Hikmah Beriman Kepada Qadar

Adapun hikmah mengimani takdir adalah supaya segala kekuatan dan potensi yang dimiliki manusia dikerahkan untuk mengetahui aturan-aturan ini dan mendapatkan undang-undang yang berlaku pada alam ini, kemudian bekerja sesuai dengan aturan dan undang-undang tersebut dalam membina dan memakmurkan alam. Juga dalam mengeluarkan kekayaan yang tersimpan di perut bumi dan memanfaatkan kebaikan-kebaikan yang dititipkan Allah di alam semesta ini.

Dengan demikian beriman kepada qadar menjadi kekuatan pembangkit kegiatan, amal dan kepositifan dalam hidup, sebagaimana halnya beriman kepada qadar akan mengikat manusia dengan Dzat yang mengatur alam ini, sehingga dapat mengangkat dirinya kepada sifat-sifat luhur, seperti tidak mudah menyerah, berani dan kuat dalam membela kebenaran dan melaksanakan kewajiban.

Beriman kepada qadar dapat memperlihatkan kepada manusia bahwa segala sesuatu di alam semesta ini hanyalah berjalan sesuai dengan kebijaksanaan yang tinggi dari Allah. Sehingga apabila ditimpa kemudharatan maka ia tidak akan cemas dan gelisah. Begitu pula sebaliknya, apabila memperoleh pertolongan dan keberhasilan maka ia tidak membanggakan diri dan sombong.

Apabila manusia telah bebas dari kegelisahan dan kecemasan ketika mengalami kegagalan, dan bebas dari rasa bangga dan sombong ketika memperoleh pertolongan dan keberhasilan, maka ia menjadi manusia yang stabil dan seimbang, dapat mencapai puncak ketinggian dan keluhuran. Inilah kirany makna dari firman Allah yang Maha Suci:

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak (pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh Mahfudh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jadikan yang demikian itu) supaya kamu tidak berduka-cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS 57:22-23)

Inilah pemahaman tentang qadar yang patut kita ambil. Pemahaman  inilah yang sesuai dengan pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesuai pemahaman para sahabat beliau. Diriwayatkan bahwa pada suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke rumah Ali r.a sesudah shalat isya’. Didapatinya Ali tidur agak awal, lalu beliau berkata: “Apakah engkau tidak qiyamul lail (shalat malam)? Ali menjawab: “Sesungguhnya nyawa kita ada di tangan Allah. Jika Dia berkehendak maka Dia melepaskanNya dan jika Dia berkehendak maka Diapun menggenggamNya.” Jawaban ini membuat beliau marah, lalu beliau keluar sambil memukul paha dan membaca firman Allah:

“Manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (QS 18:54)

Di masa pemerintahan khalifah Umar r.a ada seorang pencuri tertangkap. Ketika dihadapkan kepada khalifah, ia ditanya: “Mengapa kamu mencuri? Ia menjawab: “Allah telah menentukan hal itu.” Khalifah Umar berkata: “Pukullah dia tiga puluh kali, kemudian potonglah tangannya.” Lalu Umar ditanya: Apa sebab ia dipukul? Umar menjawab: Tangannya dipotong karena ia mencuri, dan ia didera karena berdusta terhadap Allah.

Sesungguhnya qadar sama sekali tidak boleh dijadikan sebagai celah untuk berpasrah diri, atau dijadikan alasan untuk berbuat maksiat. Juga tidak boleh dijadikan jalan untuk menyatakan terpaksa. Akan tetapi ia harus dijadikan jalan atau sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang lebih agung berupa pekerjaan-pekerjaan besar.

Sesungguhnya qadar dapat ditolak dengan qadar. Qadar lapar (umpamanya) dapat ditolak dengan qadar makan. Qadar haus dapat ditolak dengan qadar minum. Qadar sakit dapat ditolak dengan qadar berobat dan mencari atau menjaga kesehatan, qadar malas dapat ditolak dengan qadar giat bekerja.

Diriwayatkan bahwa shahabat Abu ‘Ubaidah bin al-Jarraah berkata kepada Khalifah ‘Umar bin Khattab tatkala hendak meninggalkan Syam untuk menghindari Tha’un yang sedang berjangkit ke Syam: “Apakah engkau hendak lari dari qadar Allah?” Umar menjawab: “Ya. Kita lari dari qadar Allah menuju qadar Allah juga.” Maksudnya beliau hendak lari dari qadar sakit dan penyakit kepada qadar sehat dan kesejahteraan.

Kemudian Umar membuat contoh dengan tanah yang tandus dan tanah yang subur. Bila ia berpindah dari tanah yang tandus ke tanah yang subur untuk menggembalakan ontanya maka berarti ia pindah dari qadar yang satu kepada qadar yang lain.

Sebenarnya dapat saja Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya berpasrah diri, tidak berusaha mengelakkan bahaya yang dihadapai sebagaimana orang-orang yang lemah dan patah semangat berpasrah diri, sambil mengemukakan beralasan dengan pemahaman yang keliru seperti alasan yang dipakai orang-orang yang gagal.

Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang untuk menyingkap kebenaran. Maka beliau tidak merasa lemah dan patah semangat melainkan mencari bantuan dengan beriman kepada qadar untuk merealisasikan risalahnya yang agung seraya tetap berpegang teguh pada sunnatullah yang berlaku dalam memberikan pertolongan kepada hamba-hambaNya.

Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melawan kemiskinan dengan bekerja, melawan kebodohan dengan ilmu, melawan sakit dengan berobat, dan melawan kekufuran dan kemaksiatan dengan jihad. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memohon perlindungan kepada Allah dari kecemasan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan.

Peperangan-peperangan yang dilancarkannya dan memperoleh kemenangan yang gemilang, itu semua tiada lain hanyalah merupakan salah satu dari manifestasi kemauan dan kehendak beliau yang tinggi yang berjalan sesuai kehendak Allah dan qadarNya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan peringatan agar qadar atau takdir tidak dipahami dengan pemahaman yang keliru. Beliau mengajak untuk memerangi orang yang mempunyai pemahaman yang keliru ini.

Diriwayatkan dari Jabir r.a dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda:

“Di akhir zaman akan ada suatu kaum yang mengerjakan perbuatan maksiyat, kemudian mereka berkata: “Allah telah menakdirkan perbuatan maksiyat itu atas kami.” Orang yang menentang pendapat mereka (yang salah ini) pada saat itu bagaikan orang yang menghunus pedangnya di jalan Allah.”

Itulah kadar yang layak kita ketahui tentang qadar. Adapun makna qadar di luar pengertian ini maka kita tidak layak membicarakannya, dan tidak pula memperdebatkan persoalannya. Sebab hal itu termasuk rahasia Allah yang tidak dapat dijangkau dan dipahami oleh akal pikiran manusia.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang kepada kami, ketika kami sedang mempertentangkan masalah qadar. Lalu beliau marah hingga wajah beliau menjadi merah dan bersabda: ‘Apakah dengan ini aku diutus kepadamu? Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dibinasakan hanya karena mereka mempertentangkan persoalan ini. Aku berketetapan kuat agar kamu tidak mempertentangkan masalah ini.

Abu Hurairah r.a berkata kepada orang yang bertanya kepadanya mengenai masalah seperti ini: “Itu adalah jalan yang gelap gulita, janganlah kamu melewatinya.” Orang itu mengulangi pertanyaannya, lalu Abu Hurairah berkata: “Itu adalah lautan yang dalam, janganlah kamu memasukinya.” Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya, dan Abu Hurairah menjawab: “Itu adalah rahasia Allah yang tersembunyi darimu, maka janganlah kamu mengoreknya.”

Larangan semacam ini hanyalah ditujukan kepada sikap mempertanyakan tentang ketetapan Allah mengenai kehidupan dan kematian, mengenai luas dan sempitnya rezeki yang diberikan kepada hamba-hambaNya dan semisalnya, bukan terhadap pembicaraan tentang qadar itu sendiri.