1. Hukum Umum yang Berkenaan dengan Akikah
Ada beberapa hukum umum yang berkaitan dengan masalah akikah yang harus diperhatikan:
Pertama, para ulama sepakat, bahwa semua hal yang dibolehkan di dalam akikah adalah juga hal yang diperbolehkan di dalam kurban. Adapun hal-hal yang diperbolehkan di dalam kurban adalah sebagai berikut:
1. Hendaknya binatang itu berumur satu tahun lebih atau memasuki dua tahun, jika binatang itu biri-biri atau kambing. Jika biri-biri itu bertubuh besar dan gemuk, maka akikah itu sah sekalipun biri-biri itu baru berumur enam bulan. Dengan syarat, seandainya biri-biri itu dicampurkan dengan biri-biri lain yang berumur satu tahun, maka tidak akan tampak perbedaannya. Sedangkan untuk kambing harus mencapai umur satu tahun dan sudah memasuki tahun kedua.
2. Hendaknya binatang sembelihan itu tidak cacat. Dengan demikian, tidak sah mengorbankan binatang yang buta total, buta sebelah, kurus kering (tulangnya tidak bersumsum) dan binatang pincang. Tidak sah pula mengorbankan binatang yang terpotong telinganya atau ekornya lebih dari sepertiga. Tidak sah pula mengorbankan binatang yang ompong, tidak mempunyai telinga dan gila (sehingga tidak memungkinkan untuk dapat digembala).
Sedangkan cacat lain yang tersebut di atas, maka diperbolehkan. Misalnya, telinganya sobek, pecah tanduknya, pincang yang masih memungkinkannya untuk berjalan menuju tempat penyembelihan (seperti berjalan dengan tiga kaki), gila (tetapi masih mungkin untuk digembala), ompong (tetapi sebagian besar giginya masih ada) atau binatang yang telinga atau buntutnya terpotong (tetapi dua pertiganya masih ada). Semua itu boleh untuk dikurbankan.
3. Sapi atau kerbau, tidak sah kecuali sudah mencapai umur dua tahun dan memasuki tahun ketiga. Sedangkan berkurban unta, hanya sah jika sudah mencapai umur lima tahun dan memasuki tahun keenam.
Kedua, tidak boleh kooperatif, misalnya tujuh orang bergabung untuk melaksanakan akikah. Sebab jika cara kooperatif itu sah, maka tujuan mengalirkan darah untuk akikah anak itu tidak akan tercapai.
Karena dengan demikian, berarti pengurbanan itu bukan dipersembahkan untuk anak yang dilahirkan itu.
Ketiga, sebagai ganti kambing, boleh menyembelih unta atau sapi. Dengan syarat, penyembelihan itu untuk satu orang anak sesuai dengan hadis riwayat Ibnul Qayyim dari Anas bin Malik bahwa ia telah mengakikahi anaknya dengan unta. Dan dari Abu Bakrah, bahwa ia telah mengurbankan seekor unta untuk anaknya, Abdur Rahman, lalu memberikan makanan kepada penduduk Bashrah. Sedang sebagian ahli menyebutkan bahwa akikah itu hanya sah dengan kambing sesuai dengan hadis-hadis yang disebutkan tadi.
Argumentasi orang yang membolehkan akikah dengan unta atau sapi adalah hadis riwayat Ibnul Mundzir dari Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau bersabda:
“Anak itu harus diakikahi. Maka alirkanlah darah untuknya.”
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam tidak menyebutkan darah apa. Maka atas pengertian eksplisit hadis ini, binatang apa saja yang disembelih untuk anak yang lahir adalah cukup, baik sembelihan itu kambing, kerbau maupun unta.
Keempat, apa yang sah di dalam akikah adalah juga sah di dalam kurban, ditinjau dari segi makanannya, bersedekahnya, menghadiahkannya, termasuk pula menghadiahkan sebagiannya kepada suku tertentu untuk memberikan rasa gembira kepada mereka. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Ali radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan kepada Fatimah radiyallahu ‘anha. Beliau bersabda:
“Hiasilah rambut Al Husain, bersedekahlah dengan perak sesuai dengan berat timbangan (rambut)nya dan berikanlah kaki akikah kepada suku (fulan).”
Diperbolehkan mengadakan pesta akikah dengan mengundang orang-orang lain yang dikehendaki untuk makan bersama. Banyak di antara ahli fikih yang membolehkannya. Sebab dengan bersedekah, memberikan hadiah, (tambahan) dan menghadiahkan sebagian akikah kepada suku tertentu, akan menyebabkan bersatunya umat yang kokoh hingga mereka bagai bangunan yang saling memperkuat antara yang satu dengan yang lainnya.
Kelima, dianjurkan, agar akikah itu disembelih atas nama anak yang dilahirkan. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Aisyah radiyallahu ‘anha bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Sembelihlah atas namanya (anak yang dilahirkan) dan ucapkanlah, ‘Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, bagi-Mulah dan kepada-Mulah kupersembahkan akikah si Fulan ini.”
Tetapi jika orang yang menyembelih itu hanya berniat akikah tanpa menyebutkan nama anak, maka akikahnya cukup dan tujuannya sudah tercapai.
2. Hikmah Disyariatkannya Akikah
Akikah merupakan suatu pengorbanan yang akan mendekatkan anak kepada Allah pada awal menghirup udara kehidupan.
Akikah merupakan suatu penebusan bagi anak dari berbagai musibah dan kehancuran, sebagaiamana Allah telah menebus Ismail ‘alaihissalam dengan penyembelihan yang besar.
Akikah merupakan bayaran hutang anak untuk memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya.
Akikah sebagai media menampakkan rasa gembira dengan melaksanakan syariat Islam dan bertambahnya keturunan mukmin yang akan memperbanyak umat Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam pada hari kiamat.
Akikah akan memperkuat tali ikatan cinta di antara anggota masyarakat. Sebab mereka akan berkumpul di meja-meja makan dengan penuh kegembiraan menyambut kedatangan anak yang baru.
Akikah dapat memberikan sumber jaminan sosial baru dengan menerapkan dasar-dasar keadilan sosial dan menghapus gejala kemiskinan di dalam masyarakat.
Dan masih banyak lagi hikmah yang dikandung di dalam pelaksanaan akikah ini.
Perlu juga diketahui berbagai istilah makanan dan pesta yang disyariatkan Islam pada waktu dan acara tertentu:
- Al Qira : jamuan untuk tamu.
- At Tuhfah : jamuan untuk pengunjung.
- Al Khursu : jamuan pada waktu kelahiran.
- Al Ma’dubah : jamuan undangan.
- Al Walimah : jamuan perkawinan.
- Al ‘Aqiqah : jamuan kelahiran anak pada hari ketujuh.
- Al Ghadirah : jamuan khitanan.
- Al Wadhimah : jamuan berkabung.
- An Naqi’ah : jamuan untuk orang yang datang dari bepergian.
- Al Wakirah : jamuan peresmian bangunan.