Dalam pandangan syariah, air adalah benda yang istimewa dan punya kedudukan khusus, yaitu menjadi media utama untuk melakukan ibadah ritual berthaharah.
Air merupakan media yang berfungsi untuk menghilangkan najis, sekaligus juga air itu berfungsi sebagai media yang syar’i untuk menghilangkan hadats.
Meski benda lain juga bisa dijadikan media berthaharah, namun air adalah media yang utama. Tanah memang juga bisa berfungsi untuk menghilangkan najis, tetapi yang media yang utama untuk membersihkan najis tetap air. Najis berat seperti daging babi disucikan dengan cara mencucinya dengan air 7 kali tanah hanya salah satunya saja. Tanah memang bisa digunakan untuk bertayammum, namun selama masih ada air tayammum masih belum dikerjakan.
Maka ketika kita berbicara tentang thaharah, bab tentang air menjadi bab yang tidak bisa disepelekan.
A. Empat Keadaan Air Dalam Thaharah
Namun demikian tidak semua air bisa digunakan untuk bersuci. Ada beberapa keadan air yang tidak memungkinkan untuk digunakan untuk bersuci.
Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, sesuai dengan hukumnya yang digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang kita dapat di dalam kitab fiqh, para ulama itu membaginya menjadi 4 macam, yaitu air mutlaq, air musta’ma,l air yang tercampur benda yang suci, dan air yang tercampur dengan benda najis.
Berikut ini adalah penjabarannya secara ringkas:
1. Air Mutlaq
Air mutlaq adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis.
Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk digunakan untuk bersuci. Maksudnya untuk berwudhu’ dan mandi janabah. Dalam fiqih dikenal dengan istilah طاھر لنفسھ مطھر لغیره thahirun li nafsihi muthahhirun li ghairihi.
Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci itu bisa digunakan untuk mensucikan. Air suci adalah air yang boleh digunakan atau dikonsumsi, misalnya air the, air kelapa atau air-air lainnya.
Namun air yang suci belum tentu boleh digunakan untuk mensucikan, seperti untuk berwudhu’ atau mandi. Maka kita tahu ada air yang suci tapi tidak mensucikan, namun setiap air yang mensucikan pastilah air yang suci hukumnya.
Diantara air yang termasuk dalam kelompok suci dan mensucikan ini antara lain adalah: air hujan, salju, embun, air laut, air zamzam, air sumur atau mata air dan air sungai.
a. Air Hujan
Air hujan yang turun dari langit hukum suci dan juga mensucikan. Suci berarti bukan termasuk najis. Mensucikan berarti bisa digunakan untuk berwudhu mandi janabah atau membersihkan najis pada suatu benda.
Meski pun di zaman sekarang ini air hujan sudah banyak tercemar dan mengandung asam yang tinggi, namun hukumnya tidak berubah. Air hujan yang terkena polusi dan pencemaran ulah tangan manusia bukan termasuk najis.
Ketika air dari bumi menguap naik ke langit, maka sebenarnya uap atau titik-titik air itu bersih dan suci. Meskipun sumbernya dari air yang tercemar kotor atau najis.
Sebab ketika disinari matahari, yang naik ke atas adalah uapnya yang merupakan proses pemisahan antara air dengan zat-zat lain yang mencemarinya. Lalu air itu turun kembali ke bumi sebagai tetes air yang sudah mengalami proses penyulingan alami. Jadi air itu sudah menjadi suci kembali lewat proses itu.
Hanya saja udara kota yang tercemar dengan asap industri kendaraan bermotor dan pembakaran lainnya memenuhi langit kita. Ketika tetes air hujan itu turun terlarut kembalilah semua kandungan polusi itu di angkasa.
Namun meski demikian, dilihat dari sisi syariah dan hukum, air hujan itu tetap suci dan mensucikan. Sebab polusi yang naik ke udara itu pada hakikatnya bukan termasuk barang yang najis. Meski bersifat racun dan berbahaya untuk kesehatan, namun selama bukan termasuk najis sesuai kaidah syariah tercampurnya air hujan dengan polusi udara tidaklah membuat air hujan itu berubah hukumnya sebagai air yang suci dan mensucikan.
Apalagi polusi udara itu masih terbatas pada wilayah tertentu saja, seperti perkotaan yang penuh dengan polusi udara. Di banyak tempat di muka bumi ini, masih banyak langit yang biru dan bersih, sehingga air hujan yang turun di wilayah itu masih sehat.
Tentang sucinya air hujan dan fungsinya untuk mensucikan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki. (QS Al Anfal: 11)
Dia lah yang meniupkan angin pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya ; dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. (QS Al Furqan: 48)
b. Salju
Salju sebenarnya hampir sama dengan hujan, yaitu sama-sama air yang turun dari langit. Hanya saja kondisi suhu udara yang membuatnya menjadi butir atau kristal salju, tetapi sesungguhnya salju adalah air juga.
Hukum salju tentu saja sama dengan hukum air hujan, sebab keduanya mengalami proses yang mirip kecuali pada bentuk akhirnya saja. Seorang muslim bisa menggunakan salju yang turun dari langit atau salju yang sudah ada di tanah sebagai media untuk bersuci baik wudhu’, mandi janabah dan lainnya.
Tentu saja harus diperhatikan suhunya agar tidak menjadi sumber penyakit. Ada hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjelaskan tentang kedudukan salju kesuciannya dan juga fungsinya sebagai media mensucikan. Di dalam doa iftitah pada setiap shalat, salah satu versinya menyebutkan bahwa kita meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar disucikan dari dosa dengan air, salju dan embun.
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda ketika ditanya bacaan apa yang diucapkannya antara takbir dan Al Fatihah beliau menjawab”Aku membaca, “Ya Allah Jauhkan aku dari kesalahn-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkanantara Timur dan Barat. Ya Allah sucikan aku dari kesalahankesalahanku sebagaimana pakaian dibersihkan dari kotoran. Ya Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun“. (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Embun
Embun juga bagian dari air yang turun dari langit, meski bukan berbentuk air hujan yang turun deras. Embun lebih merupakan tetes-tetes air yang akan terlihat banyak di hamparan dedaunan pada pagi hari.
Maka tetes embun itu bisa digunakan untuk mensucikan untuk bertahharah, baik untuk berwudhu, mandi janabah atau menghilangkan najis.
Dalilnya sama dengan dalil di atas yaitu hadits tentang doa iftitah riwayat Abu Hurairah radhiyallahuanhu.
d. Air Laut
Air laut adalah air yang suci dan mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk berwudhu’, mandi janabah ataupun untuk membersihkan diri dari buang kotoran (istinja’).
Termasuk juga untuk mensucikan barang, badan dan pakaian yang terkena najis.
Meski pun rasa air laut itu asin karena kandungan garamnya yang tinggi, namun hukumnya sama dengan air hujan, embun, atau pun salju, yaitu boleh dan bisa digunakan untuk berthaharah.
Sebelumnya, para shahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengetahui hukum air laut untuk berthaharah, sehingga ketika ada dari mereka yang berlayar di tengah laut dan bekal air yang mereka bawa hanya cukup untuk keperluan minum mereka berijtihad untuk berwudhu’ menggunakan air laut.
Sesampainya kembali ke daratan, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang hukum menggunakan air laut sebagai media untuk berwudhu’. Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab bahwa air laut itu suci dan bahkan bangkainya pun suci juga.
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam’Ya Rasulullah kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut ?’. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab’(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, An Nasai)[1]
Hadits ini sekaligus juga menjelaskan bahwa hewan laut juga halal dimakan dan kalau mati menjadi bangkai bangkainya tetap suci.
e. Air Zamzam
Air Zamzam adalah air yang bersumber dari mata air yang tidak pernah kering. Mata air itu terletak beberapa meter di samping ka’bah sebagai semua sumber mata air pertama di kota Mekkah sejak zaman Nabi Ismail alaihissalam dan ibunya pertama kali menjejakkan kaki di wilayah itu. Bolehnya air zamzam untuk digunakan bersuci atau berwudhu ada sebuah hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Dari Ali bin Abi thalib Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta seember penuh air zamzam. Beliau meminumnya dan juga menggunakannya untuk berwudhu’. (HR. Ahmad).
Selain boleh digunakan untuk bersuci disunnahkan buat kita untuk minum air zamzam lantaran air itu memiliki kemulian tersendiri di sisi Allah.
Namun para ulama sedikit berbeda pendapat tentang menggunakan air zamzam ini untuk membersihkan najis menjadi 3 pendapat:
Pendapat Pertama
Mazhab Al Hanafiyah mazhab Asy-Syafi’iyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa air zamzam boleh digunakan untuk mengangkat hadats yaitu berwudhu atau mandi janabah.
Namun kurang disukai (karahah) kalau digunakan untuk membersihkan najis. Hal itu mengingat kedudukan air zamzam yang sangat mulia sehingga mereka cenderung kurang menyukai bisa kita membersihakn najis dengan air zamzam.
Pendapat Kedua
Mazhab Al Malikiyah secara resmi tidak membedakan antara kebolehan air zamzam digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk membersihkan najis. Keduanya sah-sah saja tanpa ada karahah.
Dalam pandangan mereka air zamzam boleh digunakan untuk bersuci baik untuk wudhu mandi istinja’ ataupun menghilangkan najis dan kotoran pada badan pakaian dan benda-benda. Semua itu tidak mengurangi kehormatan air zamzam.
Pendapat Ketiga
Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau berpendapat adalah termasuk karahah (kurang disukai) bila kita menggunakan air zamzam untuk bersuci baik untuk mengangkat hadats (wudhu atau mandi janabah) apalagi untuk membersihkan najis. Pendapat ini didukung dengan dalil atsar dari shahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu:
Aku tidak menghalalkannya buat orang yang mandi (janabah) di masjid namun air zamzam itu buat orang yang minum atau buat orang yang wudhu’
f. Air Sumur atau Mata Air
Air sumur mata air dan dan air sungai adalah air yang suci dan mensucikan. Sebab air itu keluar dari tanah yang telah melakukan pensucian. Kita bisa memanfaatkan air-air itu untuk wudhu mandi atau mensucikan diri pakaian dan barang dari najis.
Dalil tentang sucinya air sumur atau mata air adalah hadits tentang sumur Budha’ah yang terletak di kota Madinah.
Dari Abi Said Al Khudhri Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa seorang bertanya, “Ya Rasulullah Apakah kami boleh berwudhu’ dari sumur Budho’ah? Padahal sumur itu yang digunakan oleh wanita yang haidh dibuang ke dalamnya daging anjing dan benda yang busuk. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab’Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu’. (HR. Abu Daud, At-Tirmizy, An- Nasai Ahmad dan Al Imam Asy-Syafi’i)[2]
g. Air Sungai
Sedangkan air sungai itu pada dasarnya suci karena dianggap sama karakternya dengan air sumur atau mata air. Sejak dahulu umat Islam terbiasa mandi wudhu’ atau membersihkan najis termasuk beristinja’ dengan air sungai.
Namun seiring dengan terjadinya perusakan lingkungan yang tidak terbentung lagi terutama di kota-kota besar air sungai itu tercemar berat dengan limbah beracun yang meski secara hukum barangkali tidak mengandung najis namun air yang tercemar dengan logam berat itu sangat membahayakan kesehatan.
Maka sebaiknya kita tidak menggunakan air itu karena memberikan madharat yang lebih besar. Selain itu seringkali air itu sangat tercemar berat dengan limbah ternak limbah WC atau bahkan orang-orang buang hajat di dalam sungai. Sehingga lama-kelamaan air sungai berubah warna bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu menjadi najis meski jumlahnya banyak.
Sebab meskipun jumlahnya banyak tetapi seiring dengan proses pencemaran yang terus menerus sehingga merubah rasa warna dan aroma yang membuat najis itu terasa dominan sekali dalam air sungai jelaslah air itu menjadi najis.
Maka tidak syah bila digunakan untuk wudhu’ mandi atau membersihkan najis. Namun hal itu bila benar-benar terasa rasa aroma dan warnanya berubah seperti bau najis. Namun umumnya hal itu tidak terjadi pada air laut sebab jumlah air laut jauh lebih banyak meskipun pencemaran air laut pun sudah lumayan parah dan terkadang menimbulkan bau busuk pada pantai-pantai yang jorok.
2. Air Musta’mal
Jenis yang kedua dari pembagian air adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Baik air yang menetes dari sisa bekas wudhu’ di tubuh seseorang atau sisa juga air bekas mandi janabah. Air bekas dipakai bersuci bisa saja kemudian masuk lagi ke dalam penampungan. Para ulama seringkali menyebut air jenis ini air musta’mal.
Kata musta’mal berasal dari dasar ista’mala – yasta’milu ( استعمل – یستعمل) yang bermakna mengguna-kan atau memakai. Maka air musta’mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah yaitu berwudhu atau mandi janabah.
Air musta’mal berbeda dengan air bekas mencuci tangan atau membasuh muka atau bekas digunakan untuk keperluan lain selain untuk wudhu’ atau mandi janabah.
Air sisa bekas cuci tangan cuci muka cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi janabah statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal karena bukan digunakan untuk wudhu atau mandi janabah.
Lalu bagaimana hukum menggunakan air musta’mal ini?
Masih bolehkah sisa air yang sudah digunakan utuk berwudhu atau mandi janabah digunakan lagi untuk wudhu atau mandi janabah?
Dalam hal ini memang para ulama berbeda pendapat apakah air musta’mal itu boleh digunakan lagi untuk berwudhu’ dan mandi janabah?.
Perbedaan pendapat itu dipicu dari perbedaan nash dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang kita terima dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Beberapa nash hadits itu antara lain:
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”Janganlah sekali-kali seorang kamu mandi di air
yang diam dalam keadaan junub. (HR. Muslim)[3]
”Janganlah sekali-kali seorang kamu kencing di air yang diam
tidak mengalir kemudian dia mandi di dalam air itu.”[4]
Riwayat Muslim”Mandi dari air itu”.76 Dalam riwayat Abu Daud”Janganlah mandi janabah di dalam air itu. (HR. Muslim)[5]
Dari seseorang yang menjadi shahabat nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata”Rasululllah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang seorang wanita mandi janabah dengan air bekar mandi janabah laki-laki. Dan melarang laki-laki mandi janabah dengan air bekas mandi janabah perempuan. Hendaklah mereka masing-masing menciduk air. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)[6]
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mandi dengan air bekas Maimunah radhiyallahuanhu (HR. Muslim)
Riwayat Ashhabussunan: ”Bahwasanya salah satu isteri Nabi telah mandi dalam satu ember kemudian datang Nabi dan mandi dari padanya lalu berkata isterinya ”saya tadi mandi janabat maka jawab Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.: ”Sesungguhnya air tidak ikut berjanabat”.[7]
Namun kalau kita telliti lebih dalam ternyata pengertian musta’mal di antara fuqaha’ mazhab masih terdapat variasi perbedaan.
Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta’mal atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta’mal:
a. Mazhab Al Hanafiyah[8]
Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu’ atau mandi.
Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu’ untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu’ sunnah atau mandi sunnah.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu’ atau mandi.
b. Mazhab Al Malikiyah[9]
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu’ atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu’ atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).
Dan sebagaimana Al Hanafiyah mereka pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan.
Artinya bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudhu’ atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).
c. Mazhab Asy-Syafi’iyyah[10]
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu’ atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu’.
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu’ maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh.
Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu’ atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan.
d. Mazhab Al Hanabilah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu’) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudhu’. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudhu’.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu’ atau mandi maka belum dikatakan musta’mal. Hukum musta’mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu’ atau mandi lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu’ atau mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta’mal.
Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta’mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah maka tidak mengakibatkan air itu menjadi ‘tertular’ ke-musta’mal-annya.
Batasan Volume 2 Qullah
Para ulama ketika membedakan air musta’mal dan bukan (ghairu) musta’mal membuat batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi musta’mal.
Bila volume air itu telah melebihi volume minimal maka air itu terbebas dari kemungkinan musta’mal. Itu berarti air dalam jumlah tertentu meski telah digunakan untuk wudhu atau mandi janabah tidak terkena hukum sebagai air musta’mal.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu mengatakan “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah tidak mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:”Tidak najis”. (HR Abu Dawud Tirmidhi Nasa’i Ibnu
Majah)[11]
Hadits inilah yang mendasari keberadaan volume air dua qullah yang menjadi batas volume air sedikit. Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air yang membatasai kemusta’malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah ukuran volume air. Ukuran volume air ini pasti asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter kubik atau barrel.
Sedangkan istilah qullah adalah ukuran yang digunakan di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup. Bahkan 2 abad sesudahnya para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl ( رطل ) yang sering diterjemahkan dengan istilah kati.
Sayangnya ukuran rithl ini pun tidak standar di beberapa negeri Islam. 1 rithl buat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran 1 rithl buat orang Mesir. Walhasil ukuran ini agak menyulitkan juga sebenarnya.
Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qullah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur 2 qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 rithl. Lucunya begitu orang-orang di Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl juga jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama yang menyebabkan berbeda karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl Mesir dan volume 1 rithl Syam.
Lalu sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar besaran international di masa sekarang ini?
Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran yang berlaku di zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter.[12]
Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter lalu digunakan untuk berwudhu mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu’ maka air itu dianggap sudah musta’mal.
Air itu suci secara fisik tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu’ atau mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu’ seperti cuci tangan biasa maka tidak dikategorikan air musta’mal.
3. Air Tercampur Dengan Yang Suci
Jenis air yang ketiga adalah air yang tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis. Hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun kapur barus tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat padanya.
Namun bila air telah keluar dari karakternya sebagai air mutlak atau murni air itu hukumnya suci namun tidak mensucikan. Misalnya air dicampur dengan susu meski air itu suci dan susu juga benda suci tetapi campuran antara air dan susu sudah menghilangkan sifat utama air murni menjadi larutan susu. Air yang seperti ini tidak lagi bisa dikatakan air mutlak sehingga secara hukum tidak sah digunakan untuk berwudhu’ atau mandi janabah. Meski pun masih tetap suci.
Demikian juga dengan air yang dicampur dengan kaldu daging irisan daging dan bumbu-bumbu. Air itu kita anggap sudah keluar dari karakter kemutalakannya. Bahkan kita sudah tidak lagi menyebutnya sebagai air melainkan kita sebut ‘kuah bakso’. Tentu saja kita tidak dibenarkan berwudhu dengan kuah bakso.
Hal yang sama terjadi pada kasus air yang dicampur dengan benda lain seperti teh tubruk, kopi, wedhang ronde, santan kelapa, kuah gado-gado, kuah semur, kuah opor dan seterusnya, meski semua mengandung air dan tercampur dengan benda suci namun air itu mengalami perubahan karakter dan kehilangan kemutlakannya. Sehingga air itu meski masih suci tapi tidak sah untuk dijadikan media bersuci.
Tentang kapur barus ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kita untuk memandikan mayat dengan menggunakannya.
Dari Ummi Athiyyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW bersabda’Mandikanlah dia tiga kali lima kali atau lebih banyak dari itu dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan sehingga air kapus dan sidr itu hukumnya termasuk yang suci dan mensucikan. Sedangkan tentang air yang tercampur dengan tepung ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani’.
Dari Ummu Hani’ bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mandi bersama Maimunah Radhiyallahu ‘Anh dari satu wadah yang sama tempat yang merupakan sisa dari tepung. (HR. An-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)
4. Air Mutanajjis
Air mutanajjis artinya adalah air yang tercampur dengan barang atau benda yang najis.
Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum bisa ikut menjadi najis juga atau bisa juga sebaliknya yaitu ikut tidak menjadi najis. Keduanya tergantung dari apakah air itu mengalami perubahan atau tidak setelah tercampur benda yang najis. Dan perubahan itu sangat erat kaitannya dengan perbandingan jumlah air dan besarnya noda najis.
Pada air yang volumenya sedikit seperti air di dalam kolam kamar mandi secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai anjing kita akan mengatakan bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi najis juga. Karena air itu sudah tercemar dengan perbandingan benda najis yang besar dan jumlah volume air yang kecil.
Tapi dalam kasus bangkai anjing itu dibuang ke dalam danau yang luas tentu tidak semua air di danau itu menjadi berubah najis apalagi kalau airnya adalah air di lautan. Di laut sudah tidak terhitung jumlah najis tetapi semua najis itu dibandingkan dengan jumlah volume air laut tentu bisa diabaikan. Kecuali air laut yang berada di dekat-dekat sumber najis yang mengalami perubahan akibat tercemar najis maka hukumnya juga ikut najis.
Indikator Kenajisan
Agar kita bisa menilai apakah air yang ke dalamnya kemasukan benda najis itu ikut berubah menjadi najis atautidak maka para ulama membuat indikator yaitu rasa warna atau aromanya.
a. Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Bila berubah rasa, warna, atau aromanya ketika sejumlah air terkena atau kemasukan barang najis maka hukum air itu iut menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.
b. Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Sebaliknya bila ketiga kriteria di atas tidak berubah maka hukum air itu suci dan mensucikan, baik air itu sedikit atau pun banyak.
Dalilnya adalah hadits tentang A’rabi (Arab kampung) yang kencing di dalam masjid:
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa seorang a’rabi telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersbda’biarkan saja dulu siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air. Sesungguhnya kalian dibangkitkan untuk memudahkan dan
bukan untuk menyusahkan. (HR. Bukhari)
Dari Abi Said Al Khudhri Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa seorang bertanya’Ya Rasulullah Apakah kami boleh berwudhu’ dari sumur Budha’ah? Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab’Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu’. (HR. Abu Daud, At-Tirmizy)[13]
B. Keadaan Air Lainnya
Selain keadaan air yang telah disebutkan di atas ada juga beberapa keadaan lain dari air yang mengandung hukum. Di antaranya adalah air musakhkhan (panas) baik karena dipanaskan oleh matahari (musyammasy) atau pun yang tidak.
1. Air Musakhkhan Musyammasy
Air musakhkhan ( مسخّن ) artinya adalah air yang dipanaskan. Sedangkan musyammas ( مشمّس ) diambil dari kata syams yang artinya matahari.
Jadi air musakhkhan musyammas artinya adalah air yang berubah suhunya menjadi panas akibat sinar matahari. Sedangkan air yang dipanaskan dengan kompor atau dengan pemanas listrik tidak termasuk ke dalam pembahasan disini. Hukum air ini untuk digunakan berthaharah menjadi khilaf di kalangan ulama.
a. Pendapat Yang Membolehkan Mutlak
Pendapat ini mengatakan tidak ada bedanya antara air yang dipanaskan oleh matahari atau air putih biasa. Keduanya sama-sama suci dan mensucikan dan boleh digunakan tanpa ada kemakruhan. Yang berpendapat seperti ini adalah umumnya jumhur mazhab Al Hanafiyah dan Al Hanabilah. Bahkan sebagian ulama di kalangan Asy Syafi’iyah seperti Ar-Ruyani dan Al Imam An-Nawawi sekali pun juga berpendapat sama.[14]
b. Pendapat Yang Memakruhkan
Pendapat ini cenderung memakruhkan air yang dipanaskan oleh sinar matahari. Di antara mereka yang memakruhkannya adalah mazhab Al Malikiyah dalam pendapat yang muktamad sebagian ulama di kalangan mazhab dan sebagian Al Hanafiyah.
Pendapat yang kedua ini umumnya mengacu kepada atsar dari shahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Umar bin Al Khattab radhiyallahu anhu yang memakruhkan mandi dengan air yang dipanaskan oleh sinar matahari.
Bahwa beliau memakruhkan mandi dengan menggunakan air musyammas (HR. Asy-Syafi’i)[15]
Larangan ini disinyalir berdasarkan kenyataan bahwa air yang dipanaskan lewat sinar matahari langsung akan berdampak negatif kepada kesehatan sebagaimana dikatakan oleh para pendukungnya sebagai ( یورث البرص ) yakni mengakibatkan penyakit belang.
Jangan lakukan itu wahai Humaira’ karena dia akan membawa penyakit belang. (HR. Ad-Daruquthuny)[16]
Kemakruhan yang mereka kemukakan sesungguhnya hanya berada pada wilayah kesehatan bukan pada wilayah syariah.
Namun mereka yang mendukung pendapat ini seperti Ad-Dardir menyatakan air musyammas musakhkhan ini menjadi makruh digunakan untuk berthaharah manakala dilakukan di negeri yang panasnya sangat menyengat seperti di Hijaz (Saudi Arabia).
Sedangkan negeri yang tidak mengalami panas yang ekstrim seperti di Mesir atau Rum hukum makruhnya tidak berlaku.[17]
2. Air Musakhkhan Ghairu Musyammasy
Musakhkhan ghairu musyammasy artinya adalah air yang menjadi panas tapi tidak karena terkena sinar matahari langsung.
Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa air yang ini tidak makruh untuk digunakan wudhu atau mandi janabah lantaran tidak ada dalil yang memakruhkan. Bahkan Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan meski air itu menjadi panas lantaran panasnya benda najis tetap saja air itu boleh digunakan untuk berthaharah.
Namun bila air itu bersuhu sangat tinggi sehingga sulit untuk menyempurnakan wudhu dengan betul-betul meratakan anggota wudhu dan air secara benar-benar (isbagh) hukumnya menjadi makruh bukan karena panasnya tetapi karena tidak bisa isbagh.[18]
C. Pensucian Air
Air yang sudah terkena pencemaran najis masih bisa disucikan kembali asalkan memenuhi ketentuan atau kriteria yang telah ditetapkan.
Abu Ja’far Al Hindawani dan Abu Al Laits mengatakan bila air yang mengandung najis itu mendapat suplai air suci dari luar sedangkan air yang mengandung najis tadi sebagiannya juga keluar sehingga terjadi aliran atau siklus maka hukumnya kembali lagi menjadi suci ketika bekasbekas atau tanda-tanda najis itu sudah hilang. Pada saat itu air itu sudah dianggap air yang mengalir seperti sungai dan sejenisnya.
Abu Bakar Al A’masy mengatakan bahwa air yang terkena najis dalam suatu wadah harus mendapatkan suplai air suci baru dimana air yang sebelumnya juga mengalir keluar kira-kira sebanyak tiga kali volume air yang ada sebelumnya. Dalam hal ini dianggap air itu sudah dicuci 3 kali.
Al-Malikiyah mengatakan bahwa air yang najis itu akan kembali menjadi suci manakala dituangkan lagi ke dalamnya air yang baru sehingga tanda-tanda kenajisannya menjadi hilang.[19]
Di masa sekarang ini sudah ditemukan teknologi untuk membersihkan air. Air yang kita minum sehari-hari dari produksi perusahaan air minum umumnya diproduksi dari air yang mengalami proses sterilisasi baik lewat penyulingan atau pun lewat perembesan (osmosis).
Karena pada hakikatnya hasil akhir dari pemurnian air menunjukkan tidak adanya salah satu dari 3 indikator najis hukumnya kembali kepada hukum asal air yaitu suci dan mensucikan.
Yang kita jadikan ukuran bukan riwayat air itu tetapi keadaan fisiknya. Selama tidak ada najisnya maka air itu ikut hukum dasarnya yaitu suci dan tidak najis.
[1] At Tirmidzy mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih
[2] At-Tirmidzy mengatakan hadits ini hasan
[3] Shahih Muslim – 283
[4] Shahih Bukhari – 239
[5] Shahih Muslim – 282
[6] Sunan Abu Daud – 70 Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Daud (81) dan An-Nasa’i jilid 1 halaman 30 dari jalur Daud bin Abdullah Al Adawi dari Hamid Al Humairi.
[7] Ibnu Khuzaemah dan At-Tirmizy menshahihkan hadits ini
[8] Lihat pada kitab Al Badai’ jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.
[9] Lihat As Syahru As Shaghir jilid 37 halaman 1-40, As Syarhul Kabir ma’a Ad-Dasuqi jilid 41 halaman 1-43, Al Qawanin Al Fiqhiyah halaman 31, Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 26 dan sesudahnya
[10] Lihat Mughni Al Muhtaj jilid 1 halaman 20 dan Al Muhazzab jilid 5 halaman 1 dan 8
[11] Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban
[12] Dr. Wahbah Az-Zuhayli, Al Fiqhul Islmai wa Adillahutuh, Jilid 1 halaman 122
[13] Sumur Budha’ah adalah nama sebuah sumur di kota Madinah yang airnya digunakan orang untuk mandi yaitu wanita yang haidh dan nifas serta istinja’
[14] Al Majmu’ 1 187 dan Al Mughni 1 18-20
[15] Dalil ini bukan hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melainkan atsar dari Umar bin Al Khattab. Al Imam Asy-Syafi’i menyebutkan hadits ini dalam kitab Al Umm jilid 1 halaman 3. Namun Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani dalam At-Talkhish jilid 1 halaman 22 menyebutkan bahwa sanad periwayatan atsar ini sangat lemah.
[16] Hadits ini pun disinyalir oleh sebagian muhaqqiq sebagai hadits yang lemah sekali dari segi periwayatannya.
[17] Asy-Syarhush Shaghir 1 16 dan Hasyiyatu Ad-Dasuqi 1 44
[18] Asy-Syarhul Kabir 1 45
[19] Al Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah jilid 39 halaman 374