseorang ialah kebaikan bekalnya dalam perjalanan. Ia juga pernah berkata: Haji yang paling utama ialah yang paling ikhlas niatnya, paling bersih nafkahnya dan paling baik keyakinannya. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Haji yang mabrur tidak punya balasan kecuali surga.” Dikatakan kepadanya: Wahai Rasulullah, apa kemabruran haji itu? Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Perkataanyang baik dan memberikan makanan.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad lembek, dan Al Hakim secara singkat, dan ia berkata: Shahih sanad-nya)

(c) Meninggalkan rafats, jusuq dan jidal, sebagaimana diungkapkan Al Qur’an.

Rafats ialah sebutan bagi setiap kesia-siaan dan kemesuman dan perkataan yang jorok. Termasuk ke dalam kategori rafats ialah merayu wanita, bercumbu, berbicara seputar masalah jima’ dan pengantarnya. Semua itu dapat membangkitkan dorongan jima’ yang dilarang. Pendorong hal yang dilarang adalah dilarang.

Fusuq ialah sebutan bagi setiap pelanggaran akan ketaatan kepada Allah. Sedangkan jidal ialah berlebih-lebihan dalam bertengkar dan perbantahan sehingga dapat menimbulkan antipati dan mengacaukan perhatian.

Sufyan berkata: “Siapa yang melakukan rafats maka rusaklah hajinya.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menjadikan perkataan yang baik dan memberikan makanan sebagai bukti kemabruran haji. Perbantahan bertentangan dengan perkataan yang baik, karena itu, sebaiknya tidak boleh banyak memprotes temannya, tetapi harus bersikap lemah lembut dan merendahkan “sayap”-nya kepada orang-orang yang berjalan ke Baitullah, berkomitmen kepada akhlaq yang baik. Akhlaq yang baik bukanlah menahan diri dari tindakan menyakiti saja tetapi juga bersabar terhadap gangguan. Dikatakan: Perjalanan itu disebut safar karena ia mengungkapkan safar akhlaq orang. Oleh sebab itu Umar Radhiyallahu ‘Anh berkata kepada orang yang mengaku bahwa dirinya telah mengenal seseorang: Apakah kamu pernah menemaninua dalam perjalanan yang akan menjadi bukti kebaikan akhlaqnya? Ia menjawab: Belum. Umar Radhiyallahu ‘Anh berkata: Kamu belum mengenalnya.

(d) Hendaknya berhaji dengan berjalan kaki, jika mampu, karena hal ini lebih utama, terutama perjalanan dari Mekkah ke Arafah dan Mina. Jika berihram dari rumah keluarganya dilakukan dengan berjalan maka dikatakan bahwa hal itu termasuk kesempurnaan haji. Pendapat ini dikemukakan Umar, Ali dan Ibnu Mas’ud berkenaan dengan makna firman Allah:

“Dan sempumakanlah haji dan umrah karena Allah.” (Al Baqarah: 196) [Sebagian ulama’ berkata: Berkendaraan adalah lebih utama karena biaya dan fmansial yang ada di dalamnya, di samping lebih bisa menjauhkan dari keluh-kesah jiwa, lebih sedikit gangguannya, lebih menjamin keselamatan dan lebih bisa sempurna hajinya. Bila dikaji lebih jauh pendapat ini tidak berten-tangan dengan pendapat yang pertama. tetapi perlu dirinci. Dikatakan: Siapa yang lebih mudah berjalan maka ia lebih utama, tetapi jika berjalan itu membuatnya lemah, mengakibatkan timbulnya akhlak yangburuk dan menyebabkan terabaikan-nya kewajiban maka berkendaraan adalah lebih utama. Sebagaimana puasa bagi orang yang musafir dan orang yang sakit adalah lebih utama jika tidak mengakibatkan kelemahan dan akhlaq yang buruk].

(e) Hendaknya berpenampilan lusuh, berdebu dan dekil; tidak banyak memakai perhiasan dan tidak cenderung kepada berbagai sarana kemewahan dan kemegahan sehingga dicatat dalam catatan orang-orang yang sombong dan bermegah-megahan dan keluar dari partai orang-orang yang lemah, miskin dan khusushush-shalihin.

“Allah berfirman: ‘Lihatnya kepada para penziarah rumah-Ku, mereka mendatangi-Ku dalam keadaan lusuh dan berdebu dari segala penjuru yang jauh.”[1]

Allah berfirman:

“Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka.” (Al Hajj: 29)

At Tafats ialah dekil dan berdebu yang pembersihannya dilakukan dengan mencukur, menggunting kumis dan kuku, yaitu pada saat tahallul dari ihram.

Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anh pernah menulis surat kepada para komandan tentara:

“Berpakaianlah dengan pakaian yang lapuk dan prihatinlah.”

Dikatakan: Sebaik-baik orang yang haji adalah penduduk Yaman karena mereka berpenampilan tawadhu’, rendah hati dan bergaya salaf.

(f) Hendaknya ber-taqarrub dengan menyembelih binatang qurban sekalipun ia tidak berkewajiban melakukannya dan berusaha agar binatang qurbannya termasuk yang mahal dan berharga. kemudian memakan sebagian dagingnua jika qurban itu sebagai tathawwu.’; dan tidak memakan dagingnya jika qurban itu sebagai kewajiban [kecuali dengan fatwa Imam],

Tentang tafsir firman Allah: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah.” (Al Hajj: 32), dikatakan: Bahwa maksudnya adalah membaguskannya dan memilih yang mahal.

Menuntun binatang qurban (hadyu) dari miqat lebih utama jika tidak menyulitkannya.

Dalam membeli binatang qurban, hendaklah tidak menawar. Biasanya mereka mempermahal tiga hal dan tidak menyukai tawar-menawar, yaitu binatang hadyu, binatang qurban dan budak. Karena yang paling utama dari hal tersebut ialah yang paling mahal harganya dan paling berharga di sisi pemiliknya.

Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh meriwayatkan bahwa Umar hendak menyembelih seekor binatang lalu ditawar tigaratus dirham, kemudian ia bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam apakah ia boleh menjualnya lalu dari hasil penjualannya itu akan dibelikan unta, tetapi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya dan bersabda: “Sembelihlah.”[2] Ini karena sedikit yang berkwalitas. lebih baik ketimbang yang banyak tapi tidak berkwalitas. Tiga ratus dirham bisa dibelikan tigapuluh ekor unta dan memberikan daging yang lebih banyak, tetapi daging bukan menjadi tujuan utama; apa yang menjati tujuan utama ialah tazkiyatun nafs dan penyucian jiwa dari sifat kikir dan menghiasinya dengan keindahan pengagungan kepada Allah, sebab : “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Al Hajj: 37). Hal itu bisa dicapai dengan menjaga ketinggian nilainya baik banyak ataupun sedikit.

“Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya: Apakah kemabruran haji itu? Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Teriakan talbiah dan penyembelihan unta.”[3]

Al ‘Ajju ialah mengucapkan talbiyah dengan suara keras. Ats Tsajju ialah penyembelihan unta.

Aisyah Radhiyallahu ‘Anh meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Tidak ada amalan manusia pada hari penyembelihan (qurban) yang lebih dicintai Allah ketimbang penumpahannya akan darah (binatang sembelihan), dan sesungguhnya binatang sembelihan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya darah (binatang) itu sampai kepada Allah di sebuah tempat sebelum jatuh ke tanah, maka lakukanlah dengan penuh keridhaan.”[4]

Di dalam riwayat yang lain disebutkan:

Bagi kalian dari setiap bulu kulitnya mendapatkan satu kebaikan, dan setiap tetesan darahnya satu kebaikan, dan sesungguhnya qurban itu diletakkan di dalam timbangan maka bergembiralah.”[5]

(g) Hendaknya merasa senang dan ridha dalam mengeluarkan semua biaya baik nafkah ataupun pembelian binatang qurban, juga terhadap kerugian dan musibah yang mungkin menimpa harta atau badannya, karena yang demikian itu termasuk tanda-tanda diterimanya haji. Sesungguhnya musibah di perjalanan haji sama dengan intaq di jalan Allah; satu dirham dilipat gandakan pahalanya menjadi tujuhratus dirham; sama dengan kesulitan di jalan jihad, setiap penderitaan dan kerugian yang dialaminya mendapatkan pahala, tidak ada sesuatu pun yang hilang sia-sia di sisi Allah.

Dikatakan, di antara tanda diterimanya haji adalah meninggalkan kemaksiatan yang pernah menjadi kebiasaan sebelumnya, mengganti teman-temannya yang durhaka dengan teman-teman yang shalih, meninggalkan majlis-majlis permainan dan kelalaian lalu menggantinya dengan majli-majlis dzikir dan kesadaran.

2. Amal-aamal Batin, Mengikhlaskan Niat, Mengambil Pelajaran dari Berbagai Tempat yang Mulia, dan Cara Merenungkan Berbagai Rahasia dan Nilai-nilai Haji dari Awal Hingga Akhir

Ketahuilah bahwa permulaan haji adalah kefahaman —yakni tentang kedudukan haji dalam agama— kemudian kerinduan terhadapnya, kemudian “berazam untuk melakukannya. kemudian memutuskan berbagai keterkaitan yang menghalanginya, kemudian membeli pakaian ihram, kemudian membeli bekal, kemudian mempersiapkan kendaraan, kemudian keluar, kemudian keberangkatan, kemudian ihram dari miqat dengan talbiyah, kemudian memasuki Mekkah, kemudian menyempurnakan berbagai amalan. Dalam setiap acara tersebut di atas terdapat peringatan bagi orang yang mencari peringatan pelajaran. Juga terdapat pengenalan dan isyarat bagi orang yang “cerdas.” MariIah kita bahas kunci-kuncinya sehingga apabila telah terbuka pintunya telah diketahui sebab-sebabnya maka akan tersingkaplah bagi setiap or-yang haji akan berbagai rahasianya yang akan memberikan kejernihan kesucian batin dan kedalaman pemahaman.

Adapun kepahaman: Maka ketahuilah bahwa tidak ada wushul (pencapaian) kepada Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dengan membersihkan dari berbagai syahwat, menahan berbagai kelezatan, membatasi diri pada hal-hal yang bersifat primer (dharurat), dan tajarrud (hanya memandang) pada Allah dalam semua gerak dan diam. Setelah hal-hal tersebut terkikis, sr;elah makhluq mengikuti berbagai syahwat, kemudian mereka meninggalkan irarrud dalam ibadah kepada Allah maka Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menghidupkan jalan akhirat dan memperbarui sunnah r^ra Rasul dalam menempuh jalan tersebut. Ketika ditanya tentang kerahiban u^n wisata dalam agamanya, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

“Allah telah rnenggantinya untuk kita dengan jihad dan takbir pada setiap pendakian.”[6]

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang orang-orang yang melakukan wisata, lalu beliau bersabda: “Yaitu orang-orang yang berpuasa.” [7]

Allah telah memberikan nikmat-Nya kepada ummat ini dengan menjadikan haji sebagai “kerahiban” bagi mereka. Allah memuliakan Al Bait Al Atiq dengan menisbatkannya kepada diri-Nya, menetapkannya sebagai tujuan para hamba-Nya, menjadikan apa yang ada di sekitarnya sebagai kesucian bagi rumah-Nya dan pengagungan urusan-Nya, menjadikan Aratah seperti kanal pada halaman telaga-Nya, dan menegaskan kesucian tempat dengan mengharamkan binatang buruan dan pepohonannya, yang dijadikan sebagai tujuan para penziarah dari segenap penjuru nun jauh, dalam keadaan dekil dan berdebu seraya merendahkan diri kepada Pemilik “rumah,” berserah diri kepada-Nya, karena tunduk kepada keagungan-Nya dan pasrah kepada keperkasaAn Nya. Disertai pengakuan bahwa Dia terbebaskan dari bertempat di sebuah rumah atau negeri. agar hal tersebut lebih dapat menyempurnakan kehambaan dan ketundukan mereka. Oleh sebab itu, Dia mewajibkan kepada mereka di dalam haji ini berbagai amal perbuatan yang tidak akrab bagi jiwa dan tidak bisa dipahami makna-maknanya oleh akal, seperti melontar dengan batu kerikil, dan berjalan ulang alik antara Shala dan Marwah beberapa kali putaran. Dengan berbagai amal perbuatan seperti ini nampaklah kesempurnaan kehambaan dan ‘ubudiyah.

Sesungguhnya zakat adalah wujud solidaritas yang bisa dilahami hikmahnya dan akal juga punya kecenderungan kepadanya. Puasa adalah mengalahkan syahwat yang menjadi alat musuh Allah, dan konsentrasi ibadah dengan menahan diri dari berbagai hal yang menyibukkan. Ruku’ dan sujud dalam shalat adalah merendahkan diri kepada Allah dengan berbagai perbuatan yang mencerminkan kerendahan, dan jiwa pun sudah terbangun untuk mengagungkan Allah. Akan tetapi berjalan mondar-mandir dalam sa’i, melontar batu kerikil dan perbuatan-perbuatan lainnya yang semisal dalam ibadah haji ini “tidak biasa” bagi jiwa dan tidak bisa dilahami maknanya oleh akal. Tidak ada faktor yang mendorong untuk melakukan hal tersebut kecuali semata-mata perintah dan tujuan melaksanakan perintah yang wajib diikuti. Hal ini mengandung arti menghentikan peran akal dan memalingkan jiwa dan tabi’at dari hal-hal yang telah diakrabinya. Karena setiap hal yang maknanya bisa dilahami oleh akal pasti tabi’at memiliki kecenderungan kepadanya, sehingga kecenderungan tersebut menjadi pembantu dan pendorong sekaligus untuk melaksanakannya. Dengan demikian di sini tidak nampak kesempurnaan kehambaan dan ketundukan. Oleh karena itu, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengucapkan dalam haji secara khusus:

“Aku sambut seruan-Mu dengan haji sebagai hak, ubudiyah dan penghambaan.”[8]

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah mengucapkan ucapan tersebut dalam kaitannya iengan shalat atau ibadah lainnya. Apabila hikmah kebijaksanaan Allah nenghendaki bahwa keselamatan makhluk terkait dengan keharusan agar amal perbuatan mereka berlawanan dengan hawa natsu tabi’at mereka dan igar kendalinya berada di tangan suari’at sehingga dalam berbagai amal rerbuatan mereka didasarkan pada sunnah-sunnah kepatuhan dan sebagai tonsekwensi penghambaan, maka sesuatu (ibadah) yang makna-maknanya tidak bisa dipahami oleh akal merupakan bentuk ibadah yang paling baik dan ziengena dalam tazkiyatun nafs dan pengalihannya dari tuntutan tabi’at dan akhlak kepada tuntutan penghambaan.

Apabila engkau telah memahami hal ini maka engkau pasti akan paham bahwa kekagetan jiwa dari berbagai amal perbuatan yang aneh ini sumbernya adalah ketidaktahaman tentang berbagai rahasia ibadah. Kiranua penjelasan :m sudah cukup untuk memahami prinsip haji, insya Allah.

Adapun kerinduan: la akan muncul setelah kelahaman dan kesadaran bahwa rumah itu adalah Baitullah, sehingga orang yang berangkat menuju iepadanya sama dengan orang yang berangkat menuju Allah dan berziarah cepada-Nya.

Adapun ‘azam: Maka hendaknya diketahui bahwa dengan ‘azamnya ia rertekad meninggalkan keluarga dan negeri, menjauhi berbagai syahwat dan ielezatan dengan bertujuan menziarahi rumah Allah. Hendaknya ia mengagungkan dalam dirinya keagungan “rumah” dan keagungan Pemilik rumah. Hendaknya diketahui bahwa ia telah bertekad melakukan sesuatu yang sangat renting, dan siapa yang mencari sesuatu yang sangat agung maka sesungguhnya ia mempertaruhkan hal yang sangat agung. Hendaklah ia menjadikan tekadnya itu semata-mata ikhlas karena mencari ridha Allah, jauh dari berbagai kotoran riya’ dan pamrih. Hendaknya ia menyadari bahwa tujuan dan amal perbuatannya tidak akan diterima kecuali jika dilakukan secara ikhlas.

Adapun memutuskan berbagai keterkaitan: Maksudnya ialah rnenyelesaikan berbagai “perkara” atau “sangkutan” yang berkaitan dengan manusia dan bertaubat secara ikhlas kepada Allah dari semua kemaksiatan. Karena setiap “perkara” merupakan sangkutan. Setiap sangkutan, seperti jrang yang berhutang, akan hadir dan berkaitan dengan talbiyah-talbiyahnya. Kepadanya akan diserukan: Kemanakah kamu pergi, apakah kamu bermaksud ke rumah Raja Diraja sedangkan engkau menyia-nyiakan perintah-Nya di mmahmu ini dan mengabaikannya? Tidakkah engkau malu, engkau datang tepada-Nya sebagai seorang hamba yang bermaksiat sehingga Dia tidak akan menerimamu? Jika engkau ingin ziarahmu diterima maka laksanakanlah perin-:ah-perintah-Nya, selesaikanlah segala perkaramu, bertaubatlah kepada-Nya dari semua kemaksiatan, dan putuskanlah keterkaitan hatimu dari berpaling sepada apa yang ada di belakangmu, agar engkau bisa menghadap kepada-Nya dengan wajah hatimu, sebagaimana engkau menghadap ke rumah-Nya dengan wajah zhahirmu. Jika engkau tidak melakukan hal itu maka perjalananmu tidak mendapatkan apa-apa kecuali keletihan, kesengsaraan, bahkan pengusiran dan penolakan.

Adapun bekal: Maka carilah dari tempat yang halal. Jika merasakan adanya ketamakan untuk memperbanyak dan tuntutan untuk selalu ada sepanjang perjalanan, tanpa berubah dan rusak sebelum tercapainya tujuan, maka hendaklah ia mengingat bahwa perjalanan akhirat lebih panjang dari perjalanan ini. Bekal yang sesungguhnya adalah taqwa sedangkan bekal selainnya, yang dikira sebagai bekalnya, akan tertinggal saat kematiannya dan tidak menyertainya, seperti makanan basah yang rusak di awal terminal perjalanan sehingga ketika membutuhkan ia kebingungan tanpa bisa berbuat apa-apa. Maka hendaklah berhati-hati jika amal perbuatannya yang merupakan bekalnya! ke akhirat itu tidak dapat menyertainya setelah kematian, bahkan telah rusak oleh berbagai bakteri riya’ dan keteledoran.

Adapun kendaraan: Maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah dengan hatinya atas berbagai kendaraan yang telah ditundukkan Allah untuk manusia, dan hendaklah mengingat pada saat itu akan kendaraan yang akan dinaikinya ke kampung akhirat yaitu jenazah yang diusung di atas kendaraan itu. Karena sesungguhnya urusan orang haji sama dengan urusan perjalanan, dan hendaklah ia memperhatikan apakah perjalanannya dengan kendaraan ini layak menjadi bekal bagi perjalanan di atas kendaraan tersebut? Betapa dekat hal tersebut dengannya. Bukankah kematian sangat dekat dan pengusungan jenazah dapat dipastikan sedangkan kemudahan perjalanan masih penuh keraguan? Bagaimana bisa terjadi ia sangat baik mempersiapkan bekal perjalanan yang masih diragukan dengan memeriksa bekal dan kendarannya tetapi ia mengabaikan persiapan perjalanan yang pasti’?

Adapun membeli dua pakaian ihram: Maka pada saat itu hendaklah ia mengingat kain kalan yang akan membungkusnya. Ia akan memakai dan bersarung dengan dua kain ihram pada saat mendekati Baitullah, dan bisa jadi perjalanannya tidak bisa mencapainya, tetapi yang pasti ia akan bertemu Allah dalam keadaan terbungkus dalam kain kalan. Seperti halnya ia tidak menjumpai Baitullah kecuali dengan pakaian khusus yang tidak biasa dipakai, demikian pula ia tidak akan bertemu Allah setelah kematian kecuali dalam pakaian yang tidak sama dengan pakaian dunia. Pakaian ini sangat dekat dengan pakaian ihram tersebut sebab tidak berjahit sebagaimana kain kalan.

Adapun keluar dari negeri: Maka pada saat itu hendaklah ia mengetahui bahwa ia pasti berpisah dengan keluarga dan kampung halaman menuju Allah dalam suatu perjalanan yang tidak sama dengan berbagai perjalanan dunia. Karena itu, hendaklah ia menghadirkan di dalam hatinya apa yang ia inginkan, kemana arah yang dituju, dan siapa yang akan dikunjungi? Sesungguhnya ia menuju kepada Raja Diraja di tengah keramaian para penziarah-Nua yang diseru lalu mereka menyambut seruan. dan digaiakkan lalu mereka bangkit berduyun-duyun. Mereka memutuskan segala keterkaitan dan meninggalkan semua makhluk menuju ke Baitullah yang sangat diagungkan demi mengharap kepada Pemilik rumah itu akan puncak karunia-Nya dan kebahagiaan dengan melihat-Nya (kelak di surga). Hendaknya ia menghadirkan di dalam hatinya harapan wushul (sampai) dan qabul (diterima), bukan sebagai perbuatan nekat atau spekulasi dalam melakukan perjalanan dan perpisahan dengan keluarga dan harta kekayaannya. tetapi karena yakin akan karunia Allah dan harapan akan mendapatkan janji-Nya yang telah diberikan kepada orang yang menziarahi rumah-Nya. Hendaklah ia mengharap, seandainya tidak bisa sampai Baitullah karena meninggal di tengah perjalanan, bisa bertemu Allah dan bertamu kepada-Nya, karena Dia telah berfirman: “Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.” (An Nisa’: 100)

Adapun memasuki perkampungan menuju miqat dan menyaksikan tanjakan-tanjakan terjal tersebut: Maka pada saat itu hendaklah ia mengingat suasana antara keluar dari dunia dengan kematian menuju miqat hari kiamat dan berbagai peristiwanya yang mengerikan. Juga suasana keterpisahannya dari keluarga dan kerabatnya; kegelapan kubur, kepayahan dan kesendiriannya. Hendaknya berbagai kekhawatiran terhadap berbagai amal perbuatan dan perkataannya ini menjadi bekal untuk menghadapi berbagai suasana kubur yang menakutkan itu.

Adapun ihram dan talbiyah dari miqat: Maka pada saat itu hendaklah ia mengetahui bahwa maknanya ialah menyambut seruan Allah. Karena itu, berharaplah penerimaan dari-Nya dan takutlah bila dikatakan kepada Anda: “Tidak ada sambutan untukmu dan tidak ada kebahagiaan bagimu.” Hendaklah Anda selalu berada dalam keadaan antara harap dan cemas. Janganlah Anda mengandalkan kemampuan dan kekuatanmu, tetapi bertawakallah kepada karunia dan kedermawanan Allah, karena waktu talbiyah merupakan awal persoalan (yang sebenarnya) dan sekaligus sangat penting.

Sufyan bin Uyainah berkata: Ali bin Al Husain Radhiyallahu ‘Anh menunaikan haji dan ketika berihram di atas kendaraan, wajahnya pucat pasi, badannya gemetar dan tidak bisa mengucapkan talbiyah, lalu ditanyakan kepadanya: Mengapa engkau tidak bertalbiyah? Ia menjawab: “Aku takut bila dikatakan kepadaku, “Tidak ada sambutan untukmu dan tidak ada kebahagiaan bagimu.”

Ketika ber-talbiyah dengan suara keras di miqat hendaknya orang yang bertalbiyah mengingat akan sambutannya kepada seruan Allah ketika berfirman: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji.” (Al Hajj: 27) Juga seruan-Nya kepada makhluk dengan tiupan sangkakala, kebangkitan mereka dari kubur dan berdesakan mereka di lapangan hari kiamat demi memenuhi seruan Allah; sementara itu mereka terbagi kepada golongan muqarrabin dan golongan yang dimurkai atau golongan yang diterima dan golongan yang ditolak. Pada mulanya mereka berada dalam suasana antara cemas dan harap seperti suasana para hujjaj di miqat dimana mereka tidak mengetahui apakah mereka mampu menyempurnakan haji dan diterima ataukah tidak?

Adapun memasuki Mekkah: Maka pada saat itu hendaklah ia mengingat bahwa ia telah sampai ke tanah suci Allah dengan aman, dan hendaklah ia berharap dengan hal tersebut akan aman dari siksa Allah. Hendaklah ia takut bila tidak menjadi orang yang dekat (dengan-Nya) sehingga dengan memasuki tanah suci ia menjadi kecewa dan berhak mendapatkan murka. Hendaklah pengharapannya selalu mewarnai seluruh waktunya, karena kedermawanan Allah sangat luas. Tuhan Maha Kasih-sayang. kemuliaan Baitullah sangat agung, hak orang yang menziarahinya terpelihara. dan jaminan orang yang meminta perlindungan tidak tersia-siakan.

Adapun pandangan mata pada Baitullah: Maka hendaklah pada saat itu ia menghadirkan keagungan Ka’bah di dalam hati dan merasakan seolah-olah ia menyaksikan Pemilik rumah karena saking besarnya pengagungan terhadapnya. Berharaplah agar Allah berkenan memberikan karunia melihat wajah-Nya yang Mahamulia (di surga) sebagaimana Dia telah mengaruniakan Anda menyaksikan rumah-Nya yang mulia. Bersyukurlah kepada Allah atas perkenAn Nya yang telah menyampaikan Anda ke derajat ini dan menyusulkan Anda dengan rombongan orang-orang yang bertamu kepada-Nya. Ingatlah pada saat itu berduyun-duyunnya semua manusia pada hari kiamat ke arah surga dengan penuh harap bisa memasukinya, kemudian mereka terbagi kepada golongan yang diizinkan memasukinya dan golongan yang ditolak, persis seperti terbaginya para hujjaj kepada golongan yang diterima dan golongan yang ditolak hajinya. Janganlah lupa mengingat perkara-perkara akhirat dari setiap apa yang Anda saksikan, karena semua keadaan para hujjaj merupakan gambaran ihwal keadaan akhirat.

Adapun thawaf di Baitullah: Maka ketahuilah bahwa ia adalah shalat. Karena itu, hadirkanlah ta’zhim, rasa cemas, harap dan cinta (yang telah kami jelaskan dalam bab shalat) di dalam hatimu. Ketahuilah bahwa dengan thawaf engkau seperti para malaikat muqarrabin yang berkerumun di seputar Arsy dan mengelilinginya. Janganlah Anda mengira bahwa tujuan thawaf adalah semata-mata mengelilingi Baitullah dengan jasad, tetapi maksud utamanya adalah thawaf hati dengan mengingat Tuhan Pemilik rumah, sehingga janganlah Anda memulai dzikir kecuali dari-Nya dan janganlah Anda meng-akhiri dzikir kecuali dengan-Nya, sebagaimana Anda memulai thawaf dari Ka’bah dan berakhir di Ka’ah.

Adapun istilam (mencium atau menyentuh Hajar Aswad): Maka yakinilah rida saat itu bahwa engkau tengah berbai’at kepada Allah untuk menaati-Nya. Kuatkanlah tekadmu untuk menepati bai’atmu. Barangsiapa mengkhianati -ii’at maka ia berhak mendapatkan murka. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh meriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda:

“Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah di muka bumi yang dengannya Dia menyalami makhluk-Nya sebagaimana seseorang menyalami saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim dan dia mcn-shahih-kannya)

Adapun bergelantungan dengan kelambu Ka’bah dan menempel di Multazam: Maka berniatlah dalam menempel tersebut untuk meningkatkan kecintaan dan kerinduan kepada Ka’bah dan Pemilik Ka’bah dan berharap rerlindungan kepada-Nya dari api neraka dalam setiap bagian dari badanmu. Berniatlah dalam bergelantungan dengan kelambu Ka’bah itu untuk meningkatkan keseriusan dalam memohon ampunan dan keamanan, seperti orang berdosa yang bergelayutan dengan pakaian orang dimintai maaf, yang merendahkan diri kepada-Nya demi mengharap ampunAn Nya, yang menampakkan bahwa tidak ada tempat berlindung dari-Nya kecuali kepada-Nya, ia tidak akan melepaskannya kecuali dengan ampunan dan jaminan keamanan hi masa depan (akhirat).

Adapun sa’i antara Shafa dan Marwah di pelataran Baitullah: Maka sesungguhnya ia sama dengan mondar-mandirnya hamba di lapangan rumah Raja demi memperlihatkan keikhlasan dalam berkhidmah dan mengharapkan perhatian dengan mata kasih sayang, seperti orang yang masuk kepada raja kemudian keluar dalam keadaan tidak menyadari apa yang telah diputuskan sang raja berkenaan dengan dirinya, apakah diterima atau ditolak? Ia senantiasa mondar-mandir di pelataran rumah demi mengharapkan kasih sayang untuk yang kedua kalinya jika belum berhasil mendapatkan kasih sayang itu pada kali yang pertama. Hendaklah ia mengingat pada saat mondar-mandir antara Shafa dan Marwah itu akan bolak-baliknya dua daun timbangan di lapangan nari kiamat. Hendaklah ia mengingat pula bolak-baliknya di antara dua daun timbangan itu seraya melihat kepada hasil timbangan, surga atau ampunan.

Adapun wuquf di Arafah: Maka ingatlah —dari pemandangan tentang berjubelnya manusia, alunan suara, perbedaan bahasa, dan kelompok-kelompok yang mengikuti para pemimpinnya dalam berbagai pelaksanaan manasik— akan lapangan hari kiamat, pertemuan semua ummat berserta para Nabi dan pemimpin mereka, ambisi mereka untuk mendapatkan syataat para pemimpin mereka, kebingungan mereka di sebuah lapangan, antara iiterima dan ditolak. Bila Anda telah mengingat hal tersebut maka ajaklah hatimu untuk merendah dan berdo’a kepada Allah agar berkenan menghimpun

Anda bersama kelompok orang-orang yang sukses dan mendapatkan limpahan kasih sayang. Realisasikanlah harapanmu dengan berbaik sangka kepada Allah; karena suasana tersebut merupakan kesempatan ijabah. Oleh karena itu dikatakan, ‘Sesungguhnya di antara dosa yang paling besar ialah seseorang datang di Arafah sedangkan ia menyangka bahwa Allah tidak mengampuninya’. Seolah-olah bersatunya kemauan dan menampakkan persatuan para hadirin dari berbagai penjuru negeri merupakan rahasia haji dan puncak tujuannya, karena itu tidak ada jalan yang lebih baik untuk meminta kucuran rahmat Allah selain bersatunya kemauan dan kerjasama hati dalam satu waktu.

Adapun melempar jumrah: Maka niatkaniah untuk mematuhi perintah, demi membuktikan kehambaan dan ‘ubudiyah. dan bergegas semata-mata melaksanakan perintah tanpa berpikir panjang, di samping meneladani Nabi Ibrahim ketika dihadang Iblis la’anahullah di tempat tersebut lalu Allah memerintahkannya agar melemparinya dengan batu dalam rangka mengusir dan menggagalkan harapannya. Jika terbetik dalam pikiran Anda bahwa syetan menghadangnya lalu ia (Nabi Ibrahim) melemparnya, tetapi sekarang syetan tidak menghadangku? Maka ketahuilah bahwa khayalan tersebut berasal dari syetan; dialah yang telah memasukkan bisikan itu ke dalam hatimu untuk mengendorkan tekadmu dalam melempar, dan dibayangkan dalam pikiran Anda bahwa perbuatan tersebut tidak bermanlaat dan sia-sia, lalu mengapa Anda repot-repot melakukannya? Jika pikiran seperti ini muncul maka usirlah segera dari dirimu dengan keseriusan dan semangat yang tinggi dalam melempar sekalipun syetan tidak menyukainya. Dengan demikian Anda telah mematahkan punggungnya karena dia tidak berhasil menghalangimu dari melaksanakan perintah Allah, demi mengagungkan-Nya dengan semata-mata perintah tanpa banyak berpikir lagi.

Adapun menyembelih binatang qurban (hadyu): Maka ketahuilah bahwa ia merupakan taqarrub kepada Allah dengan melaksanakan perintah. Karena itu, persiapkanlah binatang hadyu itu dengan sempurna dan berharaplah kepada Allah agar Dia membebaskan setiap bagian jasadmu dari api neraka dengan setiap bagian binatang hadyu tersebut. Semakin besar dan banyak bagian-bagian binatang hadyu itu semakin banyak pula pembebasannya dari api neraka.

Adapun ziarah ke Madinah: Apabila penglihatan Anda telah menyaksikan tembok-tembok Madinah maka ingatlah bahwa ia adalah negeri yang telah dipilih Allah untuk Nabi-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, tempat hijrahnya, kampung yang menjadi tempat menerima berbagai ajaran Allah, wilayah yang menjadi tempat melakukan jihad melawan musuhnya dan memenangkan agamanya hingga Allah memanggilnya, dan tempat kuburannya bersama dua orang pendukung setianya, Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘Anh Kemudian bayangkanlah jejak-jejak langkah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam di saat menjalani kehidupannya, bayangkanlah

Jalan dan langkahnya di lorong-lorongnya, bayangkanlah kekhusyu’an dan ketenangannya dalam berjalan, hatinya yang penuh ma’rifat kepada Allah, lamanya yang telah diagungkan Allah hingga disebut bersama-Nya dan batalnya amal orang yang melecehkan kehormatannya sekalipun hanya berupa neninggikan suara di atas suaranya. Kemudian ingatlah karunia yang telah iiberikan Allah kepada orang-orang yang telah menyertainya, hidup semasa iengannya dan mendengarkan sabda-sabdanya. Sesalilah dirimu sejadi-jadinya arena tidak mendapatkan kesempatan menjadi shahabatnya atau menjadi \awan para shahabtnya. Kemudian ingatlah bahwa engkau tidak mendapatkan uesempatan untuk melihatnya di dunia dan untuk bisa melihatnya di akhirat nun belum bisa dipastikan, bahkan bisa jadi Anda tidak dapat melihatnya kecuali jengan susah payah. Sementara itu Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak dapat menerimamu karena keburukan amal perbuatanmu, sebagaimana disabdakannya:

“Allah mengangkat beberapa kaum kepadaku lalu mereka berkata: Wahai Muhammad! Kemudian aku berkcita: “Wahau Tuhanku, para shahabtku.” Tetapi Allah mejawab: “Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sesudahmu,” lalu aku berkata: “Menjauhlah dan celakalah kalian.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Jika Anda tinggalkan kehormatan syari’atnya sekalipun hanya satu detik maka engkau tidak aman dari hambatan yang akan menghalangimu dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam karena penyimpanganmu dari hujjahnya. Perbesarlah harapanmu agar Allah tidak menghalangimu darinya dengan mengaruniakan iman. Sungguh engkau sangat memerlukan pandangan kasih sayang Allah. Apabila engkau sampai di masjid (Nabawi) maka ingatlah bahwa ia adalah pelataran yang telah dipilih Allah untuk Nabi-Nya dan kaum Muslimin yang pertama. Ingatlah bahwa kewajiban-kewajiban Allah pertama kali ditegakkan adalah di pelataran tersebut. Ia telah menghimpun makhluk Allah yang paling utama baik semasa hidup ataupun sesudah kematiannya. Perbesarlah harapanmu kepada Allah agar melimpahkan rahmat-Nya kepadamu dengan memasukkan rasa khusyu’ dan ta’zhim bersamaan dengan Anda memasuki masjid. Sungguh tempat ini merupakan tempat yang paling mudah untuk menghadirkan kekhusy’an hati setiap Mu’min.

Sedangkan ziarah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: Maka hendaklah engkau berdiri di hadapannya dan menziarahinya seolah-olah engkau menziarahinya ketika masih hidup. Janganlah Anda mendekati kuburannya kecuali seperti halnya engkau mendekati pribadinya yang mulia semasa hidup; sebagaimana engkau berpendapat haram menyentuh kuburnya dan menciumnya, tetapi berdirilah dari kejauhan di hadapannya, karena menyentuh kuburan dan menciuranya untuk kesaksian merupakan tradisi kaum Nasrani dan Yahudi. Hadirkanlah keagungan derajatnya di hatimu, karena telah diriwayatkan dari. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Sesungguhnya Allah telah mewakilkan malaikat di kuhurnya untuk menyampaikan kepadanya salam orang yang mengucapkan salam dari ummatnya.”[9]

Ini menyangkut hak orang yang tidak mendatangi kuburannya maka bagaimana pula dengan orang yang sengaja meninggalkan negeri dan menempuh perjalanan jauh karena merindukan pertemuan dengannya, dan cukup dengan menyaksikan kuburnua yang mulia karena tidak mendapatkan kesempatan menykasikannya secara langsung’? Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa membaca shalawat kepadaku sekali maka Allah membalasnya sepuluh kali.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

Ini adalah balasan bagi orang yang membaca shalawat dengan lisannya saja maka bagaimana pula dengan orang yang melakukannya dengan hadir untuk menziarahinya?

Kemudian datanglah ke mimbar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bayangkanlah ketika beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menaikinya, kemudian bayangkanlah di hatimu kemunculannya yang anggun seolah-olah di atas mimbar dengan dikelilingi para shahabtnya dari Muhajirin dan Anshar mendengarkan beliau berkhutbah menganjurkan taat kepada Allah. Mintalah kepada Allah agar tidak memisahkanmu darinya pada hari kiamat.

Itulah wazhifah hati dalam berbagai amalan haji. Jika telah selesai dari semua rangkaian amalan tersebut maka hendaklah hatinya merasa bersedih dan cemas, karena ia tidak tahu apakah hajinya diterima dan ditetapkan menjadi kelompok orang-orang yang dicintai ataukah hajinya tertolak dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang terusir? Hendaklah ia mengenali hal tersebut dari hati dan berbagai amal perbuatannya. Jika hatinya semakin jauh dari dunia yang penuh tipu daya dan semakin gandrung kepada dunia keakraban dengan Allah, juga mendapati berbagai amal perbuatannya telah sesuai dengan timbangan syari’at maka ia boleh optimis terhadap penerimaan, karena sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali orang yang telah dicintai-Nya dan barangsiapa dicintai-Nya maka akan dilindungi.dan dinampakkan bukti-bukti kecintaan- Nya dan dijaga dari serangan musuh-Nya , Iblis. Jika hal itu telah nampak pada dirinya maka hal itu merupakan pertanda penerimaan. Jika yang terjadi adalah kebailkannya maka hasil perjalanannya tidak lain adalah kepayahan dan keletihan semata-mata, kita berlindung kepada Allah dari hal demikian itu.



[1] Diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia men -si/afoft-kannya dari hadits Abu Hurairah tanpa menyebutkan, ” Dari setiap penjuru yang jauh.” Demikianlah Ahmad meriwayatkannya.

[2] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, di dalam riwayat ini disebutkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Sembelihlah.”

[3] Diriwayatkan oleh Tirmidzi, ia menilainya sebagai hadits gharib, Al Hakim, ia men- s/za&zfi-kannya, dan Al Bazzar. Lafazh ini disebutkan oleh Al Bazzar.

[4] Diriwayatkan oleh Tirmidzi, ia meng-iasan-kannya, dan Ibnu Majah.

[5] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Al Hakim, ia men-shahih-kannya, dan Al Baihaqi.

[6] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Abu Umamah: “Bahwa seorang lelaki berkata, “.Uahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk melakukan lawatan’. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya lawatan ummatkn adalah jihad di jalan Allah.” Thabrani meriwauatkannya dengan lafazh, ” Sesungguhnya setiap ummat punya lawatan sedangkan lawatan ummatku adalah jihad di jalan .Allah, dan bagi setiap ummat punya kerahiban sedangkan kerahiban ummatku adalah melakukan siaga (libath) menghadapi musuh.” Al Baihaqi meriwayatkan di dalam Asy Syu’ab dari hadits Anas: “Kerahiban ummatku adalah jihad di jalan Allah.” Keduanya lemah. Tirmidzi juga meriwauatkannya dan menghasankannya. Demikian pula Nasa’i di dalam Al Yaum wa Al Lailah, dan Ibnu Majah dari hadits Abu Hurairah, bahwa seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin bepergian maka wasiatilah aku.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Kamu harus bertaqwa kepada Allah dan mengucapkan takbir pada setiap tanjakan.”

[7] Diriwayatkan Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab. Ia berkata: Yang terpelihara dari Ubaid bin Umair dari Umar secara Mursal.

[8] Diriwayatkan oleh Al Bazzar dan Daruquthni di dalam Al ‘Ilal dari hadits Anas.

[9] Diriwayatkan oleh Nasa’i, Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Ibnu Mas’ud dengan lafazh: “Sesungguhnya Allah punya malaikat yang berkeliling di muka bumi menyampaikan kepadaku salam dari ummatku.”