Hasan Al Banna Dituduh Bersikap Tafwidh Terhadap Makna Ayat-ayat Sifat dan Asma Allah.

Sesungguhnya lafadz “tafwidh” yang dimaksud oleh Ustadz Hasan Al Banna rahimahullah adalah tafwidh terhadap kaifiyah (cara). Sebagaimana perkataan Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang kaifiyah istiwa’. Imam malik mengatakan, “Istiwa’ itu ma’lum (diketahui), kaifiyah itu majhul (tidak diketahui).” Artinya kita kembalikan pemahaman kaifiyah istiwa itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. yang lebih mengetahui tentang kaifiyah yang layak bagi-Nya. Apa lagi yang tidak jelas dalam hal ini?

Yang lebih mengukuhkan bahwa yang dimaksud Hasan Al Banna adalah tawfidh dalam hal kaifiyah adalah bahwa beliau merincikan penjelasan tentang asma dan shifat dalam kitabnya. Kalaulah yang dimaksud adalah tafwidh dari sisi makna, niscaya Al Banna tidak berbicara rinci tentang hal tersebut dalam risalah Al ‘Aqa’id.

Tuduhan selain itu adalah seputar perkataan Hasan Al Banna yang menjadikan ayat-ayat asma’ wa shifat dalam kelompok ayat-ayat mutasyabih (penyerupaan makna sehingga tidak ada kejelasan. pent). Perkataan tersebut adalah, “Dan ma’rifatullah -tabaraka wa ta’ala-, mentauhidkan dan mensucikan-Nya merupakan unsur aqidah Islam yang paling tinggi. Ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih serta yang terkait dengannya dari masalah-masalah yang mutasyabih, kami mengimaninya sebagaimana adanya tanpa ta’wil (tatsir yang jauh dari eks) dan ta’thil (peniadaan) dan kami tidak ingin tenggelam dalam perselisihan antara ulama dalam masalah ini.[1]

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami…” (QS Ali Imran: 7)

Lafadz mutasyabih dalam ungkapan Al Banna di atas adalah dalam kaifiyah penyifatan, bukan bahwa asma wa sifat itu mutasyabih. Ini jelas tersimpul bila kita meneliti tulisan-tulisan Imam Al Banna rahimahullah.

Pemakaian kata mutasyabih sendiri sebenamya boleh digunakan terhadap kaifiyah. Berkata Syaikh Muhammad Amin Syanqithi, “Dan ketahuilah bahwa banyak di antara manusia menyebut dengan mutasyabih. Dari satu sisi hal ini adalah keliru. Namun dari sisi lain, sebutan itu bisa diperbolehkan sebagaimana yang diucapkan Malik bin Anas, “Istiwa’ itu diketahui, kaifiyahnya tidak diketahui, menanyakannya bid’ah dan mengimaninya wajib.”

Ungkapan bahwa istiwa’ yang diketahui, menunjukkan bahwa artinya tidak mutasyabih, bahkan dikenal oleh orang-orang Arab.[2] Dan ungkapan bahwa kaifiyah itu tidak diketahui, menunjukkan kelemahan manusia untuk mengetahuinya. Sedangkan suatu perkara yang hanya diketahui Allah dinamakan mutasyabih, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dan tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah.” (QS Ali Imran: 7)

Artinya dari sisi makna bukan mutasyabih, tapi dari sisi kaifiyah penyifatan adalah mutasyabih. Sebab, sebagaimana disebutkan, yang dilnaksud mutasyabih adalah sesuatu masalah yang hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.[3]

Kemudian tentang perkataan Al Banna yang tidak mau tenggelam pada pembahasan tema-tema aqidah yang diperselisihkan di dalamnya, serta menghindari benturan dengan para ulama yang memperselisihkannya, sikap ini dilandasi cara penanaman aqidah sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Yakni membangun aqidah dengan realitas sikap yang hidup dan bergerak, jauh dari metode filsafat dan melebur bersama ruh keimanan yang suci. Imam Al Banna menerangkan masalah iman dan aqidah sesuai manhaj yang shahih. la menyebutkan sikap apa yang harus ada pada diri seorang muslim dalam aqidahnya sehingga ia menjadi seorang muslim sejati. Inilah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang budak wanita, “Di mana Allah?”. Wanita itu menjawab, “Di langit.” Rasul bersabda, “Bebaskan wanita ini, sesungguhnya ia telah beriman.”[4]

Ungkapan Hasan Al Banna sama sekali tidak mengandung penyimpangan dan kesesatan filsafat. Bahkan inilah manhaj tarbiyah yang dilakukan Rasulullah kepada para shahabatnya.[5] Kami tidak memandang hal ini berarti tenggelam dalam masalah-masalah ilmu kalam di mana orang-orang Yunani dahulu unggul dalam perkara ini. Apakah manhaj seperti ini menjadi celah penyebaran pemikiran yang berlawanan dalam aqidah di kalangan para shahabat? Kami mohon ampun dan bertaubat kepada Allah. Selanjutnya., tentang perhatian beliau terhadap aqidah shahih, jauh dari musyrik dan bid’ah, telah diterangkan dimuka.

Makna hadits ini adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala. tertawa dari seorang hamba yang putus asa dari kebaikan, lantaran keburukan paling ringan yang dialaminya. Padahal sudah dekat saatnya Allah merubah keburukan itu menjadi kebaikan. Seorang yang sakit misalnya, sudah mendekati sembuh. Yang ditimpa malapetaka dan kesusahan, sudah dekat masanya menjadi kesenangan dan kegembiraan.

Hadits ini menjelaskan sikap para shahabat radhiallahu ‘anhum terhadap nash-nash yang telah tetap tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menyikapinya secara amaliy (praktis), terkait dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. tersebut. Jauh dari situasi yang cenderung memunculkan debat kusir, dan caci maki secara lisan. Para shahabat tidak membebani diri dengan sesuatu yang tidak dibebankan Allah Subhanahu wa Ta’ala. kepada mereka. Mereka menetapkan apa saja yang telah ditetapkan Rasulu llah shalallahu ‘alaihi wa sallam Tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perhatikan ungkapan para shahabat: “Kita tidak akan kehilangan kebaikan dari Rabb yang tertawa.”



[1] Prinsip Kesepuluh dari Ushul Al ‘Isyrin.

[2] Makna istiwa’ menurut para pakar bah asa dan tafsir adalah tinggi (al ‘uluw) dan naik (Al irtita’), Lihat ash-Shawa’iq 2/145. Ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala. dengan tiga bentuk memang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yakni ketinggian Dzat (‘uluwu Adz Dzat), ketinggian qadar (‘uluwu Al qadar), dan ketinggian otoritas (‘uluwuw Al qahr). Berkata lbnu Al Qayim dalam bait-bait nuniyahnya:

Ketinggian itu ada tiga,

seluruhnya milik Allah telah tetap,

tak ada yang mengingkari.

Penafsiran para salaf radhiallahu’anhum terhadap istiwa’ sendiri berkisar antara empat makna: istiqarra (menetap), ‘ala, irtqfa’a dan sha’ada, ketiganya memiliki makna yang berdekatan, yaitu naik dan meninggi.

[3] Manhaj wa Dirasat Al Asma wa ash-Shifat, Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syanqithy hal. 32. Yang menjadikan kami memahami perkataan Hasan Al Banna demikian adalah pengetahuan kami terhadap jihad dan da’wah yang dilakukannya. Serta komitmennya dalam menghidupkan sunnah dan memerangi bid’ah. Latar belakang yang sama, menjadikan kami mengutip beberapa ungkapan Ibnu Quddamah dalam Lum’atu Al I’tiqad.

[4] Dikeluarkan oleh Muslim (537) dari Mu’awiyah bin Al Hakam As Silmi.

[5] Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abi Razin berkata: “Berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Rabb kita tertawa dari hamba-Nya yang putus asa, padahal sudah dekat perubahannya.”

Aku -Abu Razin- berkata: .’Ya Rasulullah, apakah Rabb Azza wa Jalla tertawa?” Rasul menjawab: “Ya.” Aku kemudian mengatakan: “Kita tidak akan kehilangan kebaikan dari Rabb yang tertawa.” (Musnad Imam Ahmad. 4/11, Sunan Ibnu Majah, I/64 no.281. Hadits ini didha’ifkan oleh Al Albani. Sifat tertawa itu didukung oleh berbagai hadits. Lihat Al Bukhari no.3798, Fath As Salafiyah, 7/139.)

Dalam hadits lain, Auf bin Al Harits bin ‘Afra saat peperangan Badar mengatakan: “Wahai Rasulullah, apa yang menyebabkan Allah tertawa terhadap hamba-Nya?” Rasul berkata: “Seorang hamba yang terjun ke medan perang tanpa baju besi.” Auf bin Al Harits melepas baju pelindung yang ada di tubuhnya. Ia menghunus pedang dan berperang hing a terbunuh. Demikianlah sikap generasi Qur’ani menyikapi sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jauh dari tu’wil, ta’hil (penafian) dan tasybih (penyerupaan).