Begitu hebat perjuangan Sultan Hasanuddin Makassar melawan perluasan daerah kekuasaan Kompeni di Indonesia sebelah Timur. Sesudah Portugis menguasai Malaka (1511). 100 tahun di belakang itu Kompeni Belanda pula merebut kekuasaan di laut, baik di Bantam dan Jawa atau di lautan Makassar. Maka Hasanuddin-lah salah seorang pahlawan bangsa Indonesia lama, yang tetap teguh bertahan.
Pasaran lada dan rempah-rempah di Maluku hendak dimonopoli oleh Kompeni dan Hasanuddin-lah yang bertahan. Sampai pernah dia m nyatakan pendiriannya kepada Kompeni, menolak engan keras kehendak monopoli itu. Sebab yang demikian adalah pertentangan dengan kehendak Allah:
“Allah yang mengadakan dunia supaya sekalian manusia berbahagia. Apakah Tuan menyangka bahwa Allah mengecualikan pulau-pulau yang jauh dari tempat tinggal bangsa tuan itu untuk perdagangan Tuan?”
Demikian Hasanuddin pernah mengucapkan kepada Kompeni. Pendirian beliau, marilah berniaga bersama-sama, mengadu untuk dengan serba kegiatan. Tetapi Kompeni tidak mau sebab dia telah melihat besarnya keuntungan di negeri ini, untuk diangkat dan diangkut ke tanah airnya. Sedang Hasanuddin memandang bahwa cara yang demikian itu adalah kelaliman.
Lama sebelum Kompeni Belanda datang, daerah perniagaan orang Makassar telah tetap ke Maluku. Dan berlayar jauh-jauh mengadu untung di dalam ombak dan gelombang adalah kehidupan orang Makassar. Lantaran pertentangan hidup dan mati bagi kedua pihak, terjadilah peperangan.
Hasanuddin memang seorang pahlawan yang gagah berani dan perkasa. Raja besar yang tidak dapat dibantah. Seorang penyiar Agama Islam dan penentang maksud Portugis dan Belanda hendak memaksakan Agama Kristen ke dalam daerahnya. Dan ingin mempersatukan seluruh Sulawesi Selatan di bawah satu kekuasaan, berpusat di Goa, di bawah perintahnya sendiri. Kadang-kadang beliau bersikap keras dan kejam kepada setiap yang menentang rencananya. Bugis dan Makassar terdiri daripada beberapa buah kerajaan. “Sombaya di Goa, Makau di Bone, Adatuang di Sidenreng dan Pajung di Luwu”. Masing-masing berdiri sendiri. Hasanuddin sadar bahwa dialah yang lebih banyak bertanggung jawab mempersatukan daerah itu, sebab dia yang terletak di muka sekali, di pantai uJung pandang (Makassar). Dan dari daerahnya pula mulai Agama Islam masuk. Dan di daerahnya pula mulai Kompeni menjatuhkan jangkar penjajahan.
Persatuan suatu Kerajaan Besar di zaman dahulu, tidaklah atas kehendak setiap raja-raja kecil yang banyak itu, sebab daerah-daerah lebih suka berdiri sendiri, supaya teguh kedaulatannya. Bahkan di Jerman sendiri di zaman Bismarck yang terdekat, masihlah mempersatukan Jerman dengan “besi dan api” Persatuan daerah dengan sukarela, barulah di saat-saat akhir ini terdapat.
Maka Aru Palaka anak Raja Sopeng adalah salah seorang penantang, dari persatuan Bugis – Makassar di bawah satu kuasa. Aru Palaka tidak dapat menerima rancangan Hasanuddin. Apatah lagi sebagai kita katakan tadi sebagaimana adat raja-raja zaman dahulu, kalau perlu Hasanuddin pun memakai sikap keras ataupun kejam. “Tidak Raja” pada masa itu – “Kalau tidak kejam “. Dan Kompeni Belanda sendiri, ataupun Portugis sebelum itu beratus kali lipat lebih kejam.
Kekec ewaan Aru Palaka dari Sopeng. inilah yang diketahui oleh Kompeni Belanda. Sehingga Aru Palaka dapat dibujuk, dijadikan alat buat menentang Hasanuddin. Dimanjakan dan dibawa ke Jawa, bahkan sampai melawat ke Pariaman dan Padang, di tempat Kompeni telah mendirikan Loji-loji pada masa itu. Kepadanya dijanjikan kekuasaan dan kemegahan, di bawah naungan Kompeni.
Setelah matang kesetiaannya kepada Kompeni, barulah dia diberi alat senjata, dan disuruh menyusun tentara sendiri buat menyerang Hasanuddin. Sedang Kompeni hanya berdiri di belakang-belakang saja, mengadu domba anak Bugis dengan anak Makassar, sampai Hasanuddin terdesak dan terjadi Perdamaian Bongaya (1667) yang terkenal itu.
Memang patahlah perlawanan orang Makassar, sebab yang memeranginya adalah bangsanya sendiri. Sejak zaman dahulu kala, raja-raja di Bugis dan di Makassar bertali darah dan berkeluarga, demikian juga rakyatnya. Apatah daya yang mempertahankan benteng-benteng Makassar, kalau kadang-kadang anak atau ayahnya. Setelah menang itu kemudian ternyata bukanlah Aru Palaka yang menang. Yang menang ialah Speelman! Di dalam perjanjian Bongaya, Hasanuddin terpaksa melepaskan hak perwalianya atas Bone, Wajo, dan Sopeng. Melepaskan pula Bima dan Sumbawa. Dan melepaskan juga perniagaan dan hubungannya dengan Maluku. Hilanglah kemegahan kerajaan Islam yang besar di sebelah Timur Indonesia itu. Dan banyaklah anak Makassar yang patah hati, demikian juga anak Bugis, sehingga menjadi orang pengembara di seluruh perairan Indonesia. Banyaklah di antara mereka yang pergi berkhidmat dalam kerajaan-kerajaan Islam yang lain di Indonesia, sebagai Karaeng Galesong dengan anak buahnya, yang berangkat ke Madura menjadi menantu Trunojoyo dan berperang melawan Amangkurat I dan II.
Dan banyak pula yang masuk berkhidmat dalam Kerajaan Yogyakarta di bawah pimpinan Mangkubumi. Dan anak raja-raja Luwuk berangkat ke Riau dan berkhidmat di sana, sehingga sampai menjadi bendahara. Dan di antaranya ialah seorang Ulama Shufi yang besar Syekh Yusuf Abu’l Mahasin Taju’l Khalwati Al Maqashari yang berkhidmat dalam istana Bantam, kepada Sultan Abu’n Nashar “Sultan Ageng Tirtayasa”.
Aru Palaka memang menempuh jalan yang salah. Tetapi buat zaman itu, payahlah memandang besar kesalahan itu. Sebab kesatuan yang ditegakkan Hasanuddin ialah dengan keras dan kejam. Kelemahan inilah tempat masuknya Kompeni, buat melakukan jarumnya, mengambil keuntungan dari segi kelemahan musuh. Dan hal yang demikian tidak terdapat di Makassar saja, bahkan ada di seluruh tanah air kita Indonesia ini. Pengalaman nenek-moyang kita itulah yang kita jadikan ibarat di zaman sekarang, buat menegakkan tanah air yang besar, Indonesia.
Sekarang cobalah lihat ke Makassar (Sunguminasa), tidaklah berapa jauh jarak kuburan di antara kedua orang yang bersejarah itu, Hasanuddin dan Aru Palaka. Sampai ke pada saat yang belum lama berselang, masih terdapat kesan yang ditanamkan Belanda. Kepekuburan Aru Palaka datanglah orang-orang dari Sope ng dan Bone meletakkan bunga dan memasang lilin. Dan mereka melengah saja bila lalu di dekat kuburan Hasanuddin. Sebaliknya, bila orang-orang peziarah dari Bone dan Sopeng telah pergi, datang anak Makassar melempari kuburan Aru Palaka dengan batu, atau mencabut lilin dan kembang itu, dan berdoa pula lama-lama di hadapan kuburan Hasanuddin.
Keduanya adalah orang-orang besar yang telah pergi. Tak usah disesali lagi mana yang salah. Sebab keturunan-keturunan mereka yang datang di belakang, sebagai Aru Mapanyuki yang ketika dilantik jadi Raja Bone memakai dukuh emas Aru Palaka sampai dua kali dibuang oleh Belanda karena jiwa kepahlawanannya. Dan mempunyai sejarah yang gilang gemilang di dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia! Dan lihat di rumah Aru Mapa nyuki tergantung gambar besar Sultan Hasanuddin. Dan saya lihat di istana Raja Goa tergantung gambar Aru Palaka.