Hari-hari di Damanhur

Hari-hari di kota Damanhur dan di Madrasah Mu’alimin merupakan hari-hari yang tenggelam dalam nuansa tasawuf dan ibadah. Mereka mengatakan bahwa kehidupan manusia ini terbagi menjadi beberapa tahapan. Di antaranya adalah tahapan yang pernah saya alami pada tahun-tahun di mana saya bersinggungan secara langsung dengan revolusi Mesir, tahun 1920 hingga tahun 1923. Usiaku ketika itu empat belas tahun kurang beberapa bulan juga. Ini merupakan fase di mana kami tenggelam dalam suasana ibadah dan tasawuf, meskipun tetap ambil bagian dalam berbagai kewajiban sebagai warga negara, khususnya sebagai pelajar.

Di Kota Damanhur, saya kenyang dengan fikrah Hashafiyah. Damanhur adalah kota yang menjadi tempat dimakamkannya Syaikh Sayyid Hasanain Al-Hashafi, syaikh pertama tarekat Hashafiyah. Di kota ini pula terdapat banyak tokoh yang shalih, pengikut Syaikh Al-Hashafi. Sudah barang tentu saya juga ikut bergabung dan tenggelam dalam suasana ini bersama mereka. Hal ini semakin menjadi-jadi manakala Ustadz Haji Hilmi Sulaiman –yang hingga kini masih menjadi guru di Damanhur- menjadi salah satu contoh dari sekian banyak contoh teladan dalam hal ibadah, keshalihan, ketaqwaan, serta bagaimana beradab dengan adab tarekat. Antara saya dan beliau terdapat hubungan spiritual yang khusus lantaran hal ini. Sementara itu sahabat dekat beliau, Ustadz Syaikh Hasan Hizbek rahimahullah– yang juga mengajar di Damanhur- sering mengadakan pertemuan ilmiah maupun pengajian di rumah beliau. Beliau mengajarkan kitab Ihya ‘Ulummuddin karya Imam Ghazali sebelum shalat fajar pada bulan Ramadhan di Masjid Al-Jaisy. Haji Hilmi membawa saya ke pertemuan-pertemuan itu, sehingga saya merasa bangga, karena saya hanyalah seorang murid biasa namun dapat berkumpul bersama para tokoh dan orang-orang besar. Di antara mereka ada orang-orang yang mengajar saya di madrasah, sedangkan yang lain adalah para ulama. Mereka semua memberikan dorongan kepada saya dan kepada para pemuda sebaya saya untuk menempuh jalan ini, yaitu jalan untuk menaati Allah. Semua ini menjadi faktor pendorong dan pematang jiwa untuk menempuh jalan ta’abud yang sufistis.

Saya tidak lupa juga tentang perdebatan yang cukup alot antara saya dengan ustadz kami: Abdul Fattah Abu ‘Allam, yang mengajar syari’ah, tafsir, dan hadits di madrasah, mengenai adanya berbagai kritik terhadap tarekat, wali, dan tasawuf. Pada akhirnya beliau hanya tersenyum, memberikan motivasi kepada saya untuk menaati Allah, memberikan wasiat kepada saya agar belajar lebih yang mendalam dan memperhatikan secara terus-menerus rahasia-rahasia tasyri’ Islam dan sejarahnya, juga mengkaji sejarah berbagai madzhab, fikrah, dan golongan yang ada agar kebenaran itu terbuka di depan mata saya. Sekalipun kami banyak berbeda pendapat, namun saya merasakan kelembutan dan kecintaan beliau yang tulus ketika memberikan pengarahan kepadaku. Saya mencintai dan memuliakan beliau. Perdebatan yang kami lakukan tidak sampai membuat kami terganggu dalam menyampaikan argumentasi dan hasrat untuk mengetahui kebenaran.