Kami memiliki hari-hari yang pada saat itu kami bernadzar untuk tidak berbicara dan menyingkir dari keramaian. Masing-masing kami tidak boleh bercakap-cakap kecuali dengan ungkapan dzikir atau menggunakan kalimat yang dinukil dari ayat Al Quran. Para siswa biasanya memanfaatkan waktu itu untuk salling mengadukan sesamanya. Mereka menghadap kepala sekolah atau para ustadz untuk melaporkan bahwa seorang siswa mulutnya terkena musibah sehingga tidak bisa berbicara. Ustadz pun datang kepada kami untuk minta penjelasan masalahnya. Sementara kami menjawab dengan menukil ayat-ayat Al Quran. Mendengar itu ustadz pun pergi berlalu.
Saya masih ingat akan kebaikan ustadz kami, Syaikh Farhat Salim rahimahullah, yang menghargai apa yang kami lakukan. Beliau melarang siswa-siswa lain untuk mengganggu kami, bahkan menyarankan para ustadz agar tidak menyulitkan kami di masa diam ini. Mereka tahu persis bahwa hal yang demikian itu kami lakukan bukan karena hendak menghindar dari memberikan jawaban atau menyelamatkan diri dari ujian. Bukan. Sebab kami senantiasa berada di urutan terdepan dalam hal pelajaran. Kami memiliki prestasi yang terbaik. Diam kami adalah dalam rangka membina jiwa dan menghindarkan diri dari perbuatan sia-sia dan mengokohkan kemauan, sehingga kami menjadi manusia yang mampu mengendalikan diri, bukan sebaliknya.
Cara ini terus kami kembangkan dan tingkatkan dari waktu ke waktu. Kami sampai pada tindakan menghindari keramaian, bahkan menyeru kepada uzlah (isolasi) dan memutuskan hubungan dengan siapapun. Saya masih ingat, beberapa surat datang ke madrasah yang dikirim oleh teman-teman. Surat-surat itu sengaja tidak saya buka, apalagi saya baca, bahkan kami kembalikan sebagaimana adanya, dengan maksud agar tidak ada tambahan keterikatan dengan persoalan baru. Seorang sufi harus bisa memutuskan hubungan dengan selain Allah dan harus berusaha keras menempuh jalan ini seoptimal mungkin.