Hak-hak Uluhiyah dalam Al Qur’an

Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad dan segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.

Ikhwan sekalian, saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari Allah, salam yang baik dan diberkahi: assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Makna Uluhiyah dalam Fitrah Manusia

Dalam kajian-kajian kita terdahulu tentang kitab Allah subhanahu wa ta’ala, kita telah mengerti beberapa sisi tentang manusia serta alam fisik dan metafisik di dalam Al-Qur’an. Pembicaraan kita pada malam ini menyangkut hak-hak uluhiyah dalam kitab Allah subhanahu wa ta’ala.

Wahai Akhi, tema ini merupakan inti dan pilar paling penting dalam semua agama. Sesungguhnya semua agama merupakan karunia dan pengarahan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya. Semua agama datang dengan tujuan utama mengenalkan manusia tentang Allah dan hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala terhadap mereka. Karena itu, tema kita -Penjelasan tentang hak-hak Uluhiyah, serta hubungan antara Allah subhanahu wa ta’ala dengan manusia dan antara manusia dengan Allah- merupakan tema paling penting yang dikemukakan oleh kitab-kitab samawi dan selanjutnya merupakan tema paling penting pula yang dikemukakan oleh Al-Qur’anul Karim.

Ikhwan sekalian, tujuan utama dan mendasar agama-agama adalah menggariskan batas-batas hubungan antara manusia dengan Tuhan mereka, sehingga mereka berjalan di dalam batas-batas ini dan tidak melanggarnya, tidak berlebih-lebihan atau melalaikannya. Hampir-hampir tidak kita temukan satu surat pun dalam Al-Qur’anul Karim kecuali pasti memuat keterangan tentang tema ini secara panjang lebar dan jelas. Barangkali indikasi paling jelas yang menunjukkan adanya hubungan antara Allah subhanahu wa ta’ala dengan manusia dan hubungan manusia dengan-Nya, serta hakikat paling jelas tentang uluhiyah adalah rasa ketuhanan sejati yang bersemayam dan bercokol kuat dalam diri manusia. Hakikat uluhiyah, wahai Akhi, sebenarnya terdapat dalam fitrah manusia. Jika Anda telah mengetahui bahwa ruh itu ada karena perintah Allah, maka Anda pasti memahami perasaan manusia terhadap Allah, hubungannya dengan Allah, dan ikatan kuat yang mengikatnya dengan Allah, yang merupakan perasaan fitrah dan tidak mungkin diingkari atau dihindarkannya. Meskipun demikian ia tidak kunjung mengetahui dari mana sumbernya.

Ini realita. Sejarah manusia sejak pertama kali menjadi saksi tentang hal ini. Berbagai bangsa telah melakukan upaya-upaya untuk mengenal Allah subhanahu wa ta’ala. Upaya-upaya ini dilakukan sebagai akibat dari kesadaran mereka tentang fitrah ini. Salah seorang ilmuwan Barat pernah mengatakan, “Sesungguhnya jika saya ditanya, ‘Mengapa Anda beriman kepada Tuhan?’ saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini kecuali dengan jawaban yang saya gunakan untuk menjawab apabila ditanya, ‘Mengapa Anda makan? Mengapa Anda minum? Mengapa Anda tidur?’ Sebab, jawaban pertanyaan ini akan berbunyi sebagai berikut: “Makan adalah salah satu undang-undang yang harus dipatuhi untuk mempertahankan eksistensi diri secara fisik, sehingga tidak mungkin saya menghindarkan diri darinya, sebagaimana saya juga tidak bisa menghindarkan diri dari kegiatan bernafas. Demikianlah. Perasaan saya mengenai keberadaan Tuhan merupakan salah satu tuntutan spiritual saya dan merupakan kebutuhannya yang vital, sehingga saya tidak mungkin menghindarinya, kecuali jika saya menghilangkan perasaan-perasaan spiritual saya atau bahkan kehidupan saya. Yang paling kuat di antara perasaan-perasaan yang merupakan pangkal kehidupan ini adalah bahwa saya mempunyai tuhan, dan saya terikat dengan tuhan ini.”

Prinsip ini, wahai Akhi, sebagaimana telah saya katakan, dikuatkan oleh berbagai upaya spiritual yang terjadi sepanjang sejarah umat manusia. Al-Qur’anul Karim telah mengisyaratkan hakikat ini dengan jelas. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)

“Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan, niscaya lenyaplah siapa yang kamu seru kecuali Dia.” (QS. Al-lsra’ : 67)

Jadi, kepasrahan manusia kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika ditimpa bencana dan ketika berputus asa dari daya dan kekuatannya sendiri maupun orang lain, bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja. Ia sebenarnya merupakan luapan fitrah manusia dari relung-relung jiwanya untuk menyandarkan diri kepada Allah. “…Apabila kalian berada di dalam bahtera, ia meluncurlah membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin sepoi, dan mereka bergembira karenanya, lalu datanglah angin badai dan gelombang dari segenap penjuru menimpanya, lalu mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), mereka pun berdoa kepada Allah dengan tulus ikhlas penuh ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), ‘Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.'” (QS. Yunus : 22)

Pada saat itu, wahai Akhi, ketika manusia sudah putus harapannya dari semua faktor penyebab yang bersifat lahir, ketika itulah ia bersandar kepada Allah. Karena itu, iman kepada Allah dan perasaan mengenai adanya Sang Pencipta merupakan fitrah yang tertanam dan terpatri dalam diri manusia. Karena begitulah karakter ruhani. Ruh itu ada dengan perintah Allah. Ketika tertutup oleh hawa nafsu, ia lupa. Tetapi ketika sudah berputus asa dari berbagai faktor penyebab yang bersifat lahiriah, ia kembali bersandar kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Al-Qur’anul Karim telah mengisyaratkan hal itu. Ia mengisyaratkan adanya fitrah ini dan bagaimana fitrah ini menjalankan fungsinya.

Wahai Akhi, Anda bisa membaca sejarah berbagai bangsa. Anda mendapati bahwa manusia telah menjalani kehidupan untuk mewujudkan hakikat ini. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi berbagai macam aliran. Di antara mereka ada yang bertuhan satu (monoteis), ada yang bertuhan banyak (politeis), dan ada pula kelompok yang justru menisbatkan berbagai sifat yang tidak patut bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara mereka ada penyembah berhala (paganis), penyembah dua tuhan, dan ada pula yang menyembah tiga tuhan. Ada di antara mereka yang mengatakan bahwa tuhan itu bersedih, letih, dan menyesal. Ada pula di antara mereka yang meyakini banyak sekali tuhan, yang masing-masing menguasai benda-benda alam tertentu. Semua ini terjadi berdasarkan kadar pemahaman bangsa-bangsa tersebut terhadap hakikat Allah demi mengikuti tuntutan fitrah ini, yaitu fitrah bahwa manusia memiliki hubungan dengan Allah subhanahu wa ta’ala.

Misi Kenabian

Kemudian datanglah “kenabian” untuk mengembalikan manusia kepada kebenaran. Al-Qur’anul Karim datang dengan menjelaskan suatu hakikat yang nyata dan jelas. Ia menegaskan bahwa Tuhan itu hanya satu sekaligus menafikan keberagaman tuhan. Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun di antara makhluk ini yang menyerupai-Nya dan Dia subhanahu wa ta’ala tidak menyerupai sesuatu apa pun. Ia menegaskan bahwa Allah menyandang segala sifat kesempurnaan dan bersih dari segala kekurangan. Ia juga menegaskan bahwa akal manusia tidak mampu untuk memahami hakikat dzat-Nya dan hakikat sifat-sifat-Nya subhanahu wa ta’ala. Selain aspek-aspek positif yang dicakup ketika berbicara tentang Allah dan hakikat ketuhanan, Al-Qur’anul Karim juga berbicara tentang dua hakikat lain.

Pertama, berkaitan dengan syubhat-syubhat yang mengotori hakikat makna ketuhanan, yang dilontarkan oleh masyarakat bangsa-bangsa terdahulu. Al-Qur’anul Karim membantah, menolak, dan menafikannya dengan argumen-argumen yang kuat.

Kedua, berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Yakni bagaimana manusia dipelihara oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan bahwa Allah bersama manusia di mana pun mereka berada, adalah yang mengasihi, memberi petunjuk, dan memberi pertolongan kepada mereka, serta bahwa Dia adalah yang menghisab mereka setelah itu dan kepada-Nya mereka semua kembali. Inilah wahai Akhi, pokok-pokok gagasan yang dikemukakan oleh Al-Qur’anul Karim mengenai tema ini.

Seputar Beberapa Syubhat

Pertama, Al-Qur’anul Karim menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah Esa. Keesaan Allah disebutkan dalam banyak ayat. Adapun satu surat yang mencakup seluruh makna uluhiyah ini adalah surat Al-Ikhlas. Ia sungguh merupakan surat yang ringkas namun indah, yang menjawab orang yang bertanya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Hai Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebutkan nasab Tuhanmu kepada kami!” Maka turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala “Katakanlah, ‘Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan- Nya.”‘ (QS. Al-Ikhlas: 1-4)

Wahai Akhi, surat ini menegaskan keesaan, ketidaksamaan, dan kesempurnaan Allah serta kebutuhan hamba kepada-Nya. Kemudian, kita juga membaca ayat-ayat berikut ini dalam kitab Allah, yang menegaskan keesaan-Nya: “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan main-main. Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan (istri dan anak) tentulah Kami membuatnya. Jika Kami menghendaki berbuat demikian, (tentulah Kami telah melakukannya). Sebenarnya Kami melemparkan yang haq kepada yang batil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu menyifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya). Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti. Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi, yang dapat menghidupkan (orang-orang mati)? Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai Arsy, dari apa-apa yang mereka sifatkan. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah, ‘Tunjukkanlah hujah kalian! (Al-Qur’an) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku.’ Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang haq, karena itu mereka berpaling. Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.'” (QS. Al-Anbiya’: 16-25)

Kemudian wahai Akhi, Anda membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah: 255)

Sekarang wahai Akhi, ada pertanyaan. Mengapa Al-Qur’anul Karim tidak mengemukakan pengertian-pengertian ini secara terperinci dalam bab-bab dan pasal-pasal khusus sebagaimana lazimnya pada buku-buku ilmiah?

Kenyataannya, metode penyampaian semacam ini justru merupakan salah satu bukti kemukjizatan Al-Qur’anul Karim. Sebab, Anda tidak menemukan satu ayat yang mempunyai satu tujuan saja, melainkan mengandung berbagai tujuan. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa Al-Qur’anul Karim berbicara dengan jiwa. Sedangkan ketika jiwa memahami sesuatu, ia tidak memahaminya berikut rincian dan variasinya, tetapi memahaminya sebagai sebuah hakikat utuh.

Al-Qur’anul Karim mengemukakan kepada jiwa, segala aspek yang berkaitan dengan suatu hakikat, sehingga bisa memuaskannya. Kadangkala jiwa manusia tidak menyukai klasifikasi, karena ia ingin mengetahui keseluruhan hakikat yang saling berkaitan. Ketika mengemukakan berbagai hakikat ini secara keseluruhan, sebenarnya Al-Qur’anul Karim ingin memuaskan jiwa.

Misalkan, Anda hanya mengambil ayat, ‘Katakanlah, ‘Dialah Allah Yang Maha Esa…”‘, maka Anda dapati bahwa jiwa Anda hanya memperoleh sebagian kecil keterangan yang tidak memuaskannya. Tetapi jika Anda mengambil surat Al-Ikhlas tersebut secara keseluruhan, maka Anda dapati jiwa Anda menjadi lebih tenteram dan puas. Penyebab yang lain, wahai Akhi, mengapa Al-Qur’anul Karim mengemukakan pengertian-pengertian umum ketika berbicara kepada jiwa manusia?

Karena teori-teori ilmiah selalu berubah-ubah mengikuti perubahan masa. Akal manusia harus menata berbagai hakikat dengan cara yang sesuai. Hakikat-hakikat ilmiah itu bagi manusia ibarat mutiara yang bertebaran. Di setiap masa, manusia merangkainya berdasarkan ukuran “rantai kalung” yang pas dengan “leher” zamannya. Kemudian ada pengertian ketiga, yaitu bahwa pengulangan merupakan salah satu hukum yang berlaku untuk menguatkan pengertian ke dalam jiwa, di samping untuk menimbulkan keingintahuan. Perpindahan dari satu tema kepada tema lain akan mewujudkan adanya keingintahuan terhadap pengertian-pengertian itu.

Baiklah wahai Akhi, kita kini kembali kepada tema kita yang pertama. Anda juga membaca dalam kitab Allah: “Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih. Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?’ Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untuk kalian dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kalian sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran). Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui. Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apa bila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kalian sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati-(Nya). Atau siapakah yang memimpin kalian dalam kegelapan di daratan dan lautan dan siapa (pula)kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Mahatinggi Allah atas apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya). Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian, jika kalian memang orang-orang yang benar.’ Katakanlah, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib, kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml: 59-65)

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan pengertian-pengertian indah ini dalam komparasi antara kekuatan Allah subhanahu wa ta’ala dengan siapa saja di antara makhluk-Nya yang dianggap sebagai tuhan. Dalam dialog Sayidina Ibrahim, Al-Qur’anul Karim menyatakan, “Ketika ia berkata kepada bapak dan kepada kaumnya, ‘Apakah yang kalian sembah?’ Mereka menjawab, ‘Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya.’ Ibrahim berkata, ‘Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa) kalian sewaktu kalian berdoa (kepada)nya? Atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepada kalian atau memberi mudharat?'” (QS. Asy-Syu’ara’ : 70-73)

Di sini Al-Qur’an menegaskan bahwa mereka tidak mempunyai pendengaran, penglihatan, dan kesempurnaan. Kemudian ia membuat mereka terdiam. “Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat berjalan, atau mempunyai tangan yang dengan itu ia dapat memegang dengan keras, atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat?” (QS. Al-A’raf : 195)

Sebagai puncak penegasan yang sekaligus merupakan hakikat ayali dan fitri, Al-Qur’an mengatakan, “Sesungguhnya, pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.” (QS. Al-A ‘raf : 196)

Jika Al-Qur’an telah menegaskan bahwa mereka tidak mempunyai pendengaran, penglihatan, kemampuan menimpakan bahaya, dan kemampuan memberi manfaat, lantas bagaimana mereka bisa menjadi tuhan? Karena itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah tidak bersekutu dengan mereka dalam ketuhanan. Kemudian Al-Qur’anul Karim juga menegaskan bahwa tidak ada keserupaan Allah dengan apa pun. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Asy-Syura : 11) “Dan tidak ada satu orang pun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al-Ikhlas : 4)

Di antara penganut kepercayaan lain, ada yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak. Wahai Akhi, Anda mendapati bahwa Al-Qur’an membantah hal ini secara tegas dan dengan argumen. Di antara mereka ada yang meyakini trinitas, dan Al-Qur’an pun membantahnya. “Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 101)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman berkenaan dengan anggapan bahwa Dia berputra. “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Hai Isa putra Maryam, apakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua orang tuhan selain Allah?’ Isa menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk mengatakannya), yaitu, ‘Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.’ Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.’ Allah berfirman, ‘Ini adalah hari yang memberi manfaat bagi orang-orang yang benar lantaran kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.’ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah : 116-120)

Wahai Akhi, di sini Anda mendapati penegasan Allah bahwa Dia tidak berputra, melalui bentuk dialog antara Allah subhanahu wa ta’ala dengan Isa bin Maryam di akhirat, ketika berbagai hakikat dibuktikan. Di sini juga terlihat bahwa keyakinan itu berubah-ubah sepeninggal para nabi mengikuti hawa nafsu manusia dan godaan kemunafikan. Al-Qur’an juga membantah orang-orang Yahudi yang mengatakan, “Sesungguhnya Uzair adalah putra Allah.”

“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair itu putra Allah’ dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih itu putra Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknati mereka; bagaimana mereka sampai ber-paling?” (QS. At-Taubah : 30)

Keyakinan tentang adanya dua atau tiga tuhan, sebenarnya merupakan keyakinan kaum penyembah berhala. Ini merupakan salah satu mukjizat Al-Qur’an pula, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah belajar filsafat kuno tentang bangsa-bangsa paganis (penyembah berhala) yang mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berputra.

Al-Qur’anul Karim menolak keyakinan yang menetapkan segala macam makhluk sebagai tuhan, sekalipun mereka adalah pendeta dan tokoh agama. “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (mereka juga mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak ada Tuhan selain-Nya. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah : 31)

Al-Qur’an juga menolak sama sekali adanya manfaat atau sifat-sifat ketuhanan apa pun yang dilekatkan pada berhala-berhala bangsa Arab, seperti pada Bahirah, Saibah, dan Washilah. Dahulu, semua ini adalah sebutan untuk hewan-hewan mereka yang dinadzarkan kepada Allah dengan cara-cara tertentu, sehingga akhirnya manusia menganggap bahwa di dalamnya terdapat berkah khusus. Itu semua merupakan bagian dari keyakinan-keyakinan yang bersumber dari paganisme lama. Ia menjadi penghalang mereka untuk mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan sebenar-benarnya. “Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, saibah, washilah, dan haam. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Maidah : 103)

Wahai Akhi, Islam datang untuk memberantas semua ini agar tidak menjadi sarana yang menjerumuskan umat manusia kepada kesyirikan. “Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka, ‘Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami.’ Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.” (QS. Al-An’am: 136)

Wahai Akhi, ada pula keyakinan bahwa untuk bertaqarub kepada Allah seseorang perlu membunuh anak laki-laki atau mengubur anak perempuan hidup-hidup. Tentu Islam memberantasnya, karena manusia hanya bisa bertaqarub dan mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan perbuatan-perbuatan baik (amal shalih). “Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya.” (QS. Al-An’am: 137)

Penguburan anak perempuan tidak semata-mata dengan alasan malu, tetapi sebagian bangsa Arab menjadikannya sebagai sarana untuk bertaqarub dan mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Keyakinan ini bersumber dari suku-suku Barbar. Hingga kini masih ada orang-orang yang menyajikan korban mengikuti tradisi-tradisi kaum paganis. “Dan mereka mengatakan, ‘Inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki,’ menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas mereka lantaran apa yang selalu mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am: 138)

Semua ini merupakan jenis-jenis paganisme yang dikaitkan dengan keyakinan tentang ketuhanan. Islam datang untuk memberantas dan memeranginya, serta untuk membersihkan hakikat ketuhanan dari noda-noda syirik yang dilekatkan kepadanya.

Kesimpulan

Wahai Akhi, kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan kita mengenai pengertian uluhiyah tersimpul dalam dua poin:

Pertama, Al-Qur’anul Karim menegaskan —dengan penegasan yang tidak memberi tempat untuk keragu-raguan— bahwa dzat Allah serta hakikat sifat-sifat-Nya itu merupakan perkara yang tidak bisa dimengerti oleh akal manusia. “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu. Dialah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 103) “Musa berkata, Wahai Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu’. Tuhan berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku’. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (QS. Al-A ‘raf : 143)

Demikianlah, akal pikiran manusia tidak mampu mengetahui dzat Allah subhanahu wa ta’ala secara sepenuhnya, karena itu ia dihalangi darinya. Adapun bahwa manusia akan melihat Allah subhanahu wa ta’ala di hari kiamat adalah perkara yang tidak diperdebatkan lagi, tetapi bukan berarti semua mata ini —sampai hari kiamat sekalipun— mengetahui sepenuhnya hakikat Tuhan mereka. Kesimpulan praktisnya adalah bahwa kita, kaum muslimin, tidak dibenarkan menjadikan pemahaman-pemahaman mengenai hal ini sebagai perdebatan, pembahasan, dan perselisihan di antara kita, karena kita tidak akan memperoleh apa pun dengan melakukan itu.

Kedua, adalah persoalan hubungan kita dengan Allah, dan hubungan Allah dengan kita. Hubungan Dia dengan kita adalah, Dia merupakan sumber curahan karunia yang luas meliputi segala sesuatu. Dialah yang telah menjadikan kita ada, memberikan petunjuk kepada kita, memberikan rezeki kepada kita, menghidupkan dan mematikan, menghisab, dan Dia merupakan tempat kembali segala sesuatu. Hubungan kita semua kepada-Nya adalah hubungan ‘ubudiyah (peribadatan). “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (QS. Maryam : 93)

“Dan mereka berkata, ‘Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’, Mahasuci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. Barangsiapa di antara mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya aku adalah tuhan selain Allah’, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahanam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zhalim.” (QS. Al- Anbiya’: 26-29)

Jadi, status seluruh makhluk di hadapan Allah adalah hamba dan yang mendekatkan mereka kepada-Nya adalah ketaatan, pelaksanaan perintah-Nya, serta kepatuhan kepada batas-batas dan syariah-syariah-Nya. Barangsiapa menaati-Nya, ia akan didekatkan kepada-Nya dan barangsiapa yang bermaksiat kepada-Nya, ia dijauhkan dari-Nya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal. “Muadz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus ditunaikan oleh para hamba dan apakah hak hamba yang mesti ditunaikan oleh Allah?” Muadz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Hak Allah yang harus ditunaikan para hamba adalah hendaklah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sedangkan hak para hamba yang mesti ditunaikan oleh Allah adalah jika mereka telah menunaikan hak Allah itu, Allah akan memasukkan mereka ke surga.” Jadi, barangsiapa yang taat kepada Allah, ia beruntung dan barangsiapa yang membangkang kepada Allah, ia celaka.

Wahai Akhi, jika kita telah mengetahui hal itu, maka kita berkewajiban menghindari pembicaraan yang kebablasan tentang hakikat sifat yang digambarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala tentang diri-Nya. Hendaklah kita menerima hal itu secara bulat dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan perbuatan yang diridhai-Nya. Sehingga, Dia menampakkan keakraban dan kedekatan-Nya kepada kita sebagaimana yang telah ditampakkan-Nya kepada siapa yang dicintai-Nya.

Ikhwan sekalian, jika Anda semua bisa mengingat-ingat hal itu, maka itu merupakan kunci kebaikan. “Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Al-Hadits)

Ingatlah bahwa Allah senantiasa bersama Anda semua, di mana pun Anda berada. Dia mengawasi Anda dan bahwa apa saja yang Anda kerjakan dan apa saja yang terlintas dalam pikiran Anda, pasti diketahui-Nya. “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mu’min : 19)

Orang-orang yang telah mengenal Allah, tidak mengizinkan hati mereka untuk memikirkan apa pun selain-Nya.

Jika mataku melihat kepada selain-Mu sekali saja,

Kuanggap lirikan mata itu sebagai dosa paling besar

Maka, berinteraksilah dengan Allah dengan kesadaran dan pengetahuan, sehingga Anda sekalian menjadi orang-orang yang berbahagia di dunia dan di akhirat.

Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Sayidina Muhammad, segenap keluarga dan sahabat-sahabatnya.