Setelah merasakan berbagai siksaan dan penderitaan yang dilancarkan kaum Quraisy, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berangkat ke Thaif mencari perlindungan dan dukungan dari Bani Tsaqif dan berharap agar mereka dapat menerima ajaran yang dibawanya dari Allah.
Setibanya di Thaif, beliau menuju tempat para pemuka Bani Tsaqif, sebagai orangorang yang berkuasa di daerah tersebut. Beliau berbicara tentang Islam dan mengajak mereka supaya beriman kepada Allah. Tetapi ajakan beliau terebut ditolak mentah-menta dan dijawab secara kasar. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bangkit dan meninggalkan mereka, seraya mengharap supaya mereka menyembunyikan berita kedatangannya ini dari kaum Quraisy, tetapi merekapun menolaknya.
Mereka lalu mengerahkan kaum penjahat dan para budak untuk mencerca dan melemparinya dengan btu, sehingga mengakibatkan cidera pada kedua kaki Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Zaid bin Haritsah, berusaha keras melindungi beliau, tetapi kewalahan, sehingga ia sendiri terluka pada kepalanya.
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah kaum penjahat dan para budak yang mengejarnya berhenti dan kembali. Tetapi tanpa diketahui ternyata beliau sedang diperhatikan oleh dua orang anak Rabi’ah yang sedang berada di dalam kebun. Setelah merasa tenang di bawah naungan pohon anggur itu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kepalanya seraya mengucapkan doa berikut:
“Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih ladi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akherat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”
Berkat do’a Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam itu tergeraklah rasa iba di dalam hati kedua anak lelaki Rabi’ah yang memiliki kebun itu. Mereka memanggil pelayannya seorang Nasrani, bernama Addas, kemudian diperintahkan, “Ambilkan buah anggur, dan berikan kepada orang itu!”
Ketika Addas emletakkan anggur itu di hadapan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata kepadanya, ”Makanlah!” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengulurkan tangannya seraya mengucapkan,”Bismillah.”Kemudian dimakannya.
Mendengar ucapan beliau itu, Addas berkata,”Demi Allah, kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk daerah ini.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Kamu dari daerah mana dan apa agamamu?” Addas menjawab, “Saya seorang Nasrani dari daerah Ninawa (sebuah desa di Maushil sekarang).” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi, “Apakah kamu dari negeri seorang saleh yang bernama Yunus anak Matius?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menerangkan „Yunus bin Matius adalah saudaraku. Ia seorang Nabi dan aku pun seorang Nabi.” Seketika itu juga Addas berlutut di hadapan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu mencium kepala, kedua tangan dan kedua kaki beliau.
Ibnu Ishaq berkata: Setelah itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan Thaif dan kembali ke Mekkah sampai di Nikhlah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bangun pada tengah malam melaksanakan shalat. Ketika itulah beberapa makhluk yang disebutkan oleh Allah lewat dan mendengar bacaan
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Begitu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selesai shalat, mereka bergegas kembali kepada kaumnya seraya memerintahkan agar beriman dan menyambut apa yang baru saja mereka dengar.
Kisah mereka ini disebutkan Allah di dalam firman-Nya:
“Dan ingatlah ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya), lalu mereka berkata,”Diamlah kamu (uhntuk mendengarkanya).” Ketika pembacaan telah selesai, maka kembali mereka kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata,”Hai kaumu kami sesungguh kami telah mendengarkan kitab (a-Quran9 yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang meyeru kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” QS Al Ahqaf: 29-31)
Dan di dalam firman-Nya yang lalu:
“Katakanlah (hai Muhammad),”Telah diwahyukan kepadaku bahwa telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran) lalu mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Quran yang menakjubkan.” (QS Al Jin: 1)
kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama Zaid berangkat menuju ke Mekkah. Ketika itu Zaid bin Haritsa bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,”Bagaimana engkau hendak pulang ke Mekkah, sedangkan penduduknya telah emngusir engkau dari sana?” Beliau menjawab, “Hai Zaid, sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.”
Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutus seorang lelaki dari Khuza’ah untuk menemui Muth’am bin ‘Adi dan mengabarkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin masuk ke Mekkah dengan perlindungan darinya. Keinginan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ini diterima oleh Muth’am sehingga akhirnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali memasuki Mekkah.
Beberapa Ibrah
Dari peristiwa hijrah yang dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ini dan dari siksaan dan penderitaan yang ditemuinya dalam perjalanan ini, kemudian dari proses kemblainya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ke Mekakh, kita dapat menarik beberapa perlajaran berikut:
Pertama, bahwa semua bentuk penyiksaan dan penderitaan yang dialami Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, khususnya dalam perjalanan hijrah ke Thaif ini hanyalah merupakan sebagian dari perjuangan tabligh-nya kepada manusia.
Diutusnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bukan hanya untuk menyampakan aqidah yang benar tentang alam dan penciptaannya, hukum-hukum ibadah, akhlak, dan mu’amalah tetapi juga untuk menyampaikan kepada kaum Muslimin kewajiban bersabar yang telah diperintahkan Allah dan menjelaskan cara pelaksanaan sabar dan mushabarah (melipatgandakan kesabaran) yang diperintahkan Allah di dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga dan bertawakalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS Ali Imran: 200)
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada kita cara melaksanakan peribadatan dengan peragaan yang bersita aplikatif, lalu bersabda:
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat (cara) aku shalat.” Sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Ambillah dariku manasik (cara pelaksanaan ibadah haji) mu.”
Jika hal ini dikaitkan dengan kesabaran, maka seolah-olah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melalui kesabaran yang telah dicontohkannya, memerintahkan kepada kita,”Bersabarlah sebagaimana kamu melihat aku bersabar.” Sebab bersabar merupakan salah satu prinsip Islam terpenting yang harus disampaikan kepada semua manusia.
Dalam memandang fenomena hijrah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ke Thaif ini, mungkin ada orang menyimpulkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menemui jalan buntu dan merasa putus asa, sehingga dalam menghadapi penderitaan yang sangat berat itu ia mengucapkan doa tersebut kepada Allah, setelah tiba di kebun kedua anak Rabi’ah.
Tetapi sebenarnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menghdapi penganiayaan tersebut dengan peuh ridha, ikhlas dan sabar. Seandainya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak sabar menghadapinya tentu beliau telah membalas jika suka tindakan orang-orang jahat dan para tokoh Bani Tsaqif yang mengerahkan mereka. Namun ternyata Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melakukannya.
Di antara dalil yang menguatkan apa yang kami kemukakan ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a, ia berkata:
“Wahai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih berat dari peristiwa Uhud?” Jawab Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,”Aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku. Tetapi penganiayaan terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari ‘Aqabah di mana aku datang dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi tersentak dan tersadar ketika sampai di Qarnu’ts-Tsa’alib. Lalu aku angkat kepalaku, dan aku pandang dan tiba-tiba munsul Jibril memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah mengutus Malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan. Kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku lalu berkata, “Wahai Muhammad !Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah Malaikat penjaga gunung, dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.”
Jawab Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyambah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan sesuatu pun.”
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin mengajarkan kepada para sahabatnya dan ummatnya sesudahnya, kesabaran dan seni kesabaran dalam menghadapi segala macam penderitaan di jalan Allah.
Mungkin timbul pertanyaan lain: Apa arti pengaduan yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam? Apa maksud lafadzh-lafadzh doanya yang mengungkapkan perasaan putus asa dan kebosanan akhibat berbagai usaha dan perjuangan yang hanya menghasilkan penderitaan dan penyiksaan?
Jawabnya, bahwa pengaduan kepada Allah adalah ‘ibadah. Merendahkan diri kepada-Nya dan menghinakan diri di hadapan pintu-Nya adalah perbuatan taqarrub ketaatan.
Sesungguhnya penderitaan dan musibah yang menimpah manusia mempunyai beberapa hikmah. Di antaranya, akan membawa orang yang mengalami musibah dan penderitaan itu kepada pintu Allah dan meningkatkan ‘Ubudiyah kepada-Nya. Maka tidak ada pertentangan antara kesabaran terhadap penderitaan dan pengaduan kepada Allah. Bahkan kedua sikap ini merupakan tuntutan yang diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada kita. melalui kesabarannya terhadap penderitaan dan penganiayaan, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran ini adlah tugas kaum Muslimin secara umum, dan para da’i secara khususnya.
Melalui pengaduan dan taqarrub kepada Allah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin mengajarkan kepada kita kewajiban ‘ubudiyah dan segala konsekuensinya kepada kita.
Perlu disadari betatapun tingginya jiwa manusia, dia tidak akan melampaui batas kemanusiaannya. Manusia selamanya tidak dapat menghindari diri dari fitrah, perasaannya, perasan senang dan sedih, perasaan menginginkan kesenangan dan tidak menghendaki kesusahan.
Ini berarti bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kendatipun telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi berbagai penganiayaan dan penyiksaan di jalan Allah, tetapi beliau tetap memiliki perasaan sebagai manusia, merasa sakit bila tertimpa kesengsaraan, dan merasa bahagia bila mendapatkan kesenangan.
Tetapi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam rela menghadapi penderitaan berat dan meninggalkan kesenangan demi mengharap ridhah Allah dan menunaikan kewajiban ‘ubudiyah. Di sinilah letak pemberian pahala dan terlihatnya arti taklif (pembebanan) kepada manusia.
Kedua, jika Anda perhatikan setiap peristiwa Sirah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama kaumnya, akan adan dapati bahwa penderitaan yang dialami oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kadang sangat berat dan menyakitkan. Tetapi pada setiap penderitaan dan kesengsaraan yang dialaminya selalu diberikan penawar yang melegakan hati dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penawar ini dimaksudkan sebagai hiburan bagi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam agar faktor-faktor kekecewaan dan perasaan putus asa tidak sampai merasuk ke dalam jiwanya.
Dalam peristiwa hijrah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ke Thaif dengan segala penderitaan yang ditemuinya, baik berupa penyiksaan ataupun kekecewaan hati, dapat Anda lihat adanya penawar Ilhi terhadap kebodohan orang-orang yang mengejar dan menganiayanya. Penawar ini tercermin pada seorang lelaki Nasrani, Addas, ketika datang kepadanya seraya membawa anggur, kemudian bersuimpuh di hadapannya seraya mencium kepada, kedua tangan dan kakinya, setelah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan kepadanya bahwa dirinya adalah seorang Nabi. Peristiwa ajaib simbol-simbol takdir yang terdapat di dalam peristiwa ini! Kebaikan, kedermawanan dan kemuliaan datang begitu cepat memintakan ma’af atas kejahatan, kebodohan dan kedzaliman yang baru saja dialaminya. Kecupan mesra itu datang setelah umpatan-umpatan permusuhan.
Sesungguhnya kedua anak Rabi’ah termasuk musuh bebuyutan Islam. Bahkan termasuk di antara orang-orang yang mendatangi Abu Thalib, paman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meinta agar Abu Thalib menghentikan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam atua membiarkan mereka bertarung melawan Muhammad, sampai salah satu di antara kedua keompok hancur binasa. Tetapi naluri kebiadaban itu berubah dengan serta merta menjadi naluri kemanusiaan yang dibawa oleh agama ini, karena masa depan agama berkaitan erat dengan pemikiran, bukan dengan naluri.
Demikianlah, agama Nasrani datang memeluk Islam dan mendukungnya, karena satu agama yang benar dengan agama yang benar lainnya ibarat seseorang dengan saudara kandungnya. Jika hubungan antara dua orang bersudara itu adlaah hubungan darah, maka hubungan antara satu agama benar dengan agama benar lainnya adalah hubungan akal dan pemahaman yang benar.
Kemudian takdir Ilahi menyempurnakan simbolnya di dalam kisah ini dengan pemetikkan buah anggur sebagai makanan yang manis dan memuaskan. Setangkai anggur yang telah dipetik ini menjadi simbol bagi ikatan Islam yang agung dan penuh kasih sayang, setiap buah anggur melambangkan sebuah pemerintahan Islam.
Ketiga, apa yang dilakukan oleh Zaid bin Haritsah, yaitu melindungi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan dirinya dari lemparan batu orang-orang bodoh Bani Tsaqif sampai kepalanya menderita beberapa luka, merupakan contoh yang harus dilakukan oleh setiap kaum Muslimin dalam bersikap terhadap pemimpin dakwah. Ia harus melindungi pemimpin dakwah dengan dirinya sekalipun harus mengorbankan kehidupannya.
Demikianlah sikap para sahabat terhadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sekalipun beliau sudah tidak ada di antara kita sekarang, namun kita dapat melakukannya dalam bentuk yang lain, yaitu, dengan kesiapan diri kita dalam menghadapi segala penderitaan dan penyiksaan di jalan dakwah Islam, dan menyumbangkan perjuangan berat sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Tetapi setiap jaman dan masa harus ada para pemimpin dakwah Islam yang menggantikan kepemimpinan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam berdakwah, di mana prajurit yang setia dan ikhlas di sekitar mereka mendukung para pemimpin terssebut dengan harta dan jiwa sebagaimana yang telah dilakukan kaum Muslimin kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Keempat, apa yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq tentang beberapa jin yang mendengarkan bacaan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika sedang melakukan shalat malam di Nikhlah, merupakan dalil bagi eksistensi jin, dan bahwa mereka mukallaf (dibebani kewajiban melaksanakan syariat Islam). Di antara mereka terdapat jin-jin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, di samping mereka yang ingkar dan tidak beriman. Dalil ini telah mencapai tingkatan qath’i (pasti) dengan disebutkannya di dalam beberapa nash Al Quran yang jelas, seperti beberapa ayat pada awal seurat Al Jin dan seperti firman Allah di dalam surat Al Ahqaf:
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata,”Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).” Ketika pembacaaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitabkitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada pendengaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari ahzab yang pedih.” (QS Al Ahqaf: 29-31)
Ketahuilah bahwa kisah yang disebutkan Ibnu Ishaq dan diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam Sirahnya ini, juga disebutkan oleh Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi dengan teks yang hampir sama dengan tambahan rincian sedikit. Dan berikut ini teks yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas:
“Bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berangkat bersama sejulah sahabatnya menuju pasar ‘Ukazh. Dalam pada itu, setan-setan itu kembali. Mereka bertanya-tanya,”Mengapa kita dihalangi dari memperoleh kabar langit dan dilempari dengan beberapa bintang?” Dijawab, “Tidak ada yang menghalangi kamu dari memperoleh kabar langit kecuali apa yang telah terjadi. Maka pergilah ke segala penjuru dunia, dari ujung timur sampai ke ujung barat, dan perhatikanlah peristiwa apakah yang terjadi iut?” Lalu mereka pergi melacak dari uung timur sampai ke ujung barat, mencari apa gerangan yang menghalangi mereka dari mendapatkan kabar langit itu? Maka berangkatlah mereka yang pergi ke Tihamah menuju kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam di Nikhlah hendak ke pasar ‘Ukazh, ketika itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang mengimami para sahabatnya dalam shalat subuh. Ketika mendengar bacaan Al Quran dengan penuh perhatian mereka mendengarkannya. Kemudian mereka berkata,”Inilah yang menghalangi kita dari kabar langit.” Setelah itu mereka kembali kepada kaum mereka seraya berkata, “Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran (bacaan) yang menakjubkan yang menunjukkan kepada kebenaran, lalu kami mempercayainya, dan kkami tidak menyekutukan Rabb kami dengan siapapun.” Lalu Allah menurunkan (ayat) kepada Nbi-Nya, “Katakanlah,”Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran)…”
Teks yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi sama ddengan riwayat ini, hanya saja terdapat tambahan di awal hadits: Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak membacakan kepada jin, juga tidak melihat mereka. Ia berangkat bersama sejumlah sahabatnya.
Al-Asqalani berkata: Seolah-olah Bukhari sengaja membuang lafadzh ini, karena Ibnu Mas’ud menyebutkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membacakan kepada jin. Maka riwayat Ibnu Mas’du idahulukan daripada penafikan Ibnu Abbas. Bahkan Muslim telah mengisyaratkan hal ini, kemudian meriwayatkan hadits Ibnu Mas’du setelah hadits Ibnu Abbas ini. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Telah datang kepadaku seorang penyeru dari bangsa jin, lalu aku berangkat bersamanya, kemudian akau bacakan Al Quran kepadanya.”
Antara dua riwayat ini dapat dikompromikan dengan mengatakan bahwa peristiwa terjadi beberapa kali. Riwayat Muslim, Bukhari dan Tirmidzi ini berbeda dengan riwayat Ibnu Ishaq dalam dua segi. Pertama, riwayat Ibnu Ishaq tidak menyebutkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat bersama para sahabatnya. Bahkan riwayat Ibnu Ishaq menjelaskan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat sendirian. Padahal, riwayat-riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengimami sahabatnya. Kedua, riwayat Ibnu Ishaq tidak menentukan shalat subuh, sementara riwayat-riwayat lain menyebutkannya.
Menyangkut riwayat Ibnu Ishaq tidak ada masalah. Tetapi menyangkut riwayat-riwayat lain timbul dua kemusykilan. Pertama, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berangkat ke Thaif dan pulang darinya,sebagaimana Anda ketahui hanya disertai oleh Zaid bin Haritsa. Maka bagaimana mungkin Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat bersama para sahabatnya? Kedua, shalat lima waktu tidak disyariatkan kecuali setelah Isra’ MI’raj sedangkan Isra’Mi’raj terjadi setelah hijrah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ke Thaif menurut pendapat Jumhur. Maka bagaimana mungkin Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat subuh pada waktu itu?
Menyangkut kemusykilan pertama dapat dijawab, bahwa mungkin saja Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika sampai di Nihlah (sebuah tempat dekat Mekkah) bertemu dengan para sahabatnya, lalu shalat subuh bersama mereka di tempat tersebut.
Menyangkut kemusykilan kedua dapat dijawab bahwa peristiwa mendengarnya jin terhadap bacaan Al Quran ini terjadi lebih dari sekali. Pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan pernah juga diriwayatkan oleh Ibnu Mas’du. Kedua riwayat ini sama-sama sahih. Dan pendapat inilah yang diambil oleh jumhur ulama peneliti. Ini jika kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa peristiwa Isra’ dan MI’raj terjadi setelah hijrah ke Thaif. Tetapi jika kitamengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi sebelum hijrah ke Thaif, makatidak lagi ada kemusykilan.
Yang perlu kita ketahui, setelah penjelasan di atas bahwa setiap Muslim wajib mengimani adanya jin, dan bahwa mereka adalah makhluk hidup yang juga dibebani oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana kita, kendatipun semua indera kita tidak dapat menjangkaunya. Sebab Allah memang menjadikan eksistensi merekae di luar jangkauan kemampuan mata kita. Apalagi, mata kita hanya bisa melihat beberapa benda tertentu, dengan ukuran tertentu, dan dengan syarat-syarat tertentu.
Karena keberadaan makhluk ini didasarkan atas berita yang mutawatir dari Al Quran dan Sunnah, maka kaum Muslim telah sepakat bahwa setiap orang yang mengingkari atau meragukan keberadaan jin adalah murtad dan keluar dari Islam. Sebab mengingkari sesuatu yang bersifat aksiomatik di dalam islam, di samping merupakan pendustaan terhadp kahabr mutawatir yang datang kepada kita dari Allah dan Rasul-Nya.
Jangan sampai ada orang berakal sehat yang terjerumus ke dalam kedunguan karena tidak mau meyakini sesuatu yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, kemudian menolak keberadaan jin hanya karena dia tidak melihat jin.
“Kebodohan intelektual” seperti ini akan mengharuskan pengingkaran terhadap setiap benda atau makhluk ghaib h anya karena tidak dapat dilihat. Padahal kaidah ilmiah yang sudah terkenal mengatakan:Tidak dapat dilihatnya sesuatu tidak berarti tidak adanya sesuatu tersebut.
Kelima, apa pengaruh semua peristiwa disaksikan dan dialami oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selama perjalannya ke Thaif ini pada dirinya?
Jawabannya, terhadap pertanyaan ini nampak jelas dalam jawaban Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Zaid bin Haritsa ketika Zaid bertanya kepadanya dengan penuh keheranan:
“Bagaimana engkau hendak pulang ke Mekkah, wahai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sedangkan penduduknya telah mengusir engkau dari sana?”
Dengan tenang dan penuh keyakinan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Hai Zaid! Sesungguhnya Allah-lah yang akan memberi kita jalan keluar sebagaimana yang
akan engkau lihat nanti. Sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-
Nya.
Jelas bahwa semua yang disaksikan dan dialaminya di Thaif setelah penyiksaan dan penganiayaan yang dialaminya di mekkah, tidak memiliki pengaruh sama sekali terhadap keyakinannya kepada Allah, atau melemahkan kekuatan teakadnya yang positif di dalam jiwanya.
Demi Allah! Ini bukanlah ketabahan manusia biasa yang memiliki kekuatan lebih dalam menghadapi penderitaan dan tekanan. Tetapi ia adalah keyakinan Nubuwwah yang telah menghujam dalam di dalam hatinya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengetahui bahwa segala tindakkannya itu semata-mata untuk menjalankan perintah Allah dan berjalan di atas jalan yang diperintahkanNya, beliau tidak pernah ragu sedikitpun bahwa Allah pasti akan memenangkan urusan-Nya, dan bahwa Dia telah menjadikan ketentuan bagi tiap sesuatu.
Pelajaran yang dapat kita ambil dalam hal ini, bahwa semau penderitaan dan rintangan yang ada di jalan dakwah Islam tidak boleh menghalangi atau menghentikan perjuangan kita, atau mengakibnatkan kegentaran dan kemalasan dalam diri kita, slama kita berjalan di atas petunjuk keimanan kepada Allah. Siapa saja yang telah mengambil bekal kekuatannya dari Allah, maka dia tidak akan pernah mengenal putus asa atau malas. Selama Allah yang memerintahkan, pasti Dia akan menjadi penolong dan pembela.
Kehinaan, kemalasan dan putus asa akibat penderitaan dan rintangan, hanya akan dialami oleh orang yang menganut prinsip dan ideologi yang tidak diperintahkan Allah. Sebab mereka hanya mengandalkan kepada kekuatannya sendiri, kekuatan manusia yang serba terbatas. Segala bentuk kekuatan dan ketabahan manusia akan berubah dan terancam kehancuran dan kelesuan manakala mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang panjang mengingat ukuran kekuatan manusia yang serba terbatas.