Hak Asasi Manusia

Pada 10 Desember 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan deklarasi internasional tentang hak-hak asasi manusia, sebagai hasil perjuangan panjang umat manusia yang dituangkan dalam undang-undang tentang hak-hak asasi manusia untuk menghadapi ketidakadilan dan penindasan dari kekuatan dunia tertentu.

Jika terdapat bukti-bukti yang menunjukkan filsafat prinsip-prinsip deklarasi ini datang sebagai kepanjangan filsafat pemikiran peradaban Barat –terutama– tentang hak-hak asasi manusia, maka disana terdapat bukti-bukti lebih banyak bahwa penerapan prinsip-prinsip deklarasi ini hingga sekarang tetap –dalam banyak kasus– untuk manusia Barat sebelum yang lainnya dan lebih banyak dari manusia lainnya, jika tidak dapat dikatakan bukan untuk selain manusia Barat.

Jika dikomparasi antara kontribusi Islam dan deklarasi ini dalam masalah hak-hak asasi manusia, disana terdapat perbedaan yang lebih penting dari pada perbedaan aspek waktu dan sejarah yang menjadikan kontribusi Islam mendahului deklarasi ini di bidang hak-hak asasi manusia selama empat belas abad. Disana terdapat perbedaan filsafat Islam tentang hak-hak asasi manusia dengan filsafat peradaban Barat yang dituangkan dan dirumuskan dalam undang-undang deklarasi ini. Jadi peradaban visi Islam dan Barat tentang hak-hak asasi manusia bukan hanya dari sudut waktu, dan bukan pula dari sudut kuantitas, melainkan juga, terutama, dari sudut kualitas. Maka beberapa catatan ditemukan di sini:

Kewajiban bukan Hanya Hak

Pemikiran peradaban Barat mengenal hak-hak asasi manusia yang juga telah dikenal oleh peradaban Islam bahkan sejak lama Islam telah mempraktikkan tidak hanya sekedar sebagai hak-hak asasi manusia melainkan sebagai kewajiban ilahiah dan syar’iyah, yang tidak dibenarkan bagi manusia mengabaikan atau meremehkannya, meskipun atas dasar kemauannya sendiri. lnilah satu sisi visi Islam terhadap masalah dan satu tingkat cakupannya. Tidak diragukan, visi Islam ini menambah kualitas yang memberi nilai tambah pemikiran ini satu kekayaan dan kedalaman serta kekuatan pengaruh.

Syari’at telah menghimpun kenyataan ini ketika menjadikan asas memelihara jiwa, agama, akal, kehormatan dan harta dalam rumusan yang menjamin hak-hak asasi manusia secara paripurna. Sebab, kelima asas ini adalah kewajiban ilahiah dan kewajiban agama (taklif) bukan sekedar hak-hak yang dapat diabaikan meskipun atas dasar kehendak dan kemauan sendiri, bahkan hak-hak asasi manusia ini –menurut peradaban Barat– merupakan kewajiban kelompok dan kewajiban sosial, sementara dalam pandangan Islam ini merupakan kewajiban individual (fardh ‘ain) yang apabila tidak dilakukan, maka individu yang bersangkutan berdosa.

Asas memelihara hidup (hifzh Al hayah) menurut pandangan pemikir peradaban Barat adalah satu hak di antara hak-hak asasi, akan tetapi pemilik hak ini mempunyai kebebasan tidak menggunakan hak ini atas kemauannya. Oleh sebab itu, peradaban ini tidak memandang salah orang yang melepas hak hidupnya dengan bunuh diri. Sedangkan menurut pandangan Islam, memelihara hidup merupakan kewajiban ilahiah dan syari’ah yang tidak boleh dilepas. Untuk memelihara pilar-pilar hidup ini bahkan Islam mewajibkan perang hingga meraih kemenangan atau gugur sebagai syahid, sebagaimana juga melarang berputus asa yang dapat mengantar pada tindakan bunuh diri yang dipandang oleh Islam sebagai kejahatan dan dosa besar.

Asas mencari pengetahuan dalam pemikiran peradaban Islam bukanlah sekedar hak di antara hak-hak asasi manusia, tetapi –sebagai pandangan dan pengamatan– merupakan kewajiban ilahiah dan tugas agama yang tidak boleh ditingggalkan dalam kondisi apapun. Bahkan mendalami dan spesialisasi bidang ilmu tertentu dapat memperkuat posisi dan meningkatkan tingkat kewajibannya hingga dijadikan oleh Islam sebagai faridhah kifayah (kewajiban kolektif), yaitu kewajiban sosial dan lebih ditekankan –dalam hal tertentu– daripada kewajiban individual. Al Qur’an menyatakan:

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semua (kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaum mereka apabila telah kembali, supaya mereka itu dapat menjaga diri.” (at Taubah: 122)

Asas partisipasi dalam urusan umum –baik politik, sosial, ekonomi, maupun kultural dan lain sebagainya– dalam bentuk kontribusi aktif apapun, sesuai dengan kemampuan, dalam menegakkan komunitas manusia serta peradabannya, menurut pandangan Islam, bukan hanya sekedar satu hak di antara hak-hak manusia, melainkan satu kewajiban. Karena ia merupakan bagian dari menegakkan kewajiban “amar ma’ruf nahi mungkar” sebagaimana yang ditegaskan firman Allah:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (Ali Imran: 104)

Dengan menegakkan asas ini, dapat mewujudkan umat yang terbaik (khair Al Ummah).

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (Ali Imran: 110)

Dan terhindar dari laknat.

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Al Maa’idah: 78-79)

Bahkan menurut sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dikatakan bahwa mengabaikan kewajiban ini hanya akan membuka pintu keluar dari jama’ah umat. “Barangsiapa yang tidak mempunyai kepedulian pada urusan kaum Muslimin maka ia bukanlah golongan mereka.” Jadi partisipasi aktif dalam masalah-masalah umum bukanlah sekedar hak. Oleh sebab itu, sikap pasif menurut pandangan Islam bukanlah satu hak asasi manusia, meskipun ia sendiri memilih sikap ini tanpa tekanan.

Asas kemerdekaan dipandang oleh peradaban Islam sebagai satu kewajiban ilahiah dan syari’ah, karena ia sama dengan asas memelihara hidup. Para ulama telah memahami rahasia membebaskan budak sebagai denda (kaffarah) atas pembunuhan tidak sengaja, sehingga mereka memberi perhatian serius bahwa dalam perbudakan mengandung makna “kematian” dan dalam pembebasan dan kemerdekaan mengandung makna “hidup”. Maka barangsiapa yang melenyapkan nyawa dari kehidupan, dengan membunuhnya secara tidak sengaja, ia diwajibkan memasukkan dalam hidup satu nyawa lain dengan memerdekakannya dari kematian perbudakan.

Firman Allah:

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya kecuali jika mereka (keluarga pihak terbunuh) menyedekahkannya” (An Nisaa’: 92).

Dalam menafsiri ayat ini, para ulama mengemukakan bahwa, pembunuh, dikarenakan mengeluarkan nyawa dari kelompok orang-orang yang hidup, maka ia berkeharusan memasukkan nyawa dari semisalnya kedalam kelompok orang-orang yang merdeka. Sebab perbudakan adalah peninggalan kekafiran, sedangkan posisi kekafiran adalah kematian. “Apakah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan cahaya kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keberadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?”[1]

Bukan suatu hal yang mengherankan bagi ajaran Islam yang menjadikan kewajiban ini –kemerdekaan– sebagai pangkal risalah Rasul dan Nabi penghabisan. Sebab tujuan risalah, pada aspek manusia, adalah yang partisipatif dalam urusan umatnya; yang memelihara halal dan haram dalam interaksinya dengan segala sesuatu; yang bebas dari belenggu dan ikatan:

“Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis dalam Taurat dan Injil yang ada disisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (Al ‘Araaf: 157)

Asas adil dalam pandangan Islam adalah satu kewajiban bukan saja sekedar hak. Yakni mewujudkan keseimbangan dan moderasi yang dapat terwujud dengan saling menopang antara individu manusia dengan jama’ah –sebagai satu organ vital pada tubuh yang hidup– di mana Islam tidak berhenti dengan keadilan ini pada aspek hukum saja, melainkan mencakup bidang-bidang lainnya yang di antaranya adalah harta kekayaan: keadilan sosial.

Pemilikan hakiki –pemilikan raqabah– atas harta dan kekayaan hanyalah milik Allah semata. Pemilikan manusia atas harta adalah pemilikan istikhlaf (tugas kekhalifahan) dari Pemilik hakiki, yaitu satu pemilikan simbolis yang mempunyai tugas sosial pada harta; yang diatur dengan aturan syari’ah, yang merupakan akad dan janji istikhlaf Allah bagi manusia pada harta dan kekayaan ini.

“Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan sebagian dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Al Hadiid: 7)

Jika Muslim berlindung kepada Allah dari kefaqiran dan kekufuran karena keduanya sejenis, maka Muslim juga dilarang melakukan eksploitasi harta kekayaan dan memonopoli pengembangannya karena yang demikian itu adalah jalan menuju kesewenang-wenangan dan melampaui batas:

Ketahuilah bahwa manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al ‘Alaq: 7-8)

Demikianlah begitu jelas pandangan Islam tentang pemilikan harta kekayaan.

Al-Quran memberi batasan-batasan masalah menafkahkan kekayaan dengan firman Allah:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar (minuman keras) dan judi: Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya itu lebih besar dari pada manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu (tentang) apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘yang lebih dari keperluan’. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (Al Baqarah: 219)

Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Barang siapa yang mempunyai kelebihan harta, maka hendaklah ia mengembalikannya kepada orang yang tidak mempunyai harta; dan barang siapa mempunyai kelebihan bekal, maka hendaklah ia mengembalikannya kepada orang yang tidak mempunyai bekal.” Perawi hadits ini –sahabat Abu Said Al Khudri– berkata, “lalu Rasulullah menyebutkan kelompok-kelompok harta satu persatu hingga kami melihat bahwa tidak ada lagi hak seseorang dalam kelebihan harta.” (Riwayat Muslim, Abu Daud dan Imam Ahmad)

Rasulullahlah yang mengatakan bahwa takaful –yang mewujudkan keseimbangan– adalah keadilan sebagai kriteria bagi masuk atau keluar dari tanggungan Allah dan Rasul-Nya:

“Barangsiapa memonopoli (dumping) selama empat puluh hari, maka ia telah lepas dari tanggungan Allah Ta’ala dan Allah pun lepas dari dia. Seorang penduduk kampung manapun yang hidup kelaparan di tengah-tengah mereka maka tanggungan Allah telah lepas dari mereka itu.” (Riwayat Ahmad)

Pada jalan ini praktek peradaban Islam berjalan. Maka di sana ditemukan khalifah kedua, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bersumpah: “Demi Allah yang nyawaku ada di tangAn Nya, setiap orang pada harta ini mempunyai satu hak; diberikan kepadanya atau tidak diberikan, tidak ada seorangpun yang lebih berhak dari pada orang lain; aku dalam hal ini hanyalah seperti seseorang di antara mereka. Maka orang laki-laki dipertimbangkan sesuai cobaannya, orang laki-laki dipertimbangkan sesuai dengan senioritasnya, orang laki-laki dipertimbangkan sesuai dengan kekayaannya, orang laki-laki dipertimbangkan sesuai dengan hajat kebutuhannya. Itu adalah hak yang mereka ambil, bukan milik Umar dan bukan pula milik keluarga Umar.”[2]

Begitu pula Khalifah keempat Imam Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Sesungguhnya Allah menggariskan pada harta orang-orang kaya terdapat hak makanan bagi orang-orang faqir. Seorang faqir tidak menderita kelaparan kecuali karena ada hak yang dinikmati oleh orang kaya! Orang yang berada dalam kekurangan sesungguhnya asing di negerinya sendiri! Anda sekalian adalah hamba-hamba Allah; harta kekayaan itu adalah harta Allah, Dia membagi-bagikan di antara kamu secara merata; tidak ada kelebihan pada harta itu bagi seseorang atas seseorang lainnya!”[3]

Sementara Khalifah Umar bin Abdul Aziz (rahimahullah) –yang kembali menegakkan keadilan setelah masa-masa rawan– mengumunkan kepada khalayak manusia bahwa harta adalah sungai besar dan manusia adalah pemilik jatah airnya secara merata.[4]

Jadi keadilan adalah kewajiban bukan hanya sekedar hak. Untuk mewujudkan keadilan ini diwajibkan berjihad hingga memperoleh kemenangan atau mati syahid. Mengenai hal ini Ibnu Hazm Al Andalusi (994-1064) mengatakan: “Merupakan kewajiban atas orang-orang kaya di antara warga negeri untuk menanggung orang-orang fakir mereka dan kewenangan kekuasaan dapat memaksa mereka melakukan itu jika mereka tidak membayar zakat untuk mereka dan tidak pula diambilkan dari harta kaum Muslinun kepada mereka. Lalu mereka diberi hak kebutuhan pangan yang menjadi kebutuhan dasar mereka; kebutuhan sandang untuk musim dingin dan musim panas; kebutuhan papan untuk berteduh dari hujan, panas matahari, serta kehidupan privasi. Tidak dibenarkan bagi seorang Muslim makan bangkai, atau daging babi padahal dia mendapatkan makanan kelebihan dari sahabatnya untuk seorang Muslim atau ahl dzimmah (non-Muslim yang hidup dalam negara Islam). Dia berkewajiban berperang memperjuangkan hak itu. Apabila dia terbunuh maka pembunuhnya mendapat hukuman qishash. Jika orang yang menolak membayar zakat terbunuh maka ia mendapat laknat Allah, sebab ia menolak hak dan dia termasuk kelompok pendurhaka. Allah berfirman:

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari keduanya itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu hingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al Hujuraat: 9)

Menolak hak adalah perbuatan aniaya terhadap saudaranya yang mempunyai hak. Karena alasan inilah khalifah pertama Abu Bakar memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat.[5] Sebab zakat adalah harta yang menjadi hak kaum miskin yang ada pada orang kaya.

Pandangan ini merupakan keistimewaan Islam dan peradabannya di bidang ini. Maka persoalannya bukanlah sekedar hak-hak asasi manusia melainkan ketetapan ilahiah dan beban syari’ah. Sebab tujuan penciptaan manusia dan jin adalah penyembahan kepada Allah: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku” (adz-Dzaariyaat: 56). Ibadah ini tidak dapat diwujudkan dalam bentuknya yang ideal kecuali dengan menegakkan agama dan tidak ada jalan lain untuk itu kecuali dengan kebaikan kehidupan duniawi. Maka kebaikan kehidupan duniawi adalah satu kewajiban agama yang mana perwujudan kewajiban menegakkan agama bergantung padanya yang merupakan tujuan dari penciptaan manusia dan kekhalifahannya dari Allah, yang diungkapkan, dengan meminjam kata-kata Imam Al Ghazali (1058-1111): “Sesungguhnya aturan agama tidak dapat dicapai kecuali dengan aturan dunia. Aturan agama, hanya dengan pengetahuan dan ibadah, tidak akan dicapai secara paripurna kecuali dengan badan yang sehat, adanya nyawa, dan terpenuhi kebutuhan-kebutuhan alamiahnya: sandang, papan, dan pangan serta keamanan. Agama tidak akan tertib dan teratur kecuali mewujudkan jaminan atas kebutuhan-kebutuhan dasar alamiah ini. Jika tidak, maka barangsiapa yang seluruh waktunya tenggelam dalam menjaga diri dari pedang-pedang kezaliman dan dalam mencari mata pencariannya dan dari penjarahan, maka kapan lagi ia mempunyai waktu untuk ilmu dan bekerja, padahal keduanya adalah sarana baginya menuju kebahagiaan akhirat? Jadi, aturan dunia, yakni sesuai dengan ukuran kebutuhan, satu syarat bagi aturan agama.”[6]

Semua sendi kebaikan manusia yang diungkapkan dengan hak-hak asasi manusia –menurut pandangan Islam– adalah ketetapan dan keharusan bukan hanya sekedar hak yang bisa tidak digunakan hingga meskipun hak-hak ini tidak digunakan atas kemauan sendiri dan sukarela. Allah Maha Suci yang telah mengajarkan bahwa ibadah setiap Muslim kepada-Nya adalah sebagai ungkapan syukur atas limpahan karunia-Nya berupa sendi-sendi jaminan keamanan –moril maupun materil– dalam hidup ini:

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (ka’bah). Yang telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Al Quraisy: 3-4)

Manusia Seutuhnya:Bukan Superioritas Manusia atas Manusia

Jika isyarat ini cukup untuk menegakkan karakter filsafat Islam dan peradabannya dalam masalah hak-hak asasi manusia maka disana terdapat karakter lain dalam Islam dan peradabannya tentang manusia hak-hak ini. Praktek yang dilakukan peradaban Barat di bidang hak-hak asasi manusia membuktikan bahwa manusia yang berhak dijamin hak-hak asasinya hanyalah manusia kulit putih sebelum yang lainnya dan lebih banyak dari selain mereka. Manusia jaman Yunani yang memiliki hak-hak asasi merupakan golongan minoritas, golongan merdeka yang berkuasa, yang mengeksploitasi rekayasa akal. Sedangkan manusia Barat modern, yang memiliki hak-hak asasi hampir seluruhnya manusia Barat, bukan selain mereka.

Jika realitas di sekeliling masyarakat Muslim modern yang begitu nyata tidak perlu diberi contoh, sebenarnya mereka dihadapkan pada dua realitas pemisahan manusia ini.

Generasi Muslim telah hidup dalam satu masa –dan sebagai akibat dari satu kelalaian dan serbuan pemikiran– mereka menanamkan pada anak-anak di sekolah dan perguruan tinggi bahwa faktor-faktor penyebab kebangkitan dan revolusi modern adalah prinsip-prinsip pemikiran yang dikemukakan oleh Presiden Amerika Thomas Woodrow Wilson (1856-1924) yang memerintah Amerika Serikat antara tahun 1913-1921, yaitu yang terkenal dengan empat belas prinsip menggalakkan hak-hak asasi manusia khususnya di bidang hak menentukan nasib sendiri, seusai perang dunia pertama. Akan tetapi jika prinsip-prinsip ini diperhatikan, tidak sulit lagi untuk menemukan di dalamnya unsur rasialisme kulit putih dan perbedaan yang dibangun oleh peradaban Barat antara kulit putih dan non kulit putih dalam hak menentukan nasib sendiri yang sebenarnya adalah prinsip-prinsip perumusan hukum untuk memberi peluang bagi kehadiran Barat dalam rangka menguasai potensi-potensi bangsa lemah. Yaitu ketika menyerukan prinsip ketiga agar “menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi antar bangsa-bangsa semaksimal mungkin”, dalam kondisi tidak ada peluang dan faktor-faktor kompetisi ekonomi antara bangsa-bangsa Muslim serta bangsa-bangsa yang mengalami nasib serupa, dengan bangsa-bangsa Barat pada masa itu. Disamping itu ini adalah prinsip-prinsip pemisahan warna kulit antar bangsa-bangsa dalam menentukan nasib sendiri, ketika hak ini disebutkan secara terbuka dan diakui bagi bangsa Eropa kulit putih. Maka dalam prinsip ke sembilan dikatakan: “penentuan perbatasan ltalia sesuai dengan pembagian etnik Itali”. Sedangkan prinsip ke sepuluh menguraikan: “pembagian Austria dan Hongaria, sesuai pembagian etnik kerajaan Jerman”. Pada prinsip kesebelas digariskan: “penentuan perbatasan di wilayah Balkan sesuai dengan perkembangan sejarah dan distribusi etnik yang ada”. Deklarasi hak-hak asasi manusia ini menegakkan bagi etnik Eropa hak-hak warganya dalam menentukan nasib sendiri sesuai dengan identitasnya, distribusinya, dan segmen nasionalitas serta perkembangan sejarahnya.

Akan tetapi bilamana prinsip-prinsip ini menyangkut kulit berwarna, dan negeri-negeri yang berpenduduk Muslim khususnya, maka ungkapan “menentukan nasib sendiri,” tidak muncul. Dan pada prinsip ketigabelas ditegaskan tentang penghapusan wilayah dan kesultanan Turki Usmani, tanpa menyebut bangsa-bangsa yang berada dibawah kekuasaannya mempunyai hak menentukan nasib sendiri. Lalu yang ada adalah klausa yang menyatakan: “membatasi pemerintahan Turki pada warga etnik Turki serta keputusan kebebasan pelayaran di selat Dardanille.” Sebab deklarasi prinsip-prinsip ini telah selesai pada saat mana Barat tidak membuka jalan untuk membagi-bagi warisan negara Turki Usmani yang dijuluki sebagai “Lelaki Sekarat” (the Sick Man) antara negara-negara imperialis. Maka prinsip-prinsip ini dimaksudkan untuk mengakui hak-hak bangsa kulit putih Eropa –sebagai ras superior– dalam menentukan nasib bangsa-bangsa Muslim. Lalu mereka membatasi pemerintahan Turki hanya untuk etnik Turki dan membagi-bagi wilayah Arab Timur –sesuai dengan perjanjian rahasia Sykes Picot yang diadakan pada tahun 1916–, dan Zionisme Internasional membuat rencana matang melalui persekongkolan dengan kekuatan Barat untuk menentukan nasib Palestina, sesuai dengan janji Balfour (1848-1930) yang diumumkan pada 2 November 1917 dan mendapat persetujuan dari Presiden Amerika –pencetus prinsip empat belas tersebut– Thomas W. Wilson, disusul pengakuan dari Prancis dan Itali, yang kemudian dipraktekkan melalui pemerintah pendudukan Inggris dan mendapat restu dari Liga Bangsa-bangsa yang mereka dirikan pada tahun 1920. Liga ini diklaim oleh mereka bahwa piagamnya merupakan yang pertama dalam sejarah modern tentang hak-hak asasi manusia.

Demikianlah sikap Barat terhadap prinsip “hak bangsa-bangsa dalam menentukan nasibnya sendiri”, dan itulah ukuran yang berbeda bahkan kontradiktif dan doubled standards dan sikap demikian masih dipegang hingga sekarang. Maka setiap orang Yahudi dari etnik, negeri, bahasa, dan kewarganegaraan manapun, mempunyai hak, sesuai dengan undang-undang Yahudi, yang dilaksanakan oleh mitranya di Barat, dapat menentukan pemukiman di Palestina dan menentukan nasibnya sebagai entitas pemukim Zionis. Pada saat yang sama Barat bersikap, hingga sekarang, memusuhi terhadap hak bangsa Palestina dalam menentukan nasib mereka sendiri.

Pada saat dimana Barat “menegakkan” dunia bahkan melakukan serbuan dengan alasan untuk membebaskan “kediktatoran dan perbudakan”, ia sendiri memperbudak –melalui hegemoni imperialisme modern– terhadap bangsa-bangsa dan negara-negara lain, membumihanguskan dan membinasakan identitas dan budaya mereka. Bahkan juga menganeksasi wilayah untuk dijadikan koloninya. Yang demikian telah terjadi dan masih terus terjadi pada saat Islam memberi sikap tegas dan menolak pembedaan manusia, semenjak kedatangan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan diteruskan dalam perjalanan peradaban Islam.

Islam menetapkan bahwa penghormatan ilahi hanyalah diberikan kepada manusia tanpa membedakan jenisnya, yakni anak cucu Adam seluruhnya dengan berbagai warna kulit, peradaban, bangsa dan perbedaan-perbedaan aksidental lainnya.

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Al Israa’: 70)

Setelah kemuliaan umum ini, ketaqwaan menjadi ukuran kelebihan di antara orang-orang yang mendapat kemuliaan:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujuraat: 13)

Kemerdekaan yang merupakan ketetapan Allah dan taklif syar’i, bukanlah keistimewaan khusus melainkan milik setiap manusia. Khalifah kedua, Umar bin Khattab, pernah mengucapkan kata-katanya kepada Muslim yang bertindak zalim: “Sejak kapan kamu memperbudak manusia padahal ibu mereka telah melahirkan mereka merdeka?!” Kata-kata ini diucapkan dalam rangka membela seorang Kristen Qibthi setelah kemenangan pasukan Muslim atas negeri Mesir, yang menjurus pada kondisi yang menimbulkan pemisahan –karena alasan keamanan– antara pasukan pendatang Muslim dan warga negeri yang telah mereka kuasai dan belum membaur dengan pendatang Muslim tersebut dalam pengertian bangsa bukan pengertian agama.

Keadilan yang dikehendaki oleh Allah adalah kewajiban manusia bukan sekedar hak asasi manusia yang diberikan Islam kepada semua orang: Muslim maupun non-Muslim, bahkan teman atau lawan, sebagaimana pernyataan Al Qur’an:

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al Maa’idah: 8)

Demikianlah filsafat Islam tentang hak-hak asasi manusia. Begitu pula pada tingkat kemanusiaan manusia yang mana hak-hak ini dijadikan kewajiban ilahiah dan tugas-tugas syari’ah yang apabila diabaikan dan tidak diupayakan perwujudannya di semua bidang kehidupan maka semua pihak berdosa.



[1] Lihat An Nasafi dalam Madarik at-Tanzil, juz 1, hal 189, Kairo 1344H.

[2] lihat, Thabaqat lbnu Sa’ad, Juz 2, hal: 215-216, 219, Dar at-Tahrir, Kairo, t.t.

[3] Nahj Al Balaghah, hal: 408, 373, 366, Dar asy-Sya’b Kairo t.t dan juga syarh Nahj Al Balaghah juz: 7 hal: 37 Kairo t.t.

[4] Kitab Al Aghania, juz: 9, hal: 3375, Dar asy-Sya’b, Kairo t.t.

[5] Ibnu Hazm, Al Muhalla, juz 2, hal: 59, Kairo, tt.

[6] Al Ghazali dalam Al Iqtishad, op cit, hal: 135.